~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~
"Lelah menahan rindu yang entah kapan menghilangnya belum bisa ku obati dengan apapun".-Cakra-
~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~***
Kalina mendekati dua bujang itu tanpa peduli akan kehadiran Aleyya. Dia memeluk keduanya yang kini tersenyum bersamanya.
"Mari selesaikan masalah ini, untuk kedepannya ibu ngga perlu takut lagi". Kata Varrel ketika melepaskan pelukannya.
"Lin,, eumm.." Aleyya masih gugup untuk berbicara.
"Kenapa ?". Tanya Kalina santai.
"Gue minta maaf ya, gue ga akan mengusik hidup Lo lagi". Kalimat singkat dari Aleyya.
"Widihhh semudah itu bilangnya setelah bertahun-tahun ibu hidup dalam ketakutan ? Ga terima nih Keinan". Sahut Keinan meledek.
"Lah iya Kei, tadi berlagak pemberani kok kaya ada yang aneh ya, berarti seterusnya perlu kita pantau nih". Sambung Varrel disamping Keinan.
"Husstt kalian ini kenapa ? Orang minta maaf juga malah kalian meledek, ngga baik lho sama orang tua". Balas Kalina yang juga meledek Aleyya.
"Gue beneran minta maaf Lin, gue ga bermaksud bikin Lo takut selama ini, gue..." Kalimat Aleyya terpotong.
"Ga bermaksud tapi sengaja". Sinis Keinan.
"Keinan.. udah nak". Balas Kalina kembali.
"Sebenernya apa maksud Lo nglakuin itu semua ? Terlebih ke sahabat lama Lo. Gue beneran sakit hati ya Lo lakuin ini. Bahkan gue pisah sama suami gue gara-gara Lo". Kalina tak meninggikan nada tapi terlihat amarah dari wajahnya.
'waduh, serem juga wajah ibu'. Batin Varrel yang tak pernah melihat amarah ibunya.
"Lin, gue beneran minta maaf, gue janji ga akan ngusik Lo lagi, gue juga akan pindah dari sini kok". Jawab Aleyya sambil menggenggam tangan Kalina.
"Tepati janji Lo maka gue maafin Lo". Balas Kalina melepaskan genggamannya.
"Baiklah, antar gue ke bandara maka gue susul suami gue ke Jerman". Balas Aleyya.
"Easy mom, Let's go now". Ajak Varrel.
Kalina hanya mengangguk lalu menuju mobil. Mereka mengantar Aleyya kerumah untuk mengambil barang yang diperlukan lalu pergi ke bandara. Mereka membelikan tiket pesawat darurat untuk mengirim Aleyya pada suaminya.
"Makasih Lo mau maafin gue. Gue janji Lo ga bakal takut lagi setelah ini". Aleyya kembali menggenggam tangan Kalina.
"Hum, ya". Balas singkat Kalina.
Aleyya pun pergi menuju pesawat sesuai tiket yang Varrel berikan.
"Is that okay, mom ? This is easy, why have you kept it all this time, hm ?" Varrel menanyai ibunya karena melihat raut wajah itu berubah sendu.
"Seharusnya kalian ngga nglakuin ini, ibu memang takut tapi ibu masih bisa bertahan". Jawab Kalina hampir menangis.
"Varrel dan Keinan ngga mau ibu yang kena, kami akan lindungi ibu bagaimana pun caranya. Dan cara ini lah yang tepat untuk menjauhkan ibu dari rasa takut itu, Keinan bisa saja melakukan yang lebih dari ini didepan ibu, tapi Keinan ngga tega dan Varrel melarangnya tadi. Bahkan kami juga ngga jahat kok sama dia, kami masih kasihan dia, malah hati ibu selembut ini memaafkan dia yang begitu jahat pada ibu". Balas Varrel dan Keinan hanya mengangguk.
"Makasih ya kalian, tapi maafin ibu yang udah menjauhkan mu sama Cakra. Bagaimanapun dia juga anak ibu, ibu juga merindukan dia Varrel". Kalina sontak langsung menangis. Tubuhnya melemah dan dua bujang itu gercep menampungnya.
"Mereka pasti kembali bu, hanya ayah yang masih sibuk". Jawab Varrel sambil memeluk ibunya.
Keinan hanya bisa menepuk pundak Kalina yang berada dalam pelukan Varrel. Keinan diam dan merasa beruntung bertemu dengan keluarga ini meski tanpa sosok ayah mereka bisa berjalan sendiri.
***
Cakra keluar kelas setelah bel pulang. Berpamitan dengan Haidar dan Mahen yang lebih dulu dijemput ortunya. Kini Cakra menunggu didepan gerbang sekolah. Hingga muncul Jiendra yang menemaninya.
"Why aren't you home yet?". Jiendra mengagetkan Cakra yang duduk termenung.
"My father isn't here yet, Jie". Jawab Cakra singkat sambil menunduk.
Sejenak mereka didatangi mobil yang tak asing bagi Jiendra. Ayahnya datang menjemputnya.
"Dad, it's coming fast". Jiendra menyapa ayahnya.
Cakra mendongak melihat sosok ayah Jiendra. Ya,, psikiater Cakra sendiri. Om Brian. Namun Cakra tak mengenalinya.
"Eh, Cakra ?". Tanya om Brian pada Cakra.
"Do you know Cakra, dad?" Tanya Jiendra yang heran.
"A few days ago I accidentally met him, Jie". Balas singkat om Brian.
"Sorry, but Cakra doesn't remember". Sahut Cakra yang masih terduduk.
"Baiklah, ngga papa, ayo naik, om antar kerumah". Tawar Brian namun Cakra menolak.
"Maaf om, bentar lagi ayah datang".
Benar saja Ravendra datang menjemput putranya hingga mereka kembali bertemu.
"Eh, Brian, ini putramu ? Tampan sekali". Puji Ravendra seketika.
"Hehe iya, makasih om". Balas Jiendra.
Mendengar itu Cakra terkejut kalau Jiendra ternyata bisa berbahasa Indonesia.
"Jie ?". Panggil Cakra lembut.
"Hehe, maaf Cakra, Jie nyaman ngobrol sama Cakra pakai bahasa inggris hehe". Balas Jiendra pada Cakra.
"Baiklah, ayah ayo pulang". Cakra menghampiri ayahnya.
"Hum, ayok, tapi makan dulu ya, ayah lapar". Ravendra menggenggam tangan putranya.
"Iya ayah".
Mereka pergi dengan putranya masing-masing. Cakra begitu senang karena ayahnya selalu bersamanya. Namun ibu ? Entah kapan ayahnya akan membawanya pulang bertemu sang ibu. Kerinduan Cakra kian meninggi tapi belum bertemu puncaknya.
Ravendra sekilas melihat Cakra yang memikirkan sesuatu.
"Kenapa dek ?" Tanya Ravendra.
"Eh, engga ko yah". Cakra berusaha tersenyum pada ayahnya.
"Ayah tau, maafin ayah ya". Ravendra terus fokus menyetir.
"Cakra ngerti kok yah, udah, ga papa". Cakra masih memberi senyuman pada ayahnya itu.
Mereka saling mengobrol hingga mampir ke suatu tempat makan. Disana mereka makan sampai akhirnya kenyang lalu kembali ke rumah.
Setahun ini Cakra hanya merindukan ibu dan kakaknya. Namun Cakra tak bisa egois lagi karena takut dibentak ayahnya lagi seperti kemarin. Cakra juga mencoba mengalihkan pikirannya itu.
Genap satu tahun Cakra SMA. Akhir semester Cakra memberi ayahnya hadiah berupa juara kelas. Ravendra tak bisa berbohong untuk kebahagiaannya itu. Kini mereka jalan-jalan untuk mengisi liburan Cakra.
"Cakra mau apa sekarang ? Setelah Cakra ngasih hadiah ayah lagi masa ayah ngga ngasih apapun ke Cakra". Ravendra kembali memberi Cakra tawaran untuk hadiahnya.
"Karena suka peluk boneka pas tidur, Cakra minta boneka lagi aja boleh ?". Tanya Cakra memberi jawaban.
"Boleh, boneka apa yang Cakra mau ?".
"Itu".
Cakra menunjuk boneka beruang di salah satu toko. Bukan sekedar boneka, Cakra menganggap para boneka adalah teman curhat ketika dia kembali merindukan dua orang yang berarti baginya. Setiap malam tanpa pelukan kakak dan ibunya diganti dengan boneka yang selalu menemani tidurnya.
***
Lanjut nanti deh haha
KAMU SEDANG MEMBACA
VaKra K.H || END✓
Historia CortaDisini hanya kegabutan ya.. Kalau kepo baca aja Tapi sayang, ga ada romance, jujur author sendiri ngga mampu buat yang romance guyss haha Banyak yang kosong karena sebelumnya udah pada baca di sebelah guys, disini adalah pindahan kaya copy paste. Re...