Satu Minggu berlalu terasa begitu cepat. Dan selama itu pula Hanin harus selalu berurusan dengan murid baru itu. Entah dengan alasan apa, Irham selalu saja mengikuti Hanin ke mana pun ia pergi. Hanin membaca buku di taman pun ikut Irham ekori. Benar-benar tidak jelas alasannya apa, kali ini Hanin benar-benar jengah.
Tidak bisakah Irham melihat kalau orang-orang di kelas mereka tidak suka itu? Tatapan sinis selalu mereka layangkan pada Hanin tepat ketika Hanin memasuki kelas, bersama Irham tentunya. Khususnya perempuan-perempuan di kelas mereka. Terlihat jelas mereka tidak suka Irham si murid baru yang lumayan tampan itu malah bergaul dengan Hanin si albino putih yang tidak disukai seluruh isi sekolahan.
Hanin awalnya mereka cukup senang, oh, sekarang ia punya teman. Tapi ternyata lama-lama dibuntuti oleh Irham membuatnya resah dan gelisah. Apalagi ketika melihat tatapan yang dilayangkan kepadanya. Seakan-akan Hanin memang tidak berhak untuk berteman dengan siapapun. Albino a.k.a bukan blasteran seperti yang mereka kira itu tidak boleh berteman dengan siapa saja.
Pagi ini tepat seminggu Irham menjadi murid baru. Dan cowok itu sekarang sudah nangkring di mejanya sembari tersenyum lebar melihat kedatangan Hanin. Ah, pagi-pagi Hanin sudah kesal sekali melihat wajahnya.
"Cemberut amat, Buk. Masih pagi juga."
Hanin menghela napas, dalam hati ia berkata jengkel. Aish! Gue cemberut juga karena elu.
"Kata orang yak, pagi-pagi tuh harusnya kita happy biar kebawa happy sampe siang, kalau badmood dari pagi, pasti bakal badmood terus sampe pulang."
Gue badmood juga gegara lihat elu badak!
Ah, Hanin benar-benar ingin pergi dari kelas sekarang. Apalagi tatapan sinis dari mereka, masih pagi dan Hanin sudah mendapatkan banyak kesialan. Jujur, kehidupannya sebelum Irham datang jauh lebih menyenangkan. Semua akan sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak peduli akan kehadirannya. Sungguh, itu jauh lebih baik daripada sekarang.
***
Jam istirahat bukan jam yang Hanin tunggu, jelas itu. Apalagi sejak kedatangan Irham dan segala macam tingkah cowok itu dari hari pertama sampai sekarang. Sepertinya membuntuti Hanin adalah hobi Irham yang baru, padahal sudah jelas Hanin memasang tampang tidak enak sejak pagi tadi dan cowok itu sama sekali tidak peka.
"Nin, mending beli bakso apa mie ayam? Masih pagi tapi gue udah laper banget. Bakso enak kali, ya?"
Hanin kali ini diam. Biasanya ia menjawab omongan Irham dengan satu atau dua kata saja. Sekarang, ia sedang jengah menghadapi Irham.
"Lo mau makan apa? Gue ngikut deh, ya."
Benar saja. Ketika Hanin mencoba untuk tidak mempedulikan Irham, cowok itu benar-benar mengikuti Hanin. Hari ini warung soto favoritnya tutup, Hanin ingin yang berkuah jadi ia membeli bakso. Irham juga sama dan bahkan mereka duduk di bangku yang sama.
Biasanya Hanin sendirian dan ia akan merasa tenang meski kerap mendapatkan pandangan tidak menyenangkan dari orang-orang. Tapi bersama Irham, justru jauh lebih menakutkan. Kini bukan hanya pandangan tidak enak yang ia dapatkan, melainkan bisikan-bisikan yang terdengar cukup tidak nyaman. Mereka membicarakan Hanin dan alasan dibalik Irham mau menemaninya seperti ini.
