Niall masih dengan setia menyeret koper milik Adeline di tangan kirinya. Pemuda itu juga membukakan pintu untuk gadis itu dan membiarkannya masuk terlebih dahulu.
"Lebih tertata rapi daripada rumah Louis," ujar Adeline begitu menginjakkan kaki di ruang tamu.
Deretan sofa putih, meja berukuran sedang dan dua meja kecil tertata rapi disini. Adeline mengira rumah ini tidak akan jauh beda dengan rumah Louis, tapi nyatanya dia salah.
"Jadi kau sering pergi ke rumah Louis?" Niall menghentikan langkahnya di belakang Adeline
Gadis itu pun akhirnya menoleh kebelakang sambil tersenyum, "Tidak sering. Hanya beberapa kali saat menemani Vane."
Lalu Niall berjalan mendekat dan meraih tangan Adeline, "Aku tunjukkan kamarmu. Letaknya tepat disamping kamarku."
Pun mereka berjalan beriringan menuju lantai dua dimana kamar itu terletak. Adeline lagi-lagi tak pernah menyangka jika Niall akan melakukan ini. Maksudnya, siapa yang tidak terkejut saat seseorang yang disukai, yang awalnya mungkin menganggap dirimu tak pernah ada tapi tiba-tiba datang memintamu menjadi temannya?
"Kau boleh memakai kamar ini sesuka hatimu," Niall langsung masuk dan terduduk diatas kasur sambil mengamati ekspresi Adeline.
"Niall, kau melakukan ini semua untuk apa?" seketika ada sesuatu yang mendorong Adeline untuk menanyakannya.
Pemuda itu menaikkan alisnya, "Untukku - Menurutku aku butuh teman."
"Kau punya tiga sahabat. Ayolah - Louis, Liam, dan Harry. Kau bisa bertemu dengannya kapan saja," sergah Adeline seraya terduduk pada sofa berwarna putih gading di sudut kamar yang menghadap tepat arah Niall.
Ini hanya strategi tentu saja. Adeline adalah orang yang selalu jual mahal. Tak mungkin dia bersikap antusias saat pertama kali menyadari bahwa Niall butuh teman.
"Oh sial! Maksudku, teman? Oh, mereka sahabat, kakak, adik, keluarga? Dan oh, um.." kata Niall terbata, "Aku butuh teman wanita sepertimu. Kau tahu, jika aku mengobrol terlalu banyak dengan mereka - hidupku membosankan."
Jadi Adeline bisa dengan cepat menarik kesimpulan bahwa Niall butuh seseorang untuk mewarnai hidupnya. Teori macam apa ini?
"Oke aku melihatnya dengan jelas - aku mengerti." Adeline tersenyum sambil menggerakkan tangannya tanda mengerti.
Kemudian Niall bangkit dan menghampiri Adeline yang duduk di sofa, "Kau boleh menata barang-barangmu. Apa kau sudah sarapan?"
Adeline menggeleng, "Belum," katanya.
Niall lantas mengangguk, "Aku akan minta Sara untuk menyiapkan sarapan untuk kita."
"Well Niall, berapa lama aku akan tinggal disini?" ujar Adeline tergesa sebelum Niall pergi menjauh.
"Sampai aku merasa waktu kita cukup -- aku tunggu dibawah," pun pemuda itu melenggang pergi.
Sementara Adeline tersipu malu, pipinya memerah layaknya kepiting rebus saat Niall mengatakan kalimat itu. Dia benar-benar jatuh cinta.
**
"Jadi pesta prom di sekolahmu berjalan menyenangkan ya?" Niall mencoba mengiris steik di permukaan piringnya sambil terus bertanya tentang kehidupan Adeline.
"Beberapa anak yang menjadi bahan kejahilan. Tapi semua baik-baik saja, itu menyenangkan. Aku dan Vane bahkan menikmatinya. Dan bagaimana dengan prom di sekolahmu, Niall?" Adeline balik bertanya. Gadis itu merasakan kehangatan saat berada di dekat Niall pagi ini.
"Aku melewatkannya. Yeah, it sucks, tapi aku harus ikut X-Factor dan pindah ke London."
Adeline menunjukkan wajah prihatinnya, "Oh sayang sekali. Padahal itu moment paling menyenangkan selain pernikahan dan kelahiran anakmu kelak."
Pun Niall tergelak, "Ya, tapi aku punya banyak moment menyenangkan. Omong-omong, kau sudah punya rencana untuk menikah?"
Sontak Adeline tersedak begitu Niall menanyakan hal tersebut. Pemuda itu ikut panik dan segera menyodorkan segelas air pada Adeline, "Maafkan aku. Itu pertanyaan konyol ya?"
"Tidak Niall," katanya seusai meneguk air pemberian Niall dengan sedikit menahan tawa, "Maksudku, aku masih muda. 20 tahun adalah angka muda bagiku."
"Ya aku melihatnya, dan bagaimana dengan pacar? Kau sendiri punya?"
Akhirnya kepanikan itu muncul dari wajah Adeline, yang benar saja, wajahnya pasti sudah merah menyala sekarang. Bagaimana Adeline menyembunyikan ini?
"Belum. Untuk sekarang mungkin belum," ujar Adeline malu. Dia menangkupkan kedua tangannya di pipi berharap agar wajah merahnya tidak menarik perhatian Niall.
"Syukurlah," tukas pemuda itu, lirih.
"Maaf kau bilang apa?" pinta Adeline pada Niall untuk mengulanginya, agar gadis itu lebih yakin bahwa Niall barusan mengatakan 'syukurlah?'
"Ayo habiskan." Niall mencoba mengalihkan pembicaraan, Adeline yakin akan hal itu.
"Aku sudah kenyang Niall. Terima kasih," Adeline bergegas memberaskan alat makannya ke tempat cuci.
"Eline, kau bisa main gitar?" saat hendak pergi tiba-tiba tangan Niall menghalau kepergian Adeline.
"Tidak. Aku tidak begitu suka musik," sahut Adeline apa adanya.
Dan satu lagi yang harus diingat, barusan Niall memanggil Adeline dengan nama panggilan yang biasanya hanya diucapkan oleh Vanessa, Louis, Lou, dan Lux. Tapi bagaimana bisa Niall mengucapkan namanya dan terdengar begitu familiar di telinga Adeline? Seolah lelaki itu telah ratusan kali memanggil namanya.
"Well, nanti malam akan aku ajari kau cara bermain gitar," ujar Niall menyunggingkan senyum terbaiknya.
"Okey," Adeline balas tersenyum dan kembali merapikan alat makannya.
**
Coaching clinic bareng Niall ntar malem. Ada yang minat ikut sama Adeline gak? :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Poison ╰☆╮ n. horan ✅
Fanfiction❝I pick my poison and it's you!❞ [ A Niall Horan fanfiction, written in bahasa ] copyright © paynefiction, 2015.