"Eline, aku tahu kau ada di dalam." suara khas sedikit serak itu seketika mengejutkan Adeline dari tempat duduknya. Dia berani bertaruh, seseorang yang tengah menunggu pintunya terbuka itu adalah orang yang sangat dikenalnya.
Adeline mulai ragu. Dia sedang tak berminat membukakan pintu untuk tamu tak diundang itu. Tapi dia tak bisa membiarkan tamunya menunggu begitu saja. Kalau bibi Martha tahu, perempuan itu pasti akan menyuruh pemuda itu untuk masuk.
Alhasil, setelah bergelut dengan pikirannya, Adeline menarik nafas dalam-dalam sebelum beranjak dari sofa dan mulai menghembuskannya perlahan ketika pintu cottage itu sudah ada di depan mata.
"Thanks God! I finally found you!" seru pemuda berambut berantakan dengan jaket jeans yang menggantung di pundaknya dan dengan segera pemuda itu memeluk Adeline kedalam dekapan hangatnya.
Adeline jelas tak bisa membendung air mata ketika pemuda itu muncul untuk pertama kalinya usai pelarian yang sudah nyaris seminggu.
"Hey, kenapa kau menangis, Sayang? Oh ya astaga, Eline."
"Kau tak perlu melakukan ini, Louis. Sungguh, kau tak perlu melakukan ini." Louis kemudian melepaskan dekapannya untuk menatap mata Adeline. Dia tahu betul apa yang dirasakan perempuan cantik dihadapannya ini - rapuh dan sebentar lagi akan hancur.
"Hey, I'm here to help you. I'll explain everything that I know. I'll tell you the truth." Louis pun mengusap pundak Adeline perlahan dan mulai memapah tubuh rapuh perempuan itu menuju sofa.
Adeline mulai terduduk dengan tenang sementara Louis terus mendekap tubuh perempuan itu dan mengelus lembut punggung tangannya - berusaha untuk membuat Adeline merasa nyaman.
"So, kau mau aku buatkan teh?" begitu kalimat itu terlontar Louis langsung menggeleng cepat. "Tidak, aku akan mengatakannya dengan cepat karena aku harus segera kembali ke airport."
"Sudah aku bilang kalau kau tak perlu melakukan ini. Aku tahu jadwalmu sedang padat, Louis." sergahnya.
Louis bersikeras untuk menemui Adeline di tempat ini meskipun dia tahu jika saja waktunya tak lebih dari 45 menit untuk mempersiapkan semuanya. Jika sampai waktu tersebut tak cukup, Louis bisa tertinggal penerbangan yang akan membawanya ke Manchester dan resikonya pemuda itu harus menumpangi pesawat komersil.
"Aku merasa menjadi seorang pengecut jika tidak menjelaskan semuanya, Eline. Aku harus menjelaskannya."
Adeline mengangguk mengerti, "Lanjutkan." pintanya.
Louis mulai membenarkan posisi duduknya agar mereka saling nyaman. Adeline memperhatikan Louis dengan seksama sambil terus memegangi perutnya yang entah kenapa rasanya seperti melilit.
"Aku tahu Niall berusaha keras mencari cara agar hubungan kami berantakan. Kau tahu - maksudku, hubunganku dan Vane." Louis mengamati respon Adeline. "Awal dari semua ini adalah Niall. Kalau saja dia tak berusaha menarik perhatiannya, aku pikir Vane tak akan menyudahi hubungan kami."
Adeline mengangguk sebagai isyarat. "Dan akhirnya aku memilihmu menjadi tempat mencurahkan segala pikiranku. Percaya atau tidak, Niall berusaha mencari tahu tentangmu dan membuat semua berita di media kalau kau perusak hubungan kami berdua. Aku baru menemukan buktinya beberapa hari lalu."
"Oh, bajingan." dengus Adeline kesal.
"Dia memutar otak setelah tahu kau menyukainya. Sepertinya dia mendengar percakapan kita saat di backstage - saat pertama kalinya kau mengatakan kau mencintai sahabatku."
Adeline mendengus lagi, dia memijat keningnya perlahan, "Oh Tuhan, aku jadi merasa sangat bodoh saat melakukan hal itu. Kau tahu? Aku berubah 180 derajat, Lou. Aku bukan Adeline yang dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Poison ╰☆╮ n. horan ✅
Fiksi Penggemar❝I pick my poison and it's you!❞ [ A Niall Horan fanfiction, written in bahasa ] copyright © paynefiction, 2015.