Malamnya seusai makan malam, Niall mengetukkan kepalan tangan kanannya pada pintu tempat dimana Adeline akan menghabiskan waktu tidurnya. Pemuda itu menenteng gitarnya pada tangan sebelah kiri.
"Eline? Kau masih lama ya?"
Sementara itu di dalam, Adeline sedang sibuk mencari pakaian yang pas. Di malam hari dia sering sekali terkena flu dadakan karena udara malam tidak pernah bersahabat dengannya. Alhasil dia menarik sepotong sweater hitam kesayangannya dan segera membuka pintu.
"Oh, jadi kau mengganti pakaian dulu?"
Adeline tak bisa menyangkal bahwa dia tersipu malu sekarang. Padahal mereka hanya akan menghabiskan waktu di halaman belakang, bukan pergi ke tempat yang jauh. Tapi apa boleh buat?
"Aku sering terkena flu mendadak di malam hari jadi, aku pikir menggenakan sweater akan lebih baik," sahutnya malu-malu.
Pun Niall bergegas meraih tangan Adeline dan menggenggamnya erat, menggiring gadis itu menuju halaman belakang yang ternyata lebih bagus pada malam hari daripada siang hari. Suasana disini lebih tenang. Dengan suara jangkrik yang seirama dan lampu-lampu kecil yang menghiasi semak tinggi yang membentuk tembok.
"Aku belum sempat kemari tadi siang dan aku pikir halaman belakangmu sangat nyaman dan menyenangkan."
Niall tersenyum mendengar pujian dari Adeline, "Mau minum wine?" tawarnya. Pemuda itu menyandarkan gitarnya pada kursi santai tepat dibelakang mereka berdiri.
Adeline perlu menimbang tawaran ini. Maklum, dia tidak begitu suka minum atau bisa jadi malam ini adalah pengalaman pertamanya minum wine, "Boleh."
Lalu Niall melangkah masuk kembali. Adeline mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam yang indah, batin Adeline.
Niall kemudian kembali dengan sebotol wine dan dua gelas kosong di tangan yang satunya, lantas meletakkan benda-benda itu diatas rerumputan.
"Coaching clinic diatas rerumputan yang lembab," batin Adeline lagi.
Mereka akhirnya terduduk bersama. Niall bersiap dengan gitarnya, memberikan pengarahan tentang kunci dasar bermain gitar dan membiarkan Adeline memperhatikannya baik-baik.
Tapi tentu saja bukan gitar yang menjadi fokus utama Adeline melainkan Niall. Sosok Niall yang diterpa cahaya remang dari lampu kecil berwarna-warni dan rambut pirangnya yang berantakan membuat Adeline nyaris tak bisa bernapas.
"Apa kau mengerti?" Niall balik menatap kearah Adeline. Gadis itu lantas mengangguk kecil, "Sedikit. Belum tentu aku bisa memainkannya malam ini juga."
"Tidak," Niall menggeleng, "Aku akan dengan senang hati mengajarkanmu setiap malam, Eline."
Tak terasa senyum lebar itu mengembang dari bibir Adeline, dia merasa seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Bahkan itu terjadi malam ini. Bisakah Adeline mendapatkannya setiap hari? Kalau begitu, lebih baik dia tak memperhatikan Niall saja supaya setiap malam dia bisa menghabiskan waktunya dengan pemuda itu.
"Benarkah?" Adeline tak bisa menyamarkan kebahagiaannya. Tapi melihat Niall yang menganggukkan kepala dan meraih tangannya sontak membuat Adeline percaya.
"Okey, kau coba," pemuda itu mengulurkan gitarnya kearah Adeline sampai akhirnya gadis itu mulai mencobanya.
Sulit. Begitu Adeline mengikuti apa yang dilihatnya tadi, itu tidak pernah semudah bayangannya. Dan akhirnya Niall mencoba membantu, dia duduk di belakang tubuh Adeline dan mulai membenarkan posisi tangannya. Tepat dari prediksi, sekarang tubuh mereka hanya dibatasi oleh kaos tipis dan sweater yang dikenakan Adeline serta polo shirt yang dikenakan Niall.
"Harusnya seperti ini," tangan pemuda itu menyentuh lembut tangan Adeline. Rasanya seperti sengatan listrik ribuan volt. Untuk pertama kalinya Adeline merasa sedekat ini dengan Niall.
"Ini sulit," dengus Adeline menyerah.
Niall pun mengangguk, "Bagaimana kalau kita lanjut besok? Kau bisa membawa gitarku untuk latihan. Sekarang, ayo kita minum."
Moment itu akhirnya berakhir. Niall segera duduk dihadapan Adeline lagi dan menuangkan wine kedalam satu gelas kosong dan menyodorkannya pada Adeline.
"Bersulang?" Niall mulai mengangkat gelasnya ke udara, begitu juga dengan Adeline dan akhirnya mereka bersulang.
Adeline meneguk wine miliknya dan beberapa saat kemudian cairan mirip sirup itu sepertinya ditolak oleh tubuhnya. Cairan itu naik lagi di esofagus, tapi akhirnya ditelan dengan paksa. Adeline melakukannya, meneguk minuman beralkohol pertamanya.
"Untuk pertama kalinya? Eh?" Niall menyela.
Adeline pun tersipu sembari menangguk kecil, "Aku pikir Vane telah memberimu banyak minuman beralkohol," katanya tak percaya.
"Kami berbeda soal ini. Harus aku akui meskipun nyaris semua kegiatan dihabiskannya bersamaku. Tapi kami berbeda di beberapa kebiasaan."
"Misalnya?" tanya Niall penasaran.
"Aku tidak minum alkohol, kecuali malam ini. Aku tidak pergi ke club. Aku tidak ingin mencoba merokok. Dan aku tidak menyukai dunia malam seperti yang Vane suka."
"Jadi Vane merokok?" Niall tampak terkejut.
"Dengan tingkat intensitas yang rendah. Dia hanya melakukannya sekali seminggu. Aneh kan?" Adeline menyunggingkan senyum kecilnya.
"Oh itu menarik," tak lama kemudian Niall mendengar bunyi bel yang nyaring. "Kau tunggu disini sebentar," Pun dia segera berlari keluar untuk membuka pintunya dan meninggalkan Adeline di halaman belakang sendirian.
***
Kalian mau bilang apa buat Adeline? Kalo gue sih, 'Hidup lo di dunia udah kaya di surga' bhaaak
Itu siapa coba yang dateng? Jangan-jangan penjahat lagi? :3
KAMU SEDANG MEMBACA
Poison ╰☆╮ n. horan ✅
Fanfic❝I pick my poison and it's you!❞ [ A Niall Horan fanfiction, written in bahasa ] copyright © paynefiction, 2015.