Hari Senin akhirnya tiba. Hanin kembali merasa gugup. Ada begitu banyak kemungkinan yang ada di kepala Hanin. Berusaha berpikir positif sepertinya agak percuma. Hanin bisa merasakan hawa tidak baik yang akan terjadi beberapa saat ke depan. Terlebih ketika mendengar desas-desus tentang dirinya kemarin. Ada dua pilihan sekarang, kekurangan Hanin diketahui banyak orang dan ia akan dijauhi yang lain atau mereka justru dapat menerima Hanin dengan baik.
Hanin sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi. Sejak berada di gerbang sekolah dan melangkah perlahan menuju kelas, kepalanya sudah penuh dengan prasangka-prasangka buruk.
"Hai, Nin."
Hanin melihat Ninda ketika menuju kelas. Ninda, salah seorang teman sekelompok Hanin kemarin saat masa orientasi. Ia rasa dirinya dan Ninda cukup dekat mengingat mereka sering bertukar kabar dan pesan selama masa orientasi. Kebetulan juga mereka saat ini satu kelas.
Namun balasan yang Hanin dapat hanya sebuah tatapan datar. Gadis itu berlalu dari hadapannya dengan wajah datar, tanpa membalas sapaan Hanin. Ah, ini pertanda buruk.
Benar saja, ketika masuk ke dalam kelas Hanin tidak disambut dengan ramah. Semua teman kelasnya terlihat sibuk dengan urusan masing-masing dan mereka terlihat dekat satu sama lain. Kalau begini jadinya, Hanin jadi tidak tahu harus berbuat apa.
Haruskah ia menyerah sekarang?
"Hai, Sarah." Hanin kembali menyapa teman sekelompok pada masa orientasi kemarin.
Balasan yang sama Hanin dapatkan, Sarah hanya menatap Hanin datar. Tidak ada balasan juga darinya. Hanin menghela napas dalam-dalam. Ini saatnya ia berhenti berharap, rumor itu sudah menyebar luas. Mungkin juga satu sekolah sudah tahu kekurangan yang Hanin miliki.
Tidak ingin mengambil pusing padahal sebenarnya Hanin kepikiran, ia memutuskan untuk duduk di bangku paling belakang. Tidak ada gunanya ia berada di depan kalau akhirnya ia akan kembali sendirian.
Pupuslah masa SMA yang penuh kenangan indah. Hanin hanya akan mengenangnya dengan kesedihan. Hilang juga semua angan-angan yang sempat Hanin bangun kemarin-kemarin. Hanin akan kembali sendirian, di mana pun ia berada.
***
Ternyata benar. Rumor itu menyebar dengan cepat. Dua orang di meja depan Hanin membicarakan itu, tanpa tahu kalau orang yang mereka bicarakan tepat berada di belakangnya.
"Eh, Lo tau kan, yak. Ternyata Hanin, Hanin yang katanya blasteran itu boongan tauk. Dia sebenernya albino. Aneh banget sekolah kita nerima orang kek gitu. Pantes aja selama ini dia sekolahnya dari rumah. Takut jadi bahan bully-an kali."
"Eh, berarti rambutnya juga palsu dong? Harusnya kan rambutnya warna putih, ini rambutnya cokelat hitam gimana gitu. Pake wig kali ya? Atau di cat? Aneh juga Bu kepsek nerima orang kelainan kek dia."
Cukup.
Hanin juga manusia. Ia juga punya hati. Meski ia memiliki kekurangan, bukan berarti Hanin mati rasa. Apa yang diucapkan oleh dua orang yang tidak dikenalnya itu jelas membuat Hanin sakit hati. Seumur hidup, belum pernah ada orang yang mengatainya sedemikian rupa.
Harusnya memang Hanin sadar diri. Selamanya fakta kalau Hanin albino tidak akan pernah bisaa dipungkiri, sebaik apa pun Hanin mencoba untuk menyembunyikannya. Harusnya juga Hanin paham, tidak banyak manusia yang mau menerima kekurangan manusia lainnya. Mereka makhluk sosial yang hanya ingin kata sempurna. Ketika berada di atas, akan selamanya terasa mereka di atas dan seakan pantas menghina siapapun yang berada di bawahnya. Dan itulah cara kerja dunia.