Hanin tidak masalah tidak memiliki teman, yang penting hidupnya tenang. Tapi murid baru ini, tiba-tiba datang dan mengatakan ingin berteman. Sungguh, awalnya Hanin menyambut baik itikad itu. Tapi setelah beberapa hari lamanya, semua berubah. Orang-orang mulai membisikinya seperti pertama kali mereka tahu Hanin merupakan albino. Irham jelas tahu itu dan ia terlihat tidak peduli. Namun Hanin tetap peduli, ia tidak tahu seperti apa isi hati Irham. Kalau Irham berniat berteman dengannya hanya karena kasihan, maka lebih baik Hanin tetap sendirian sampai lulus nanti.
"Bakso itu emang jauh lebih enak dimakan waktu laper kek gini. Kalau nggak laper mah mending nyemil. Lo suka cemilan apa, Nin?"
Hanin lagi-lagi tidak menjawab. Ia terlalu kesal. Ada banyak sekali isi kepalanya yang ingin ia keluarkan sekarang juga.
"Kalau udah makannya, ikut gue sebentar." Itu adalah kalimat terpanjang yang Hanin ucapkan hari ini.
***
"Kenapa? Lo kenapa ngajak gue ke belakang kelas sepi gini? Mau ngomong apa?"
Irham jelas tidak mengerti maksud Hanin ketika gadis itu mengajaknya pergi ke tempat sepi di belakang kelas seperti ini.
"Lo tuh, kenapa sih? Gue udah bilang dari awal kan, kalau gue nggak mau kita temanan." Hanin memulai percakapan.
"Kenapa? Apa salahnya gue berteman sama lo? Gue rasa nggak ada masalah."
"Nggak ada masalah lo bilang? Lo nggak lihat tatapan orang itu waktu lihat kita jalan bareng? Lo nggak denger apa yang mereka omongin waktu kita lagi barengan? Plis, gue cuma mau hidup tenang." Nada bicara Hanin mulai bergetar.
Ia yakin ketika percakapan ini dilanjutkan, ia akan menangis sekarang. Hanin tidak pernah menggunakan emosinya ketika berbicara, tapi sekarang semuanya meluap. Ia ingin meluapkan semua perasaanya pada Irham agar cowok itu mengerti kalau Hanin hanya ingin hidupnya tenang.
"Gue tahu kok, orang-orang yang nggak suka sama lo selalu ngomongin yang nggak enak. Selalu ngasih tatapan nggak suka. Tapi gue nggak peduli. Niat gue cuma mau berteman."
"Lo mau berteman sama gue? Nggak salah? Lo pasti begini cuma karena kasihan kan? Kasihan banget si Hanin nggak punya temen. Plis, gue nggak butuh rasa kasihan Lo, gue nggak butuh temen. Gue cuma butuh ketenangan, setelah semua hal buruk yang gue dapetin di sini."
"Nggak ada yang namanya kasihan, Nin. Gue bener-bener niat tulus temenan sama lo. Gue mau bantu lo dapetin kenangan baik di sekolah ini, nggak cuma pengalaman nggak enak yang lo dapetin. Salah kah niat gue? Pertama kali ketemu, gue sama sekali nggak liat fisik. Oke, Lo punya kekurangan, dijauhi banyak orang karena itu. Tapi bukan berarti gue harus sama kayak mereka kan? Salah kah gue?"
Irham memberi pengertian. Sejujurnya, niat Irham sama sekali tidak salah. Terlepas dari benar atau tidak yang ia ucapkan. Namun Hanin hanya tidak mau ia diperlakukan lebih buruk. Sungguh, ia hanya ingin hidup dengan tenang selama di sekolah ini meskipun sendirian tanpa teman.
Irham sendiri pun jadi bingung. Niatnya berteman dengan Hanin ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Dan Irham tidak mengerti isi kepala Hanin sekarang. Kenapa gadis itu bersikeras untuk membuatnya jauh di saat Irham benar-benar ingin menjadi temannya?
"Gue cuma nggak mau dapet perlakuan yang lebih buruk dari ini kalau lo terus-terusan ada di samping gue, Ham. Gue udah capek banget dan nggak mau lebih capek lagi dari ini. Tolong."
"Terus gue harus gimana sekarang? Gue bener-bener nggak ngerti sama pikiran lo, Nin."
"Tolong jauhi gue. Tolong jangan berteman sama gue. Gue makasih banget lo udah mau jadi temen gue. Tapi buat sekarang, gue nggak butuh itu. Silakan lo cari temen yang lain."
17/03/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Teen Fiction(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...