Entah ini adalah keputusan yang benar atau salah, tapi sepertinya ini jalan satu-satunya agar pikiran Kai tetap tenang hingga masa olimpiade besok.
Kabur dari rumah.
Jarum pendek yang menempel pada jam di dinding Kai menunjuk tepat ke angka 10, saat Kai mengendap keluar dari kamar seraya menenteng tas ransel berisikan seragam sekolah dan beberapa keperluan untuk olimpiade. Kai terlebih dahulu memastikan keberadaan Marcel di ruangan kerjanya lewat celah pintu yang terbuka sedikit. Terlihat Marcel yang begitu fokus dengan komputer yang ada di hadapannya.
Dengan langkah yang dibuat sepelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, Kai menuruni tangga dengan hati-hati. Tepat pada anak tangga terakhir, Kai menambah kecepatan berjalannya menuju pintu utama. Tapi sepertinya, kabur dari pintu depan bukan cara yang aman. Sebab, nanti ia akan bertemu dengan pak Ridho—tukang kebun merangkap sebagai satpam—yang biasanya suka duduk menyantai di depan pos rumah Kai.
Maka dari itu, Kai memutar tujuan menuju pintu belakang yang langsung mempertemukan Kai dengan halaman kosong di belakang rumah yang biasanya Kai jadikan tempat belajar di sore hari. Kai mengambil sebuah kursi plastik untuk menambah ketinggian tubuh, guna memanjat keluar lewat tembok belakang. Beruntung, pendaratan yang Kai lakukan tepat sasaran sehingga ia tidak terluka.
Sejujurnya, sejak saat pikiran untuk kabur dari rumah terlintas dalam pikiran hingga saat dirinya sudah berhasil keluar dari rumah, Kai belum menemukan satu tempat yang bisa dijadikan tujuan. Awalnya, Kai ingin menginap di rumah Sana. Namun, mengingat hari yang sudah malam, Kai tidak enak jika harus mengganggu keluarga Sana. Terlebih lagi, rumah Sana cukup jauh dari rumahnya sekarang.
Di saat pikirannya tengah kalang-kabut memikirkan tempatnya akan tidur malam ini, ia malah bertemu dengan Sean yang baru keluar dari minimarket yang berada tak jauh dari kompleks perumahan tempat Kai tinggal.
Entah apakah Kai bisa menyebutnya sebagai keberuntungan atau tidak. Sebab, ini kedua kali Sean menemuinya saat lari dari keadaan, setelah yang pertama kali ia bolos dari jam pelajaran di kelas.
”Kai, kamu ngapain malam-malam jalan sendirian?” tanya Sean setelah menyapa gadis itu.
”Aku lagi jalan-jalan aja nyari angin. Tadi suntuk di rumah habis belajar,” jawab Kai sembarangan, berharap Sean percaya.
Namun, ransel yang Kai pikul di bahu membuat Sean sulit untuk percaya. ”Jalan-jalan kok bawa tas segala, Kai?”
Kai terlihat gelagapan menjawab.
”Kamu kabur dari rumah?” Pertanyaan Sean yang berikutnya membuat Kai menghela napas. Sepertinya, ia tidak ditakdirkan untuk berbohong kali ini.
”Iya, aku kabur dari rumah,” jawab Kai mengakui.
Aneh, Sean tidak terlihat terkejut akan pengakuan Kai.
”Habis berdebat sama papa kamu lagi, ya?”
Justru, Kai yang terkejut ketika mendengar dugaan Sean yang sialnya tepat sasaran.
”Eh, maaf kalau salah. Aku cuma sembarang menduga aja,” sela Sean cepat ketika melihat perubahan wajah Kai. ”Kamu ingat waktu aku nemuin kamu di rooftop waktu kamu dinyatakan gak lolos untuk jadi perwakilan olimpiade? Waktu itu, kamu bilang alasan kamu gak fokus sepanjang tes karena malamnya sempat berdebat sama papa kamu. Jadi, aku menarik kesimpulan yang sama sekarang.”
Kai menampakkan senyum kecil di wajahnya, sebelum menjawab, ”Iya, dugaan kamu nggak salah, kok. Aku habis berdebat sama papa.”
Sean mengangguk-anggukkan kepala seraya mencoba mencari topik pembicaraan dengan Kai. Rasanya, malam ini otaknya tidak dapat berpikir jernih. Padahal biasanya, ia tidak pernah kehabisan topik jika berbicara dengan orang lain.
”Kamu habis dari minimarket?”
Sean buru-buru mengangkat kantong plastik putih dengan cap logo minimarket ke hadapan Kai. ”Iya, habis beli beberapa stok cemilan sama minuman segar. Biasa kalau di rumah, Sella suka ngemil sambil belajar.”
”Sella?”
