huit

951 135 24
                                    

- a d e l i n e


Semalam aku tidak tidur nyenyak karena memikirkan banyak hal. Jangan kau kira hanya para pemimpin negara yang berpikir tentang tanggung jawab berat yang mereka pikul. Tapi begitu juga denganku (meskipun aku tidak memikirkan soal negara) -- tapi aku terlalu memikirkan ratusan ribu tweet yang mengatas-namakan kebencian untuk Adeline.

Setelah foto-foto kebersamaanku dan Niall beredar, banyak orang berkomentar tentang kami. Ada yang memberikan komentar pedas, ada juga yang memaki dan memanggilku jalang, tapi ada juga tweet yang mengatakan kalau kami ini pasangan serasi.

Antara senang karena setidaknya ada yang mendukungku, dan benci karena sebagian besar dari mereka menghakimiku.

Aku sadar sejak kemarin diriku terlalu larut dalam kisah cinta sesaat. Antara aku dan Niall yang bahkan sempat mengumbar kemesraan di acara itu. Tapi apa boleh buat? Sepulang dari pesta kami langsung beristirahat di kamar masing-masing tanpa bercerita banyak hal -- itu sedikit menyebalkan.

Tapi kemarin kami banyak berbicara soal masa kecilku dan kehidupanku pada masa sekarang. Rasanya sedikit aneh ketika orang seperti Niall terlihat sangat ingin tahu tentang diriku, tapi nyatanya dia melakukan itu. Bahkan aku pikir kemarin Niall berusaha mengintrogasiku.

"Pagi yang indah dan kau malah melamun disini? Ada apa, Eline?" sosok berambut blonde itu muncul dari ujung tangga penghubung ke lantai dua. Rambutnya acak-acakan, tapi sepertinya dia sudah mandi sebelum turun, berbeda dari yang dilakukannya sebelum ini.

"Nothing. Hanya memikirkan beberapa hal tentang pekerjaan saja." dustaku. Aku memang tak ingin merusak suasana pagiku bersama Niall.

Pemuda itu lantas terduduk disampingku sambil memfokuskan sepasang matanya kearahku. Dan aku melihat Niall tersenyum tipis lalu menyela, "Kau cantik ya. Sial! Aku baru sadar."

Yang lebih sial dan parah dari perkataannya adalah pipiku yang berubah merah.

"Kau mau aku buatkan sarapan? Kau mau sarapan apa?" aku segera bangun dari kursi dan berjalan menuju dapur. Sebelum akhirnya melongok kedalam lemari pendingin untuk mencari bahan makanan apa yang tersisa.

"I eat everything." candanya sambil tersenyum. Bodoh, aku tahu dia sedang menertawakan sikapku yang dengan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Oh ya, kau memakan apapun tanpa peduli akan penambahan berat badan. Andai saja aku bisa melakukannya." ujarku. Pun aku menarik semangkuk tomat, selada segar, keju, dan tuna asap lalu menatanya diatas meja.

"Tapi kau punya badan yang bagus tentu saja." celetuk Niall. Dia masih mengarahkan tatapannya kearahku seolah mengikuti setiap gerak yang aku lakukan.

"Aku masih lebih gemuk daripada Vane meskipun tipe makanan kami selalu sama."

"Oh ya? Makanan macam apa yang kau suka untuk makan malam? Misalnya, candle-light dinner?"

Aku menatap kearahnya setelah tanganku berhasil meraih sebungkus roti tawar diatas meja, "Kami tipe orang yang suka menghabiskan waktu di luar. Kami suka makan malam di restoran favorit kami." aku menjelaskan. "Restoran Italia di ujung jalan dekat flat. Kau bisa tanya pelayannya apa makanan kesukaan kami disana."

Niall seketika terkikih pelan. Mungkin ini terdengar menggelikan karena setiap aku melakukan kegiatan, selalu ada Vane disana. Dan untuk kali pertama aku menghabiskan hariku tanpanya, tapi aku sekarang bersama Niall. Jadi tak ada yang perlu aku khawatirkan.

