Seperti janji Kai waktu itu, setelah ia menyelesaikan beberapa hal dalam hidupnya, Kai akan menemui Sean untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Maka, di sinilah keduanya berada, di rooftop sekolah, tempat pertama kali mereka bertemu. Pagi ini, mereka memang sengaja datang lebih awal supaya memiliki lebih banyak waktu untuk bercerita.
”Sejujurnya, aku bingung mau cerita dari mana,” ujar Kai terkekeh kecil. Rasanya, semua yang terjadi dalam hidupnya beberapa waktu terakhir ini begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Setelah mempertimbangkan beberapa hal, seperti bunda Sean yang merupakan teman dari Marcel dan Mariam, Kai memilih menceritakan semuanya kepada Sean. Semua. Tidak ada yang terlepas satu pun. Sebab, kalau kedua orang tuanya bisa berteman baik dengan Kasih, bukannya Kai juga harus bisa berteman dengan anak dari sahabat orang tuanya itu?
”Jadi, bunda dulu berteman baik sama papa dan mama kamu? Ternyata, dunia memang sesempit itu, ya.” Sean berujar. ”Tapi, kenapa rasanya aku nggak pernah kenal sama kamu sebelumnya, ya?”
”Mungkin, karena waktu itu kita masih nggak nyadar aja. Lagi pula, kita juga masih SD waktu itu. Sejak mama meninggal, tante Kasih cerita juga udah jarang ke rumah. Paling hanya komunikasi lewat telepon aja sama papa.”
Sean mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Kai. Lelaki itu kemudian menatap Kai cukup lama, membuat Kai merasa salah tingkah.
”Kamu kenapa lihatin aku kayak gitu?”
”Aku cuma kagum sama kamu, Kai.”
Gawat, kenapa wajah Kai terasa memanas ketika mendengar kalimat Sean barusan?
Segera, Sean kembali melanjutkan kalimatnya. ”Aku kagum karena kamu mampu menaklukkan situasi sulit selama beberapa tahun ini. Tentu, itu bukan hal yang mudah untuk kamu. Harus hidup dalam perasaan penuh amarah sama papa kamu, belum lagi dihadapkan sama hal-hal lain yang mungkin itu nggak mudah. Yang ngebuat aku lebih kagum lagi sama kamu adalah karena akhirnya kamu bisa berdamai dengan semua itu. Kalau aku ada di posisi kamu, mungkin aku nggak bisa dengan mudahnya memaafkan semua situasi yang udah terjadi.”
”Sejujurnya, aku juga ngerasa cukup berat. Tapi, terus-menerus menyalahkan keadaan juga nggak baik, kan? Mungkin, secara nggak langsung memang kejadian dan kesalahpahaman itu membuat aku harus kehilangan mama. Kalau aja, papa nggak menerima tawaran kerjasama itu, mungkin mama masih ada sampai sekarang. Tapi, kembali lagi, aku nggak punya alasan kenapa aku harus tetap marah sama papa, ketika aku tahu bahwa alasan papa menerima tawaran itu ialah untuk aku dan mama.”
”Itu alasan kenapa aku bilang aku kagum sama kamu, Kai. Karena, kamu punya hati yang lapang untuk memaafkan keadaan yang sudah terjadi, yang mungkin nggak semua orang punya itu, Kai.”
Kai tersenyum tipis mendengar ucapan Sean. Gadis itu lantas mendongakkan kepala ke atas, memandang hamparan langit yang begitu luas. ”Sekarang, aku cuma berharap mama dengar percakapan antara aku dan papa waktu itu, supaya mama juga tahu kebenarannya. Bahwa papa nggak pernah berniat untuk menyakiti mama. Meski itu nggak bisa buat mama kembali, setidaknya mama bisa tenang di atas sana.”
”Kai, kamu mau tahu satu hal?”
Kai lantas memindahkan fokus kepada Sean yang berada di sampingnya. Lelaki itu juga ternyata tengah menatap langit sama seperti Kai. ”Apa itu?”
”Aku selalu percaya, mereka yang udah damai di atas sana nggak pernah sekalipun benar-benar ninggalin kita, Kai. Diam-diam mereka selalu merhatiin kita. Sama seperti mama kamu yang selalu merhatiin anak perempuannya.”
”Kamu benar, Sean. Mama nggak pernah benar-benar ninggalin aku. Buktinya, aku nggak pernah ngerasa kesepian. Aku selalu ngerasa mama masih hidup dan selalu ada di samping aku, seperti saat mama lagi ngebacain dongeng sebelum tidur untuk aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...