Harusnya Hanin paham dan tidak memaksakan diri untuk masuk ke sekolah ini. Tidak akan pernah ada yang namanya keadilan bagi manusia berkekurangan sepertinya. Hanin akhirnya pergi, tanpa bisa melawan atau bahkan mengatakan kalau ia juga manusia berperasaan.
***
Menangis bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Setidaknya itu pemikiran Hanin sebelum masuk ke sekolah ini dan merasakan kalimat hinaan tadi. Sekarang Hanin ingin menangis sekencang mungkin. Tapi tidak bisa. Yang Hanin lakukan hanya menyembunyikan wajahnya lalu menangis diam-diam di belakang gudang sekolah.
Setidaknya, tidak akan ada manusia yang tahu kalau ia, manusia yang berkekurangan yang juga memiliki perasaan menangis tersedu-sedu setelah mendengarkan cemoohan mereka tentang dirinya.
Ini tempat yang aman untuk meluapkan semua amarah dan rasa kesal yang ia pendam. Sekaligus rasa sakit hati yang tak bisa ia sampaikan secara langsung.
"Emang kenapa kalau gue albino? Emang kenapa kalau semua yang ada di tubuh gue putih? Salahkah gue lahir begini? Emangnya cuma manusia kayak kalian yang pantas hidup? Emangnya gue salah kalau pengen masuk SMA kayak kalian yang normal? Dasar manusia-manusia nggak jelas!"
Hanin kembali tersedu-sedu. Sedikit lega karena tadi ia mengatakannya dengan sedikit berteriak. Tidak berharap mereka mendengarnya, Hanin hanya berharap apa yang ia teriakkan membuat lega hatinya. Untungnya ia berhasil.
Dan Hanin akhirnya menghabiskan seluruh waktu istirahat untuk menangis dan mengungkapkan seluruh isi hatinya dengan penuh sumpah serapah.
***
Ternyata benar kata orang-orang, menangis dengan sedikit emosi itu membuat hati lega. Ia merasa jauh lebih baik sekarang. Meski wajahnya mengatakan tidak. Bengkak dan rona merah di wajahnya belum hilang. Tapi tak apa, Hanin sudah bertekad untuk menebalkan hatinya dengan lapisan baja. Ia juga menebalkan telinganya agar tidak mendengar kata-kata tidak pantas dari manusia-manusia itu.
Hanin telah bertekad untuk membungkam mereka semua dengan prestasi-prestasi yang gemilang. Hanin akan mengisi semua kenangan indah di masa SMA-nya dengan berbagai macam prestasi. Lihat saja nanti. Hanin akan menjadi nomor satu di sekolah ini. Ia akan mengalahkan mulut kotor manusia-manusia itu dengan berbagai macam piala dan sertifikat penghargaan. Tidak masalah tidak memiliki teman. Ia akan bertekad kuat.
Persetan juga dengan kisah-kisah romansa. Hanin bersekolah tidak bertujuan untuk itu. Ah, saking sakit hatinya ia Hanin bahkan tidak sempat mendengarkan guru yang ada di depannya saat ini. Ia terlalu fokus pada tekadnya dan amarah yang sedikit menguasai pikiran. Sakit hatinya masih tersisa meski ia sudah menangis, berteriak dan melegakan hatinya. Kondisinya masih belum baik secara sempurna. Tapi besok, ia pastikan dirinya akan menjadi manusia yang jauh lebih kuat.
Hanin masih mencoret-coret bukunya dengan berbagai macam kalimat positif. Hanin tidak boleh termakan emosi, atau nanti semuanya akan kacau. Ekspektasi yang awalnya tinggi tiba-tiba jatuh secara bersamaan dan tidak ada kemungkinan untuk kembali bangkit membuat perasaannya cukup sulit untuk dikendalikan. Bahkan setelah ia merasa cukup lega.
Ternyata angan-angan dan andai-andai yang ia bangun kemarin-kemarin terlalu tinggi untuk ia gapai. Alhasil ketika semuanya jatuh berguguran tak bersisa, menciptakan celah dan lubang besar di hatinya. Rasa kecewa, marah, sakit masih bersarang di sana. Dan entah sampai kapan mereda. Tekad yang baru saja Hanin katakan seolah melebur perlahan. Seolah tidak pernah Hanin tekadkan sebelumnya. Entah bagaimana caranya Hanin akan bertahan di waktu-waktu yang akan mendatang.
06/03/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Teen Fiction(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...