43. Semuanya Harus Mati

8 3 2
                                    

"I wave goodbye to the end of beginning."

***

"Berapa kali lagi harus kehilangan? lo bohongi gue, Jayvan? Katanya harus tetep dua belas orang? Mana? Kenapa lo ga ngasih tau kita semalem?" Cuwa mendorong Jayvan kesal dengan lengannya yang ditahan oleh Gio.

Tak ada respon apapun dari Jayvan, ia hanya diam memandang nisan yang bertuliskan nama kekasihnya itu.

"Nak, terima kasih. Terima kasih atas pertolongan dan kasih sayang kalian terhadap Tiara. Nak, Jayvan, terima kasih telah hadir ke hidupnya, selama ini tidak pernah ada kebahagiaan yang saya beri kepada anak saya sendiri." Wanita berkepala empat yang duduk tepat disamping makam Tiara itu menghembuskan nafas pelan, ia tersenyum.

"Waktu dia baru lahir, ayah kandungnya meninggal, organnya diambil oleh ayah tirinya, Kenzo, yang tidak lain adalah saudara dari ayah kandung Tiara, Kentara Marzei Baskara. Nama Tiara sendiri diambil dari Tara Marzei, nama ayahnya. Selama hidupnya ia harus menanggung beban, kakaknya sengaja disekolahkan ke Paris agar saat sudah sukses bisa menambah harta kekayaan Kenzo. Tiara setiap hari di siksa bersama saya, setiap Kenzo mabuk atau sedang emosi, Tiara selalu menjadi pelampiasan Kenzo. Saya gagal sebagai ibunya, saya tidak bisa menjadi ibu yang baik untuknya. Saya bahagia, ketika nak, Jayvan hadir dalam hidupnya, kamu cinta pertamanya, nak, bahagia pertamanya. Saya tau semua ini dari buku diary yang dia jadikan tempat cerita. Saya sering membuka diary itu diam-diam. Hobi nya yang sering ke laut, dan keinginannya yang ingin mendapatkan cinta dan kasih sayang. Ia sangat bangga bertemu teman-teman seperti kalian, apa, ya, namanya, s, se, secret's, nah itu. Dari sana ia merasa mendapatkan perhatian dan pengertian lebih dari kalian. Sekali lagi saya berterima kasih, sebagai Ibunya yang tidak pantas disebut sebagai Ibu."

Wanita berkepala empat itu menunduk menahan isak tangis, sesak, sedih, menyesal, yang ia rasakan. Sakit jika harus kehilangan anak perempuan satu-satunya yang belum sempat ia bahagiakan.

"Saya izin pulang." Wanita yang berstatus sebagai Ibu Tiara itu berdiri, beranjak pergi meninggalkan per-istirahatan terakhir anak perempuannya.

Mareta terduduk lemas yang tadinya berada dalam pelukan Ravin. Ia memperhatikan makam itu.

"Betah tidur disitu? katanya bakal selalu ada buat aku, bakal jadi perisai aku. Hei, bangun! misi kita belum selesai, dendam kita belum terbalaskan." Mareta terdiam bahkan airmata nya tak dapat lagi ia bendung.

"Dari Jiaa, Qiila, Haydar, Dinda, Tiara. Luka yang kemarin aja belum sembuh udah ditambah luka baru, bahkan Darma aja masih berduka yang kehilangan dua orang sekaligus. Mau berapa lagi? apa nunggu gua nyusul juga?" Cuwa emosi sekaligus sedih, ia trauma akan kehilangan yang membuatnya benci dengan kata bertahan. Bohong, semua bohong, hanya permainan bodoh yang dibuat-buat.

"Maaf." Satu kata yang keluar dari mulut Jayvan membuat mereka semua diam saling menahan isakkan.

Jayvan beranjak pergi tanpa sepatah katapun, hatinya hancur dan tidak pernah ada yang mengerti sehancur apa dirinya saat ini.

"Gua gapunya siapa-siapa, Zei. Bang Jean sibuk sama pekerjaannya. Moka ga ada temennya lagi kalo lo pergi. Gue sakit disini, Zei. Adanya misi ini karena arahan dari kita, kalo cuma gue yang ngarahin gimana bisa seimbang? Gue nyesel, Zei. Harusnya gue cegat lo buat berhenti ngikutin bajingan bangsat itu. Gue nyesel, maafin gue, Zei. Gue gabisa gini, gue gabisa tanpa lo, kebahagiaan gue ada di lo, lo first love sekaligus first experience gue, dan gue bagi lo juga sama, kan? Ayo, Zei, bangun, jangan gini, jangan tinggalin Jay." Batin Jayvan begitu berisik, dadanya begitu sesak, emosinya semakin bergejolak, ia sangat marah dengan Kenzo.

Strange Mystery (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang