"Sean?"
"Perempuan cantik enggak boleh nangis, nanti cantiknya hilang," ujar Sean.
Kai berulang kali mendengar kalimat yang serupa, tetapi ketika Sean melontarkannya, entah kenapa rasanya Sean berujar dengan tulus. Bukan dengan niat untuk menggoda perempuan, seperti pekerjaan kaum Adam pada umumnya.
Kai menerima tisu tersebut, lantas menempelkan pada permukaan wajahnya yang basah akibat air mata. "Terima kasih," balas Kai seraya tersenyum.
"Nggak perlu sungkan." Sean ikut menampilkan senyum.
Untuk beberapa saat, suasana hening. Keduanya sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang tengah berusaha mencari topik obrolan. Beruntung, Sean segera angkat suara.
"Kayaknya, ini pertama kalinya aku ngelihat kamu nangis. Biasanya, seorang Kaianna Victoria bakalan tersenyum di depan semua orang sambil menerima piala penghargaan."
Mendengar itu, Kai menundukkan kepala. "Maaf, ya, kamu harus lihat aku nangis."
"Untuk apa kata maaf? Aku rasa, itu bukan suatu kesalahan yang buat kamu harus meminta maaf," sahut Sean yang membuat Kai menoleh kepadanya.
"Nggak apa, semua orang punya titik lemahnya masing-masing. Seseorang yang setiap hari terlihat kuat juga bakal menunjukkan sisi lemahnya," sambung Sean.
"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" tanya Sean.
Kai mengangguk ragu. Entah masalahnya sekarang dapat disebut sebagai masalah atau itu semua hanya karena pikiran yang terlalu kacau.
"Kamu boleh cerita sama aku kalau kamu mau."
Kai menatap dalam kedua bola mata Sean, sebelum mengalihkan pandangan.
Tiba-tiba tangan Sean kembali terulur di hadapannya. Kali ini, bukan menawarkan tisu, melainkan cokelat yang dikemas seperti sebuah koin.
"Katanya, makan cokelat bisa memperbaiki suasana hati," kata Sean, "Aku nggak tahu apakah itu manjur di kamu atau nggak, tapi aku udah sering membuktikannya. Dulu waktu kecil, bunda selalu ngasi cokelat ini kalau aku lagi nangis. Makanya, aku selalu bawa cokelat ini kemana-mana sampai sekarang."
Kai melihat Sean takjub. Bukan karena cokelat di tangannya. Namun, karena lelaki ini berbicara begitu banyak memberi penjelasan, padahal Kai tidak bertanya lebih lanjut. Unik.
"Jangan dilihatin aja, nih ambil."
Kai menerima cokelat tersebut dengan senang hati. Dengan hati-hati, Kai membuka lapisan berwarna emas pembungkus cokelat, lalu memasukkan cokelat tersebut ke mulutnya.
"Gimana? Jauh lebih baik?"
Kai mengangguk. "Iya, terima kasih lagi, Sean."
"Baguslah kalau gitu."
Suasana kembali hening untuk sesaat. Sean tengah memandangi langit, sementara Kai mempertimbangkan apakah ia harus bercerita kepada Sean atau tidak. Namun, sepertinya opsi yang paling baik saat ini ialah berbagi cerita kepada Sean. Sebab, pikirannya benar-benar begitu penuh.
"Aku gagal masuk perwakilan olimpiade kali ini."
Pandangan Sean yang tadi menatap langit kini beralih kepada Kai. Sean bahkan memperbaiki posisi duduknya agar bisa lebih leluasa mendengarkan Kai yang barangkali akan bercerita lebih panjang setelah ini.
"Seperti biasanya, peserta yang akan mewakili sekolah mengikuti olimpiade harus melalui tes penyisihan. Untuk olimpiade kali ini, diambil 3 pemegang skor teratas untuk ikut. Tapi, skor aku nggak mampu mencapai ketiga besar itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...