Bab 4 :: Murid Baru

6 1 0
                                    

Hari demi hari berlalu dan akhirnya sampai pada satu semester. Hanin sudah menghabiskan waktunya selama satu semester bersekolah di sekolah formal. Impiannya memang tercapai, dan ia bisa merasakan apa yang selama ini tidak bisa ia rasakan. Tapi tetap saja ada kekosongan besar yang terjadi.

Tidak mempunyai teman juga salah satu hal yang mempengaruhi. Entah mereka yang terlalu jauh atau Hanin yang tidak mau membuka diri, Hanin juga tidak tau pastinya. Selama satu semester ini, ia selalu sendiri. Ke mana-mana sendiri. Mereka hanya datang dan ada ketika tugas kelompok. Dalam benak Hanin, yang penting nilainya aman. Tidak peduli mereka berniat berteman baik dengannya atau hanya demi nilai.

Selama satu semester ini juga Hanin mengubah semua tujuannya. Niat memiliki teman ia hapus ketika mereka mulai menjauhinya. Selama ini juga Hanin berusaha untuk terus aktif di kelas. Tidak peduli tatapan tidak mengenakan selalu mereka tujukan padanya ketika Hanin mencoba untuk terus aktif.

Beruntung hasil dari ambisnya memuaskan. Hanin berhasil mendapatkan ranking 1 di kelasnya. Bukan paralel memang, tapi setidaknya hal yang ia perjuangkan membuahkan hasil yang memuaskan.

Satu semester berlalu dan kini saatnya memulai semester baru. Hanin tidak siap jujur saja, ada banyak hal yang ia pikirkan. Namun karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya yang telah percaya Hanin akan survive, Hanin akan menahan semua hal yang tidak mengenakkan. Lagi pula semua itu akan berlalu tanpa terasa, seperti semester sebelumnya.

Di gerbang sekolah Hanin sempat berhenti sebentar untuk menarik napas. Semester ini tidaklah mudah, tapi Hanin berharap ia dapat survive di tengah-tengah tatapan dan omongan tidak mengenakkan tentang dirinya. Hanin tidak ingin menganggap ini bully-an karena dengan demikian Hanin akan menganggap hari-harinya buruk. Anggaplah mereka hanya angin lalu yang tidak perlu digubris kehadirannya. Anggap saja tidak ada dan ia akan baik-baik saja.

Langkah kakinya memang sedikit berat, letak kelas yang dekat terasa jauh ketika Hanin hampir sampai. Namun sesuatu yang aneh mulai terjadi. Seseorang menepuk bahunya.

Ingat, seseorang menepuk bahunya!

Hanin tersentak lalu dengan sekejap menoleh. Ingin tahu siapa orang yang menepuk bahunya. Karena selama ini, jangankan menepuk bahu mengajak ngomong dirinya pun hanya segelintir orang.

Hanin hanya diam. Menunggu orang asing itu berbicara padanya. Benar, orang di depannya ini tidak pernah Hanin jumpai sebelumnya. Kalaupun mereka pernah bertemu, ia pasti tidak akan berani menepuk bahunya.

"Ehm, anu Mbak atau Kak, mau tanya ruangan kepala sekolah di mana, ya?"

Hanin tidak ingin berurusan dengan orang baru ini. Maka dari itu sembari melanjutkan langkahnya Hanin menjawab, "Jalan aja di lorong ini, di ujung lorong ruangannya."

Bukannya mengucapkan terima kasih, orang baru yang sepertinya murid baru di sekolah ini malah mengikuti Hanin. Hanin akhirnya berhenti. Ingin tahu apa yang membuat murid baru ini mengikutinya.

"Kenapa lagi?"

"Anu, boleh tolong anterin? Saya takut nyasar lagi. Makasih by the way."

Hanin menghela napas, namun akhirnya mengangguk. Kasihan juga dan berhubung kelasnya dekat dengan ruang guru beserta ruang kepala sekolah, Hanin mengiyakan.

Murid baru itu pun mengikutinya dengan diam. Sepertinya paham Hanin tidak suka dengan suasananya. Lebih tepatnya Hanin tidak suka berinteraksi dengan manusia yang ujung-ujungnya menjauhinya.

