”Sean, aku boleh tanya?”
”Silakan, Kai.”
Sembari menunggu pertanyaan Kai, Sean membuka segel botol mineral yang ia beli tadi. Namun, pertanyaan Kai berikutnya membuat tangan Sean berhenti bergerak.
”Kenapa kamu baik sama aku selama ini?”
Sean memandang ke arah Kai dengan dahi yang mengerut. ”Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu, Kai?”
”Aku ngerasa sedikit aneh aja. Kita belum lama kenal, tapi kamu selalu baik sama aku. Kamu yang mau dengarin cerita aku tentang keluarga aku, kamu yang selalu ada untuk ngehibur aku waktu papa pergi. Bukannya aku nggak suka kamu baik, tapi rasanya ini semua terlalu tiba-tiba. Semua kebaikan itu bikin aku nggak bisa untuk nggak berpikir berlebihan,” jelas Kai panjang lebar.
Sean meneguk ludahnya. ”Memangnya, apa yang kamu pikirkan, Kai?”
Keduanya saling bertatapan. Cukup lama hingga Kai kembali bersuara.
”Kamu baik bukan karena kamu suka sama aku, kan?” tanya Kai. Sesaat kemudian, gadis itu tersadar dengan pertanyaan yang baru saja ia ajukan. Pertanyaan itu sungguh tidak pantas. ”Sean, maaf, kayaknya aku terlalu kepedean. Lagi pula, nggak ada yang salah dengan berbuat baik kepada sesama teman, kan?”
Menanggapi itu, Sean tersenyum kecil. ”Kai, gimana kalau aku bilang kalimat kamu yang tadi itu benar?”
”Ma-maksudnya? Kalimat yang mana?”
”Kamu benar. Nggak ada yang salah dengan berbuat baik kepada sesama teman.”
Kai menghela napas lega. Ternyata, kalimat yang dibenarkan oleh Sean ialah tentang pernyataannya satu itu. Sebab, jika Sean membenarkan dugaannya tentang perasaan Sean, Kai tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
”Tapi, sikap baik aku sama kamu nggak cuma sekadar baik ke teman, Kai,” lanjut Sean.
Seketika, udara di sekitar terasa menipis. Hawa panas mengudara di antara keduanya yang kini terjebak dalam pembahasan ini.
”Dugaan kamu benar. Aku suka sama kamu, Kai.”
Napas Kai tercekat. Gadis itu ... benar-benar tidak berani menatap wajah Sean.
”Tapi, kamu salah kalau kamu bilang kita baru kenal. Mungkin, kamu baru kenal aku nggak lama, Kai. Sedangkan aku ... aku udah lama kenal sama kamu,” Sean menggantungkan kalimatnya, ”Kamu ingat waktu kamu olimpiade matematika tingkat provinsi di SMP Karunia?”
Kai mengangguk ragu.
”Itu kali pertama aku kenal sama kamu. Ralat. Itu kali pertama aku tahu nama Kaianna Victoria,” jawab Sean.
Hari itu merupakan perlombaan final olimpiade matematika tingkat provinsi yang diadakan di auditorium SMP Karunia. Dari puluhan sekolah yang telah lolos di tingkat kota, tersisa 3 sekolah unggulan yang akan bersaing untuk mendapatkan peringkat pertama. SMP Karunia, SMP Pertiwi, dan terakhir SMP Pelita yang merupakan sekolah Sean.
Tentu, itu adalah ajang yang menegangkan. Ketiga tim terdiri dari 3 peserta terbaik dari setiap sekolah. Maka dari itu, pihak olimpiade memberikan kesempatan bagi guru atau wali murid yang hendak menonton anak-anak hebat mereka di auditorium besar yang mampu menampung sekitar 700 peserta itu.
Sean adalah satu-satunya orang yang merasa dirinya tersesat ketika berada di dalam sana. Ia datang saat itu untuk memenuhi ajakan dari temannya yang merupakan perwakilan SMP Pelita. Tapi, yang ada di pikirannya adalah semoga ini semua cepat selesai.
Sean yang sebelumnya tidak tertarik melihat kepada para peserta, saat itu merasa kedua matanya seperti tersedot hanya untuk fokus memandangi peserta perempuan dari tim SMP Karunia. Gadis itu tidak hanya cepat dalam menjawab, melainkan juga tegas dalam memberikan jawaban yang tepat. Mata Sean tidak henti menaruh fokus bahkan hingga olimpiade selesai dan semua tim dipersilakan untuk mendapatkan piala serta medali.
Pintar dan cantik, begitu gumam Sean dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...