”Sella itu adik perempuan aku,” ujar Sean. ”Ngomong-ngomong, kamu mau ke mana? Biar sekalian aku temenin.”
Kai menggelengkan kepala. ”Makasih, Sean, tapi aku bisa sendiri, kok.”
”Kai, bukannya aku mau nakutin kamu, tapi nggak baik anak perempuan jalan sendirian malam-malam. Takutnya, ada orang asing yang berniat jahat.”
”Aku bisa jaga diri aku sendiri, Sean. Kamu tenang aja.”
”Kamu ngomong kayak gitu karena nggak mau repotin aku, kan? Kai, kamu anggap aku teman, kan? Kalau iya, kamu nggak perlu mikir aku bakal repot. Justru, aku bakal kepikiran kalau biarin kamu jalan sendirian.”
Mendengar kalimat Sean, Kai merasa pikirannya semakin bercampur aduk.
”Kamu tinggal bilang sama aku, kamu mau ke mana sekarang, aku bakal temenin kamu.”
Kai menatap kedua bola mata Sean sejenak, sebelum mengalihkan pandangannya. Gadis itu menarik napas cukup panjang, lantas tersenyum kecil. ”Aku bahkan nggak tahu harus ke mana sekarang, Sean.”
”Jadi, kamu kabur dari rumah, tapi nggak tahu mau ke mana?”
”Iya.”
Sean tampak berpikir sejenak, sebelum satu ide terlintar di benak lelaki itu.
”Kai, gimana kalau kamu tinggal dulu di rumah aku malam ini?” Belum sempat Kai mengutarakan keterkejutan, Sean kembali menyambung kalimatnya. ”Kamu tenang aja, di rumah ada mama dan Sella, adik aku. Nanti kamu bisa tidur di kamar adik aku.”
”Nggak, Sean. Itu terlalu ngerepotin kamu.”
”Terus, kamu mau ke mana? Ini udah malam. Sekalipun kamu mau nyari kos buat tinggal satu malam pun nggak bakal keburu.”
Dalam pikirannya, Kai membenarkan ucapan Sean. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima tawaran Sean. Setidaknya, ia hanya perlu tempat untuk tidur satu malam saja hingga besok saat olimpiade. Namun, dirinya dan Sean baru mengenal satu sama lain. Dirinya juga belum mengenal keluarga Sean. Bagaimana juga jika justru kehadirannya mengganggu keluarga Sean? Terlebih, ini sudah malam dan dirinya adalah seorang perempuan.
”Kamu nggak perlu khawatir sama keluarga aku. Pasti mereka senang kamu mau tinggal di rumah malam ini, apalagi Sella. Biasanya, dia tidur sendiri. Kalau ada kamu yang nemenin dia tidur malam ini, pasti dia senang,” jelas Sean yang seolah-olah dapat membaca isi pikiran Kai saat ini.
”Malam ini aja, Kai. Aku harap, kamu terima tawaran aku. Atau, kalau kamu takut aku berbuat macam-macam sama kamu, kamu bisa ambil senjata buat jaga-jaga.”
”Enggak, Sean. Aku nggak berpikiran sampai di situ,” potong Kai. ”Kamu nawarin aku buat tinggal di rumah kamu aja, aku udah ngerasa sangat berterima kasih, gimana caranya aku bisa berpikiran yang nggak-nggak tentang kamu.”
”Syukurlah kalau gitu. Jadi, gimana keputusan kamu, Kai?”
Setelah mempertimbangkan bahwa dirinya butuh tempat untuk beristirahat malam ini, Kai mengangguk, menyetujui tawaran Sean untuk tinggal di rumah lelaki itu.
”Aku cuma numpang malam ini aja. Besok pagi, aku pasti langsung pergi dari rumah kamu, Sean.”
”Iya, Kai, kamu nggak perlu ngerasa khawatir kayak gitu. Yang penting malam ini kamu bisa tempat buat tidur supaya besok kamu bisa fokus pas ikut olimpiade.”
Rasanya, sangat sulit untuk Kai tidak menyunggingkan senyumnya saat ini kepada Sean. Laki-laki itu benar-benar bersikap baik kepadanya. ”Makasih banyak, Sean. Aku benar-benar berutang banyak sama kamu.”
Perasaan yang sama dirasakan oleh Sean. Sangat sulit bagi Sean menahan diri untuk tidak mengangkat sebelah tangan ke atas kepala Kai, lantas mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut. ”Sama-sama, Kai.”
🌟
Author's Note:
Bab 9 sudah di-update! Gimana sama bab ini?
Menurut kalian, pertemuan Kai dengan Sean itu hanya kebetulan atau memang sudah direncanakan oleh semesta ya?Yuk, ditunggu bab berikutnya!
See you, Guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...