"Yang tadi itu teman sekolah kamu? Siapa namanya tadi? Sana, ya?"
"Pa, bisa langsung ke topik intinya? Enggak perlu basa-basi. Papa mau ngomong apa?"
Jika ada sebagian orang yang beranggapan cara bicara Kai terlalu tidak sopan kepada orangtua, maka jawabannya ialah hubungan antara Marcel dan Kai tidak sedekat itu untuk sekadar berbasa-basi. Marcel hanya akan berbicara kepadanya jika ada sesuatu hal yang penting. Dan, salah satunya itu berkaitan dengan ...
"Seperti yang kamu tahu, bulan depan PT. Victoria Group akan merayakan hari jadi perusahaan."
... perusahaan.
"Papa sudah memikirkan ini cukup lama dan keputusannya adalah pada hari ulang tahun perusahaan kali ini Papa ingin memperkenalkan kamu sebagai penerus Papa nantinya."
Kai tersenyum tipis. "Pa, bukannya udah berulang kali Kai bilang, Kai enggak mau melanjutkan perusahaan. Apa itu kurang jelas?"
"Kenapa kamu selalu menolak, Kaianna? Papa lakuin ini semua demi—"
"Demi kebaikan Kai," potong Kai segera, "Iya, kan? Kalau memang ini semua demi kebaikan Kai, Papa enggak bakalan maksain kehendak Papa sama Kai."
Kai menghela napasnya. "Pa, tanpa mengurangi rasa hormat Kai kepada Papa, sekali lagi Kai pengen bilang, Kai enggak pernah ada ketertarikan melanjutkan perusahaan."
"Kenapa? Kamu masih tertarik dengan impian kamu untuk menjadi psikolog?"
"Ada yang salah dengan itu, Pa?"
"Papa enggak akan biayain kamu untuk kuliah psikologi."
"Papa tenang aja, Kai bakal nyari beasiswa sendiri dan enggak bakal membuat Papa ngeluarin sepeser pun untuk biaya pendidikan Kai."
"Kai! Papa udah ngomong berapa kali, jadi psikolog itu enggak semudah dan seenak yang kamu bayangkan."
"Papa pikir Kai enggak sanggup?"
"Bukan begitu, Kai. Kamu sadar gak, ada berapa banyak orang yang ingin ada di posisi kamu, tinggal melanjutkan perusahaan tanpa harus bersusah payah merintis impian dari nol nantinya? Kamu nggak pernah ngerti kebaikan Papa sama kamu."
"Oh ya? Papa sadar nggak? Setiap Papa ngajak aku ngobrol, itu gak jauh-jauh dari masalah perusahaan, ngatain mimpi aku terlalu susah, dan masih banyak lagi. Jadi, aku yang nggak ngertiin Papa atau Papa yang nggak pernah bisa ngertiin kemauan aku?"
Marcel mengusap wajahnya kasar. "Kamu mirip sama mama kamu, sama-sama keras kepala."
"Nggak usah bawa-bawa mama, Pa!" Napas Kai tidak beraturan. Bagian yang paling tidak Kai sukai dari berbincang dengan Marcel ialah karena pria itu suka membawa-bawa perihal mamanya. "Terserah Papa mau ngomong apa, tapi nggak usah bawa-bawa mama. Itu nggak akan buat Kai nurut. Malah Kai semakin lost respect sama Papa."
"Kai—"
Tanpa membiarkan Marcel melanjutkan kalimatnya, Kai memundurkan langkah kakinya dan berpamitan. "Kai mau tidur, capek habis belajar sama Sana."
"Kai, Papa belum selesai bicara!"
Kai melangkahkan kaki menuju kamar, meninggalkan Marcel yang masih setia memanggil namanya. Kai mengunci pintu kamar dengan baik, lantas meluruhkan dirinya ke lantai. Matanya terpejam, berusaha menahan air mata yang hendak menetes.
Setiap kali Kai berbicara dengan Marcel, ia selalu berujung mengunci diri di kamar dan menangis. Karena, perbincangan akan perusahaan, impiannya melanjutkan studi psikologi, dan Marcel yang selalu mengungkit mendiang mamanya selalu berhasil membuat Kai terlihat kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...