Kelahiran dan kematian. Dua hal yang berada di luar kontrol manusia. Kedua peristiwa itu saling bertolak belakang. Jika kelahiran menjadi awal dari kehidupan bagi seseorang, maka kematian mengakhiri kehidupan itu.
Selain rumah sakit, suasana pemakaman merupakan tempat yang Kai benci. Sebab, di tempat ini, ia pertama kali melihat bagaimana tanah menimbun habis peti berwarna cokelat jati yang menyimpan mamanya di dalam sana.
Kai bahkan masih ingat, bagaimana hancurnya ia pada saat itu. Terlebih, Mariam memilih mengakhiri hidupnya sendiri, tanpa persetujuan dari semesta.
Luka-luka di hati Kai belum sepenuhnya mengering, meski Kai sudah berusaha untuk berdamai dengan kepergian Mariam.
Dan, sekarang, Kai harus kembali mereka ulang suasana hari itu. Bersama sekumpulan orang berpakaian gelap berkerumun di atas tanah pemakaman, menyaksikan peti milik Marcel perlahan diletakkan di lahan kosong di sebelah makam Mariam.
Sejak detik di mana dokter mengumumkan waktu kematian Marcel, sejak itu pula air mata Kai tidak berhenti mengalir. Kulit di bagian bawah matanya bahkan mulai membengkak.
Rasanya, dunia Kai benar-benar hancur. Tidak puas semesta mengambil pergi mamanya. Kini, semesta juga harus mengambil pergi satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Bahkan jahatnya lagi, Kai belum sempat menikmati hari-hari bersama Marcel setelah keduanya berdamai dengan keadaan. Seolah Kai tidak diberikan kesempatan untuk menebus semua rasa rindu yang ada di hati.
Dada Kai terasa sesak ketika orang-orang di sana mulai membacakan doa agar yang baru saja meninggalkan dunia bisa pergi dengan tenang.
Kai tidak pernah menyangka bila ini semua akan terjadi dalam sekejap mata. Kai yang baru saja berdamai dengan Marcel, Kai yang mengetahui riwayat penyakit Marcel, Kai yang mendapatkan berita bahwa Marcel kecelakaan, hingga Kai yang harus berdiri di sini. Semua berlalu begitu cepat. Tanpa memberikan sedikit ruang bagi Kai untuk mencerna semua ini.
Acara pemakaman sudah berakhir satu jam yang lalu. Namun, air mata yang membasahi pelupuk mata Kai masih belum mengering.
Saat ini, Kai sudah berada di rumah. Entahlah apakah ini masih bisa disebut sebagai rumah atau tidak. Sebab, ketika Marcel menyusul Mariam, rasanya rumah ini kehilangan definisinya.
Barangkali, Kai hanya bisa menyebutnya sebagai tempat untuk berteduh. Karena, kata 'rumah' terlalu dingin untuk disematkan pada bangunan ini.
"Kai, ini Tante beliin bubur ayam. Kamu belum makan, kan? Sini, makan dulu."
Kai melirik sejenak pada Utari, satu-satunya adik dari mendiang papanya.
"Kai nggak lapar, Tan."
Utari mengerti. Keponakannya itu masih terbawa dalam rasa sedih. Maka dari itu, Utari memilih tidak memaksa Kai untuk makan. "Buburnya Tante taruh ke meja dulu. Kalau kamu mau makan, nanti bilang sama Tante, ya. Biar Tante panaskan ulang."
Melihat Kai yang begitu kacau, rasanya wanita yang usianya 3 tahun lebih muda dari Marcel itu tidak sanggup. Walau bagaimanapun, Utari sudah menganggap Kai sebagai anaknya sendiri. Dulu saat Mariam baru saja meninggal, Utari yang ikut menemani Kai di rumah. Hingga saat Utari hamil anak pertamanya, Utari tidak lagi di sana. Terlebih, Utari harus ikut ke luar kota bersama suaminya berpindah tempat kerja.
Utari meninggalkan Kai di kamar, kemudian berjalan keluar menemui suami dan kerabat lain yang ada di ruang tamu. Namun, pandangan Utari terhenti pada seorang anak laki-laki yang tadi datang bersama wali kelas serta beberapa teman Kai yang lainnya. Ia duduk di teras rumah sendirian. Utari menghampiri anak tersebut.
"Kamu temannya, Kai?"
"Iya, Tan. Saya Sean. Temannya Kai."
Utari mengangguk kecil, lantas tersenyum. "Saya Utari, tantenya Kai. Kamu tadi datang sama teman-teman yang lain, kan? Kenapa belum pulang?" tanya Utari tanpa ada maksud untuk mengusir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...