"Makasih, Kak," katanya setelah Hanin mengantarkannya ke ruangan kepala sekolah.

Entah akan ada di kelas mana orang itu, Hanin harap tidak masuk ke kelasnya.

***

Namun harapannya pupus ketika bel masuk tiba dan anak itu berdiri di dekat wali kelasnya. Ah, benar-benar hari yang buruk. Karena Hanin duduk sendirian, kemungkinan besar cowok itu yang akan duduk di sebelahnya.

Ah, sialan. Hanin jadi tidak bisa bebas lagi.

Dan benar saja. Murid baru itu melangkah ke bangkunya dan duduk di samping dirinya.

"Halo, Kak. Ketemu lagi kita. Salam kenal, ya. Semoga kita jad teman baik."

Kalimat itu tidak Hanin tanggapi. Entah kenapa ia jadi bisa menebak kalau orang di sampingnya ini tipe manusia-manusia cerewet. Tidak sesuai dengan tipenya. Maksudnya tipe teman yang Hanin suka. Kendati mereka semua hilang sekarang.

***

Waktu istirahat akhirnya datang. Hanin ingin pergi ke kantin karena siang tadi tidak sempat sarapan. Sekaligus menghindari orang-orang yang saat ini berkumpul di mejanya. Jelas bukan kalau mereka tengah mencari perhatian si murid baru yang tampangnya lumayan itu.

Iya, Hanin mengakui kalau murid baru yang entah siapa namanya itu lumayan tampan. Tidak setampan artis-artis memang, tapi jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya jelas dia lebih lumayan.

Bahkan ketika kembali dari kantin, mejanya pun masih ramai dengan orang-orang yang entah mereka sempat pergi ke kantin atau tidak. Tapi jika dilihat dari meja mereka yang penuh dengan minuman dan makanan ringan, Hanin tau mereka baru saja dari kantin.

"Nama lo Hanin, kan? Gue Irham. Lupa tadi kita belum sempat kenalan."

Dan ketika Hanin tiba, mereka yang mengerubungi Irham mendadak bubar. Setelahnya, murid baru yang bernama Irham itu mengajaknya kenalan. Hanin jelas tidak menyambut tangan yang terulur. Ia hanya mengangguk.

Namun lagi-lagi cowok itu mencoba mendekati Hanin dengan caranya sendiri. Ya, benar. Hanin tiba-tiba disuguhkan sebuah minuman ringan dari mejanya. Minuman yang pastinya berasal dari orang-orang yang mengerubungi meja mereka tadi.

"Sebenernya gue mau ngasih yang lain sebagai tanda terima kasih karena tadi Lo udah bantuin gue. Tapi berhubung gue nggak bisa ke kantin tadi dan gue nggak bisa ngabisin ini semua."

Benar, bukan? Hanin bisa mengira cowok ini tipe manusia cerewet yang tidak mungkin bisa berdekatan dengan Hanin. Lagipula Hanin tidak bisa menerima pemberiannya atau cewek-cewek itu pasti akan membicarakannya yang aneh-aneh.

"Maaf gue nggak bisa terima minumannya. Mereka udah liat ke sini dari tadi."

Cowok itu terlihat salah tingkah. Ia lupa pemberi minuman itu juga sekelas dengannya. Pantas saja Hanin tidak mau menerimanya. Cewek-cewek di kelas ini sedikit menyeramkan jika diliat dari tatapannya pada Hanin sekarang.

"Waduh! Maaf, ya. Gue nggak memperhatikan itu. Besok, gue pasti bawa yang lebih oke dari ini. Mohon diterima karena lo udah mau bantu gue dan jadi temen gue."

Hanin sedikit tercengang mendengar ucapan cowok baru ini. Teman? Ia tidak salah dengar, kan? Sejak kapan Hanin menganggapnya sebagai teman. Mereka sebangku bukan berarti mereka berteman. Sama saja seperti orang-orang yang Hanin kenal awal-awal dulu. Mereka menganggap Hanin teman, namun ketika mengetahui kalau Hanin berbeda dari mereka, semuanya menjauhi Hanin seperti tidak pernah mengenalnya.

Hanin tidak percaya dengan yang namanya teman.

"Sorry, kita bukan teman."

10/03/2024

Like a Gift on the Pile of Snow ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang