Sepulang dari pemakaman Mariam, Sean kembali membawa Kai pulang ke rumahnya. Gadis itu masih tidak ingin pulang ke rumah. Rasanya, pertemuan Kai dengan Anisa tadi di acara ulang tahun perusahaan kembali membangkitkan rasa sesak yang sudah lama hilang terpendam.
Awalnya Kai berencana menginap di rumah Sana, sebab tidak enak jika harus kembali merepotkan keluarga Sean. Akan tetapi, Sean terus membujuknya untuk tetap tinggal di rumah lelaki itu, dengan membawa-bawa nama Sella ke hadapan Kai. Memang benar, adik perempuan satu-satunya dari Sean itu tadi pagi terus meminta Kai untuk kembali menginap satu hari lagi di rumah mereka.
Maka, malam itu—setelah kembali sebentar ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan untuk besok—, Kai kembali beristirahat di kediaman Sean. Sama seperti malam sebelumnya saat Kai tidak bisa tidur, hari ini juga begitu.
Meski rasa lelah menguasai tubuhnya, tetapi matanya enggan untuk terpejam. Beruntung, Sean juga masih terjaga sehingga Kai memiliki teman untuk bicara lagi malam ini.
"Kayaknya aku belum ngucapin selamat sama kamu, ya, tadi. Selamat untuk kemenangan kamu hari ini."
"Bukan kemenangan aku, tapi kemenangan tim sekolah. Karena kali ini aku bertandingnya dengan tim."
Sean terkekeh kecil. "Mau sendiri, mau berdua, bertiga, kamu selalu keren, Kai. Meskipun aku nggak ikut hadir di sana, tapi aku yakin, kamu pasti keren banget."
Harusnya, ucapan selamat itu sudah biasa Kai dengar dari teman-temannya. Tapi, entah kenapa, rasanya ucapan yang ia dengar malam ini dari Sean terasa begitu tulus.
"Terima kasih sebanyak-banyaknya, Sean. Aku nggak tahu, gimana jadinya aku kalau nggak ada kamu yang bantuin aku."
🌟
"Kai, congrats lagi, ya. Gila, kayaknya aku udah sering banget ngucapin selamat ke aku. Tapi, serius, kamu benar-benar keren."
Belum sempat Kai menarik napas ketika tiba di kelas, Sana sudah terlebih dahulu menodongnya dengan ucapan selamat. Sepertinya, temannya satu ini memang benar-benar begitu antusias dengan kata selamat.
"Tapi Kai, aku dengar-dengar kemarin begitu olim selesai kamu langsung dijemput pulang? Gak biasa-biasanya kamu kayak gitu, Kai. Ada apa?"
"Kemarin ada acara keluarga, Sana. Jadi, papa suruh orang buat jemput aku," bohong Kai.
"Oh gitu, pantasan aja kamu dijemput tiba-tiba gitu," Sana ber oh ria, kemudian mengeluarkan buku catatan yang disampul rapi dengan kertas manila berwarna biru muda, lantas memberikannya kepada Kai.
"Kemarin waktu kamu nggak masuk, pak Sugi ngasi banyak banget catatan, Kai. Ini udah aku catat dengan rapi, supaya bisa kamu salin ulang ke catatan kamu. Oh iya, satu lagi, hari Kamis depan, kemungkinan bakal ada kuis Fisika. Cukup pelajari bab 2 dan soal-soal latihan aja."
Kai menatap Sana cukup lama, memikirkan apakah dirinya sudah berlaku jahat kepada Sana. Jika dipikir-pikir, Sana begitu baik dan tulus kepada Kai. Bahkan, ketika Kai tidak masuk sekolah karena satu dan lain hal, Sana selalu meminjamkan catatannya keesokan hari kepada Kai. Seolah gadis itu tahu bahwa sejujurnya Kai tidak pernah rela ketinggalan pelajaran satu hari pun, kecuali karena olimpiade.
Sedangkan Kai, ia selalu membohongi Sana ketika Sana bertanya tentang keadaannya. Kai tidak pernah sekalipun bercerita kepada Sana mengenai masalah yang ia hadapi.
Terkadang, rasanya Kai ingin bercerita. Namun, lagi-lagi Kai memilih bungkam. Sebab, bagi Kai, masih tidak ada orang yang bisa ia percayai. Bahkan, ungkapan musuh dalam selimut pun bisa jadi benar adanya.
Terkecuali, Sean seorang. Laki-laki itu seolah menghipnotis Kai untuk percaya begitu saja, padahal Kai baru mengenal Sean. Anehnya, tidak ada sedikit pun keraguan yang disimpan Kai untuk Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flawed Perfection
Teen Fiction[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Sama seperti halnya dengan kehidupan yang dimiliki Kaianna Victoria. Orang-orang menyebutn...