"Kalian sudah lebih mirip kembar siam. Kemana pun kau pergi, disitu ada Vane. Dan kemanapun Vane pergi, disitu ada kau."

Aku ikut tertawa kecil. Tanganku dengan cekatan menumpuk selada, potongan tomat, tuna asap, dan parutan keju lalu menangkupnya dengan selembar roti tawar lagi. Lantas mulai meletakkannya diatas piring, "Sandwich tuna yang semoga saja lezat."

Niall segera meraih piring itu dan melahap sandwich buatanku. Dia tampak mulai terkesan karena jujur saja aku lumayan pandai dalam hal membuat sandwich dan untungnya Niall suka makan.

"Goddamnit! Ini sempurna." tukasnya dengan ekspresi yang tak bisa digambarkan. Dia tampak menikmati sarapannya dan tak berhenti untuk tersenyum.

Setidaknya aku tahu dia menyukai ini.

"Well, setelah ini aku ada rekaman di studio. Kau harus ikut!" tukasnya dengan antusias. Dia pun bergegas menghabiskan sarapannya dan pergi ke studio bersamaku.

"What the fuck are you doing here?" aku mendengar teriakan dari salah satu penghuni studio yang datang terlebih dahulu dan aku tahu betul siapa dia.

"Stop yelling at her -- you badass." Niall membelaku, dia meraih tangan kananku dan menautkan jemarinya diantara jemariku. Aku bersyukur karena Niall seolah melindungiku dari serangan bertubi-tubi setelah tadi dalam perjalanan menuju kemari, ada beberapa fans yang berusaha menyerangku.

"Kenapa kau datang bersamanya? Dia tidak dibutuhkan disini, Horan." ujar Louis jengkel. Aku tak peduli dengan perkataannya, yang jelas aku kemari atas ajakan Niall.

"Dia akan jadi calon pacar yang baik untukku. Jadi kau harus bersikap baik padanya, Louis." kata Niall.

Seketika itu aku memandang kearahnya, melihat apakah benar yang dia katakan sebagai 'calon pacar yang baik'? Tapi Niall hanya tersenyum kecil dan terus mengenggam erat jemariku. Saat aku menoleh kearah Louis pun dia tampak membenci sesuatu.

"Omong kosong." lalu seketika Louis berdiri dan berjalan meninggalkan kami. Aku tahu dia mengatakannya dengan nada yang tak peduli.

Aku lantas menatap Niall dan tersenyum kecil, "Jangan pernah hiraukan Louis lagi." ujarnya dan apa yang selalu aku harapkan terjadi, Niall mengecup punggung tanganku dengan lembut.

"Kau tunggu disini ya, aku harus kedalam sebentar." ujarnya. Dan aku hanya bisa mengangguk kecil.

Ciuman Niall tadi berhasil membuatku seakan hilang keseimbangan. Perutku rasanya mual dan ingin memuntahkan sarapanku dengan segera. Alhasil aku berjalan menuju toilet yang sempat aku jumpai tadi.

"Eline!" seseorang berteriak kearahku begitu melihatku berjalan menuju kearahnya. Tapi aku dengan cepat berbalik arah dan pemuda itu mengejarku.

Dia berhasil meraih tanganku dan membuatku berbalik arah, "Kenapa kau bersikap seolah kita adalah musuh?"

"Louis, kau tahu apa yang aku mau."

"Setidaknya kau berbicaralah padaku." katanya jengkel. "Kau pergi dengan Niall tanpa memberitahuku, Eline! Apa yang sudah dilakukannya padamu?"

"Cukup Louis! Itu sama sekali bukan urusanmu!"

Aku malas membahas hal ini dan Louis seolah merusak mood terbaikku. Alhasil aku berjalan pergi meninggalkannya tanpa peduli soal Louis lagi.

**

Disatu sisi Adeline ngeselin ya gak? :D

Poison ╰☆╮ n. horan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang