21 - Kenapa Harus Kalimat Itu Lagi?

8 4 0
                                    

Ada sebuah kalimat yang sulit dipercaya. Katanya, berbagi cerita dengan orang lain akan membuat beban sedikit berkurang. Awalnya, Kai tidak mempercayai kalimat itu. Sebab, Kai selalu merasa tidak ada orang yang bisa dipercaya di dunia ini.

Tidak hingga Kai bertemu dengan seseorang bernama Sean Arka Galileo. Bagi Kai, Sean adalah suatu keajaiban yang mampu membuat dirinya bercerita di saat Kai berusaha menutup jalan itu sebisa mungkin.

Sayangnya, bersama Sean, Kai selalu merasa sedikit lebih baik. Kai merasa separuh dari beban di hatinya menguar begitu saja ketika ia bercerita kepada Sean.

Seperti saat ini. Rasanya, keadaan benar-benar terasa menyulitkan bagi Kai. Belum puas semesta mengejutkan Kai dengan kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui dari keluarganya, Kai harus kembali dikejutkan dengan fakta mengenai kesehatan Marcel. Semua itu sungguh membuat kepala Kai terasa ingin pecah. Terlalu banyak hal yang mesti ia cerna sendirian.

Dan, barangkali, kalimat di awal tadi ialah benar adanya. Berbagi cerita kepada orang lain bisa sedikit melegakan pikiran.

"Kenapa papa nyembunyiin hal ini dari aku? Aku tahu, papa nggak mau bikin aku khawatir. Tapi, gimana caranya aku bisa nggak khawatir kalau keadaannya kayak gini?"

Jemari Kai menyelusup masuk di sela-sela rambut panjangnya, kemudian memijat kulit kepala dengan sedikit tekanan.

Sepanjang malam, Kai tidak bisa tertidur karena terus memikirkan hal ini. Maka dari itu, Kai memutuskan untuk menemui Sean pagi ini untuk meluapkan semua hal yang terasa penuh di pikiran.

Sean belum juga bersuara. Lelaki itu memilih membiarkan Kai untuk menikmati setiap emosi dalam pikiran.

Tangan Sean terulur, mengelus pundak Kai secara perlahan. "Kai, tarik napas kamu, kemudian embuskan pelan-pelan."

Bagaikan dihipnotis, Kai mengikuti setiap kata-kata Sean. Menarik napas. Mengembuskannya secara perlahan. Berulang kali, hingga ia merasa jauh lebih tenang.

"Aku yakin, Om Marcel pasti punya alasan kenapa dia nyembunyiin hal sebesar dari kamu, Kai. Tapi, menurut aku, kamu nggak perlu mikirin hal itu sekarang. Yang terpenting adalah kesehatan om Marcel. Serangan jantung ringan bukan hal sepele. Jadi, sebisa mungkin, jangan kejutkan papa kamu dengan hal-hal yang bisa mengganggu kesehatannya."

"Iya, kamu benar, Sean. Selama ini, aku udah banyak nambah beban pikiran papa," ujar Kai. Kai mendongakkan kepala ke atas, berusaha menahan agar cairan bening dari matanya tidak menetes turun. "Mulai sekarang, aku bakalan lebih perhatikan papa. Karena, cuma papa satu-satunya yang aku punya sekarang."

Sean tersenyum menatap Kai. "Tenang, Kai. Kamu nggak sendiri. Kalau kamu mau cerita, kamu bisa cerita sama aku. Atau, sama bunda. Karena, biasanya perempuan akan lebih nyaman bercerita sama sesama mereka. Bunda pasti senang kalau kamu mau cerita sama dia."

Kai mengangguk, lalu membalas senyuman itu. "Makasih banyak, Sean. Makasih banyak karena kamu udah banyak bantuin aku."

"Kai, aku nggak mau balas 'sama-sama', karena itu kedengarannya cukup klise. Aku cuma mau bilang, jangan sungkan sama aku. Kamu bisa cari aku kapan pun kamu mau, seperti kata Bruno Mars dalam lirik lagunya."

You can count on me like one, two, three. I'll be there.

🌟

Kai dan Sean baru saja menuruni tangga dari rooftop ketika Tere—salah seorang teman sekelas Kai—datang menghampiri gadis itu dengan terburu-buru.

"Kai, bu Agatha manggil kamu. Katanya, ada yang telepon nyariin kamu."

Tanpa banyak bertanya, Kai lantas berjalan menuju kantor guru. Perasaan gadis itu seketika menjadi tidak nyaman.

Flawed PerfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang