10 - Wajah yang Tidak Asing

12 7 0
                                    

Ketika melihat Sean berada di minimarket dekat rumahnya, Kai memang sempat menduga bahwa rumah lelaki itu juga berada di sekitar sana. Namun, Kai tidak menyangka bahwa rumahnya dengan Sean hanya terpisah oleh satu kompleks. Jarak yang begitu dekat bahkan jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Di sepanjang perjalanan tadi, Kai tidak banyak bicara. Sebab, pikirannya tengah berkecamuk, memikirkan bagaimana Kai harus menyapa keluarga Sean bila bertemu nanti, juga menjelaskan alasan kedatangannya ke rumah Sean.

”Hari ini, aku cuma bertiga sama bunda dan Sella. Ayah lagi dinas di luar kota. Selain ayah yang sedikit tegas, sisanya semua terbuka sama orang baru. Jadi, kamu nggak perlu khawatir, Kai.”

Kata-kata Sean tadi kembali terputar di pikiran Kai. Semoga kehadirannya memang tidak membuat orang-orang di rumah Sean merasa terusik.

Setibanya di rumah Sean, Kai menarik napas panjang, sebelum mengikuti Sean masuk ke dalam rumah.

”Bang Sean lama banget beli barangnya. Perasaan deket.”

Suara seorang gadis belia menyapa kehadiran keduanya saat pintu utama rumah Sean terbuka. Kai yang sedari tadi menunduk, kini mengangkat kepalanya. Menyapa gadis yang tadi bersuara dengan senyumannya. Sepertinya, ini Sella, adik perempuan yang dimaksud oleh Sean tadi.

Berbanding terbalik dengan Kai yang tersenyum, gadis dengan jepitan berbentuk bintang di kedua sisi rambutnya itu terkejut melihat kepulangan Sean bersama dengan seorang perempuan.

”Bun, bang Sean pulang bawa cewek!”

Mendengar teriakan itu, Sean buru-buru menutup mulut gadis itu dengan sebelah tangan. Namun, sepertinya hal itu tidak berguna. Sebab, yang dipanggil ”Bun” olehnya kini menampakkan diri di belakang keduanya.

”Sella, kamu teriak kenapa? Udah malam loh. Kamu juga Sean, lama banget beli barangnya. Habis dari mana?” ujar wanita yang baru saja keluar dengan intonasi bicara yang begitu lembut, meskipun tengah memprotes aksi kedua anaknya. ”Loh, ada perempuan cantik di sini. Kamu siapa, Sayang?”

”Itu cewek bang Sean, Bun—”

“Sella, diem,” ujar Sean kembali menutupi mulut Sella.

Melihat situasi yang sedikit kacau, Kai nyaris lupa untuk menyapa wanita yang Kai tebak ialah bundanya Sean. ”Malam, Tante. Saya Kaianna, teman Sean.”

Ketika melihat dengan jelas wajah wanita itu, kenapa rasanya Kai seperti tidak asing, ya?

”Oh, temannya Sean. Saya Kasih, bundanya Sean. Kalau gitu, ayo, masuk dulu.”

Sean terlebih dahulu membawa Sella untuk masuk ke dalam rumah. Sepertinya, untuk menyumpal mulut gadis itu agar tidak berbicara lebih banyak. Sementara itu, Kasih mempersilakan Kai untuk duduk di sofa ruang tamu.

”Bun, Sean mau bicara bentar di belakang,” ujar Sean setengah berbisik kepada Kasih.

”Tunggu sebentar ya, Kaianna.”

Keduanya pamit ke belakang, meninggalkan Kai yang kini duduk dengan perasaan gugupnya di sofa. Kai mengaitkan kedua jari telunjuknya, sembari mencoba bersikap tenang.

Beberapa saat kemudian, Sean keluar dan duduk di sofa yang dekat dengan Kai. ”Maafin adik aku tadi. Memang hobinya teriak-teriak. Udah dibilangin berapa kali sama bunda kalau anak perempuan nggak boleh teriak, tapi tetap aja bandel.”

”Iya, nggak pa-pa, kok.”

Tidak lama setelahnya, Kasih kembali muncul membawa sebuah nampan dengan cangkir bermotif bunga di atasnya. ”Kaianna, ini diminum dulu tehnya.”

Flawed PerfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang