Butuh waktu cukup lama bagi Hanin untuk memikirkan ucapan Irham di surat itu. Benarkah Irham yang baru beberapa hari ini mengenalnya tiba-tiba mengajak Hanin berteman, yang benar-benar berteman?
Bagi Hanin yang memang hampir tidak pernah mengenal apa itu teman, jelas saja ia merasa skeptis dan tidak percaya. Apalagi bagi Irham yang baru saja menjadi murid baru di sekolahnya. Dan Irham bisa dengan mudah mengajaknya berteman di banding teman-temannya yang normal lainnya?
Hanin menghela napas. Ia tahu ini memang tidak mudah. Tapi jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, Hanin ingin memiliki teman. Ia senang waktu pertama kali datang ke sekolah, ia memiliki teman. Meski itu tidak lama, rasa senang yang kemarin ia rasakan benar-benar nyata dan terasa sampai sekarang. Kini di saat ada kesempatan besar Hanin kembali merasakan yang namanya pertemanan, ia ragu luar biasa.
Bagaimana jika Irham sama seperti yang lain? Menganggap Hanin dari fisiknya. Mengapa jika memang ia albino? Tubuh putihnya ini terasa salah di mana mereka atau justru mereka yang iri pada Hanin? Terlahir dari orang biasa kemudian mempunyai tubuh yang berbeda sendiri juga sangat sulit bagi Hanin. Ia tidak ingin mengalami ini lagi, namun masih ragu dengan Irham.
Bisakah Hanin mempercayai cowok itu?
***
Benar-benar butuh waktu semalaman bagi Hanin memikirkan penawaran Irham. Ada sesuatu hal yang harus ia pikirkan berulang kali sebelum akhirnya sungguh-sungguh memutuskan. Ini tidak mudah baginya, ia harap Irham akan menerima apa pun keputusan yang ia katakan nanti.
Tapi pertama-tama, ia perlu mengatasi rasa gugup ini. Ah, semoga saja Hanin sampai lebih dulu daripada Irham. Ia tidak ingin terlihat salah tingkah oleh cowok itu. Jelas Hanin membutuhkan lebih banyak waktu untuk membicarakannya dibanding Irham yang sudah berpengalaman memiliki teman.
Saking gugupnya Hanin bahkan mencengkram erat tali tasnya. Menghela napas berkali-kali sebelum memasuki kelas. Ah, untungnya ia. Irham belum datang. Hanin bisa bernapas lebih lega. Namun sayang, itu hanyalah harapan Hanin saja. Karena ternyata Irham berada di belakangnya. Tepat setelah ia menghembuskan napas lega. Sial sekali, Hanin jadi merasa tegang bahkan menahan napas ketika Irham bercanda sambil mengangkat tasnya. Seolah-olah bodyguard yang sedang menjaga barang bawaan tuannya.
"Kenapa kaget gitu, dah?" Irham terkekeh sembari menunggu Hanin kembali melangkah. Pasalnya mereka berdua sedang menghalangi murid lain yang akan masuk kelas. "Btw, majuan dong, Buk. Ini antrian di belakang mulai panjang."
Hanin segera menoleh ke belakang. Benar saja, posisi mereka menghalangi yang lain untuk masuk. Hanin segera melangkah cepat-cepat. Diikuti Irham yang masih mengangkat tasnya. Hanin bahkan tidak merasakan hal itu saking gugupnya. Ah, ini bahkan bukan ajakan untuk pacaran kenapa Hanin jadi gugup sekali.
"Lo kenapa, deh hari ini? Aneh banget keliatannya. Apa karena surat gue kemaren? Lo udah punya jawaban?" Irham langsung mencecar Hanin dengan berbagai macam pertanyaan terkait tingkat aneh Hanin hari ini.
"Lo pasti mau kan jadi temen gue? Masa ngga sih, nggak ada salahnya loh temenan sama cowok ganteng kek gue begini. Lo harus bersyukur tau Nin."
Mulai, kan.
Ini salah satu dari banyak faktor kenapa Hanin perlu memikirkan ajakan Irham dengan baik. Soalnya Irham orangnya narsis belum apa-apa sudah percaya diri duluan. Tapi bagus sih, artinya Irham tidak seperti dirinya dan bisa mengimbangi Hanin ketika berteman nanti. Ah, Hanin mulai berpikiran aneh lagi.
"Pede banget."
"Nah, kan. Lo mulai ngomong kek gini berarti gue bener, dong? Lo mau jadi temen gue kan? Gue serius nih."
"Iya, iya."
"Iya apa?"
"Iya gue mau jadi temen lo. Puas?"
"Yes. Makasih Hanin, hari ini kita resmi temenan, ya."
Irham terlihat begitu senang. Ia bahkan mengajak Hanin tos seperti berhasil memenangkan sebuah permainan. Ia juga tersenyum begitu riang. Seolah-olah benar-benar senang mengetahui kalau Hanin ingin menjadi temannya dan sekarang mereka berteman. Pilihannya tidak salah bukan? Hanin tidak salah memilih orang untuk berteman bukan?
Tapi mengapa rasanya berbeda. Jantungnya berdegup cukup kencang begitu melihat wajah sumringah Irham terpatri di wajah pucatnya?
***
Pada akhirnya mereka sungguhan berteman. Sudah satu Minggu berlalu dan mereka menjadi semakin dekat. Hanin selalu bersama Irham begitu pun sebaliknya. Mereka juga bertukar nomor. Bercanda satu sama lain. Menceritakan banyak hal bersama. Bahkan semalam mereka telfonan sampai tengah malam. Menceritakan tugas, bahkan sampai menceritakan berbagai macam teori konspirasi dunia.
Benar-benar pengalaman yang berbeda bagi Hanin. Ia tidak pernah merasakan rasa sesenang ini sebelumnya. Bahkan ketika ia memiliki teman pertama saat masa orientasi kemarin. Kali ini pertemanan mereka terlihat nyata. Ia bahkan tidak lagi sungkan menanyakan apapun mengenai hal-hal yang tidak ia mengerti pada Irham. Irham pun demikian. Ia tidak sungkan menceritakan kesehariannya layaknya pada teman-temannya dulu. Meskipun berbeda, temannya dulu kebanyakan laki-laki dan sekarang ia hanya berteman dekat dengan Hanin yang notabene adalah perempuan. Tapi ternyata berteman dengan perempuan juga tidak kalah menyenangkan. Irham bisa merasakan hal-hal yang berbeda dengan pertemanan antar laki-laki.
Dan yang paling berbeda adalah rasa nyaman. Jujur, ia paling nyaman berteman dengan Hanin. Bercanda seperlunya, bercerita tanpa takut dibercandakan, berbicara mengenai teori-teori misteri dunia juga sangat asik dengan Hanin dibanding dengan teman laki-lakinya yang lain. Yang kebanyakan hanya menceritakan perempuan dan perempuan. Meskipun ia tidak bisa menceritakan dengan jujur mengenai penyakitnya, tapi ini adalah pertemanan tersehat dan terbaik yang pernah Irham punya. Setidaknya saat ini.
Harapan Irham sih cuma satu sekarang. Semoga ia masih memiliki umur panjang untuk merasakan perasaan nyaman ini lebih lama. Semoga masih banyak waktu yang bisa ia habiskan bersama Hanin sebagai teman pertamanya. Semoga masih ada banyak kesempatan untuk ia menjalani hari-hari normal seperti yang lain. Semoga saja.
24/04/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Teen Fiction(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...