Gadis itu bersiap dengan kopernya sambil mengingat kembali barang apa saja yang perlu dibawa. Sementara itu, gadis lain yang turut berbagi flat dengannya sedang sibuk menyeduh kopi instan di dapur.
"Kau akan bersama Niall selama berapa hari?" suara gadis itu terdengar nyaring meskipun posisi mereka tersekat oleh sebuah tembok.
Adeline menggeleng tak tahu, "Seminggu mungkin? Entahlah, Vane."
Vanessa berjalan meninggalkan dapur sambil membawa mug kesayangannya. Dia menyeruput kopinya perlahan. "Yakin akan tinggal dengan Niall saat kau sendiri sering menangisi masalah perasaanmu terhadapnya?" Vanessa mulai menggoda, pipi Adeline pun seketika memerah.
Tapi keputusan gadis itu benar-benar bulat. Lagipula ini satu kesempatan emas. Dia bisa menghabiskan banyak waktu bersama Niall di rumahnya. Atau mungkin dia bisa menemani Niall kemana pun pemuda itu pergi.
"Kesempatan tak akan datang dua kali. Sekali datang, kenapa kita tak menjemputnya?" ujar Adeline sok bijak.
Dia pun melompat keatas sofa dimana Vanessa sedang duduk lalu merebut mug berisi kopi dari tangannya, "Kau memang tak pernah berubah dari dulu," Vanessa terkikih kecil.
Tak ada yang perlu diragukan dari dua sosok gadis muda ini. Mereka saling mengenal bahkan jauh sebelum mereka tahu apa arti sahabat yang sesungguhnya. Selain karena bertetangga, kebetulan nenek mereka juga saling bersahabat dan usia mereka pun sepantaran.
Vanessa menganggap Adeline seperti saudara kembarnya sendiri. Mereka banyak menghabiskan suka-duka bersama. Termasuk mencurahkan segala pikiran dan perasaan ketika Adeline dituduh sebagai perusak hubungan Vanessa dan Louis.
Padahal sejak awal Vanessa sama sekali tak masalah saat Louis mendekati Adeline. Bahkan hati gadis itu layaknya telah membeku dan dia juga tak menaruh rasa cintanya lagi terhadap Louis. Tapi rasa bersalah begitu menyelimuti Adeline meskipun Vanessa selalu menjelaskan bahwa dia sama sekali tak cemburu atau menuduhnya sebagai perusak.
Lagipula Vanessa tahu betul jika Adeline jatuh cinta pada Niall.
Bel flat mereka berbunyi nyaring. Sontak Adeline melompat untuk membuka pintu depan dan senyumnya mengembang lebar.
"Oh Niall," sapanya lalu membiarkan pemuda itu masuk.
Niall menyapa Vanessa dengan hangat dan sempat berpelukan sesaat sebelum pemuda itu memusatkan perhatiannya pada Adeline.
"Sudah siap untuk tinggal di rumahku?" tanyanya. Adeline mengangguk cepat lantas masuk kedalam kamar untuk mengambil kopernya.
"Tentu," sahutnya begitu dia kembali dihadapan Niall.
"Well, ayo berangkat!" Niall berkata dengan cukup keras. Dia sempat menatap Vanessa sejenak sebelum akhirnya meraih koper Adeline dan membawanya keluar.
"Aku harap ini berjalan baik. Please, telfon aku kalau kau butuh apa-apa," Vanessa menambahkan, terdengar nada kekhawatiran disana.
"Aku akan baik-baik saja," terangnya selagi mengangguk.
Adeline hendak melangkahkan kakinya keluar tapi lagi-lagi Vanessa menahannya, "kau masih dalam lingkaran keperawanan okey?"
Lalu Adeline tergelak mendengar perkataan sahabatnya itu, "Okey aku tahu aku belum memutus lingkaran itu, Vane. See you soon," Adeline mencium sekilas pipi sahabatnya, layaknya sedang berusaha membuat Vanessa yakin akan pilihan tersebut.
"Harusnya aku membawa koperku sendiri." kata Adeline begitu dia berhasil menyamakan langkah dengan Niall yang sedang menyeret kopernya.
Pemuda itu tersenyum lebar, "Bukan, kau bukan asisten dalam artian sesungguhnya. Maksudku, ayo kita jadi teman."
Seketika ribuan kupu terbang dari dalam perut Adeline, rasanya apa yang dia impikan akan terwujud dalam hitungan detik saja. Menjadi teman, oh ayolah, teman bisa membawa kedalam hal yang lebih dari itu.
Sesampainya di mobil, Niall segera menyalakan mesin mobilnya dan melesat menuju rumah mewahnya di London bagian Utara. Tempat dimana dia akan menghabiskan banyak waktu luang diantara kesibukan tour dunianya.
"Aku ingin tahu banyak hal tentangmu. Kau bisa mulai dari keluargamu," Niall mencoba merubah suasana yang sempat kaku. Sejujurnya Adeline tidak pernah merasa sedekat ini dengan Niall meskipun dirinya beberapa kali bersinggungan dengan pemuda ini.
"Well, aku lahir di Manchester 20 tahun lalu. Dad pekerja kantoran disana, sementara Mom punya butik kecil. Sejak kecil Mom selalu mengajarkanku cara berpakaian yang baik. Maka dari itu aku tertarik menjadi asisten Lou."
"Dan teman-temanmu?" Niall merasa mudah masuk kedalam perbincangan ini.
"Seperti yang kau tahu. Aku bersahabat dengan Vanessa sejak kecil. Kami seperti saudara kembar dan dia bertindak seperti kakakku."
Niall menganggukkan kepalanya, "Lalu apa lagi?"
"Kami bersahabat karena nenek kami juga bersahabat sampai sekarang. Vane dan aku punya kesamaan dalam hampir segala hal mulai dari fashion, pola makan, cara tidur, tapi sedikit berbeda soal tipe pacar," Adeline tertawa dengan banyaknya kesamaan dengan Vanessa.
"Oh well, kita bicarakan nanti sampai di rumah. Aku tak sabar mendengar yang lebih banyak tentangmu."
Adeline melirik kearah Niall tak mengerti, baru kali ini dia bertemu dengan pemuda seperti Niall.
"Oh I mean, we'll be a good friend," ujar Niall dengan cepat.
**
Vanessa Hudgens as Vanessa 'Vane' Clay on mulmed
KAMU SEDANG MEMBACA
Poison ╰☆╮ n. horan ✅
Fanfiction❝I pick my poison and it's you!❞ [ A Niall Horan fanfiction, written in bahasa ] copyright © paynefiction, 2015.