Sudah satu Minggu lamanya, Irham tidak masuk sekolah. Dan selama itu juga Irham tidak bisa dihubungi. Jelas membuat Hanin merasa uring-uringan. Hidupnya yang semula sedikit berwarna karena ia punya teman, mendadak kembali abu-abu. Hanin tidak tahu harus apa dan bagaimana tanpa ada Irham di sisinya.
Setiap hari Hanin mencoba untuk menghubungi Irham. Namun tidak ada balasan. Tidak ada jawaban pasti mengenai keadaan Irham. Ia sakit apa? Sudah baikan atau belum? Kalaupun Irham dirawat, ia dirawat di mana? Hanin tidak tahu itu semua. Ia sempat bertanya Irham sakit apa ke wali kelas mereka, tapi Hanin tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Alias wali kelas mereka juga tidak tahu Irham sakit apa atau dirawat di mana?
Hanin khawatir pada keadaan Irham, namun ia tak bisa apa-apa. Dan itu jauh membuat Hanin merasa tidak berguna. Ia sama sekali tidak menyalahkan Irham yang tidak menghubunginya dan tidak pernah membalas pesan. Yang lebih menyayangkan bagi Hanin adalah dirinya sendiri. Apa Irham belum bisa percaya padanya? Atau justru keadaan laki-laki itu jauh lebih parah dari yang ia duga?
Hanin tidak tahu apa-apa tentang Irham.
Kalau boleh Hanin cerita, satu Minggu tanpa Irham, ia merasa berbeda. Seperti ada yang kurang dari hidupnya. Hanin kembali merasa sendirian dan yang bisa ia lakukan adalah membaca kembali pesan-pesan tidak berbalas yang ia kirimkan pada cowok itu.
Mungkin seperti ini rasanya ketika baru putus dari mantan. Sesepi ini hidupnya padahal sebelumnya, Hanin juga selalu sendiri. Kehadiran Irham jelas membuat hidupnya yang semula hitam dan putih, tiba-tiba berwarna. Ia jadi memiliki tempat sandaran. Hanin punya tempat untuk bercerita. Irham yang menghilang tiba-tiba seperti ini membuat hidup Hanin lebih sepi daripada kuburan.
"Hah... Bosannya."
Entah helaan napas beberapa yang Hanin hembuskan sejak tadi. Hari ini, tepat seminggu Irham menghilang. Dan Hanin masih tidak tahu harus melakukan apa, padahal bel masuk akan berbunyi beberapa menit lagi. Hanin seperti memiliki kebiasaan baru selain diam saja. Ia jadi lebih sering melihat ke pintu. Berharap sosok menyebalkan seperti Irham yang sengaja menghilang itu tiba-tiba datang.
Bosan, menatap pintu terus menerus, Hanin akhirnya menelungkupkan wajahnya ke bangku. Sebelumnya, ia memasang headset lalu memejamkan matanya. Menyenandungkan pelan lagu-lagu dari Shawn Mendes, penyanyi favoritnya, sembari menunggu bel masuk berbunyi.
Saking kerasnya suara di telinganya, Hanin bahkan tidak menyadari ada seseorang yang mengetuk meja berkali-kali. Hingga akhirnya, orang itu memilih untuk mencolek bahu Hanin, membuat gadis dengan rambut berwarna cokelat gelap itu menengadah.
Betapa terkejutnya Hanin ketika ia melihat sosok yang ia tunggu-tunggu selama semingguan ini berada di depannya. Orang yang sejak tadi mengetuk meja dan mencolek bahu Hanin adalah Irham. Cowok itu akhirnya masuk juga.
Dan Hanin yang masih terkejut refleks memeluk Irham sambil memekik senang. Irham yang tidak siap dipeluk tiba-tiba oleh Hanin, sedikit oleng, ia menahan bahu Hanin. Dipeluk tiba-tiba seperti ini membuang detak jantung Irham menggila. Ada perasaan aneh yang datang ketika Hanin memeluknya.
Irham tidak paham perasaan apa itu yang jelas ia senang melihat Hanin lagi. Irham senang bisa melihat senyum gadis itu. Irham senang rindunya, akhirnya terbalaskan.
"Lo ke mana aja sih, astaga!" Hanin meninggikan suaranya.
Irham tersenyum sambil menutup mulut Hanin. Menyuruh gadis itu untuk diam karena mereka telah jadi bahan perhatian oleh teman sekelas. Lebih tepatnya, Irham tidak ingin Hanin diperhatikan oleh mereka. Sudah cukup semua perlakuan mereka pada Hanin sebelum ini, Irham tak mau Hanin kembali merasakan perasaan sedih berkepanjangan meskipun Irham sendiri paham kalau ia lah penyebab Hanin merasakan kesedihan beberapa hari belakangan.
"Hp gue disimpan si Bapak. Maaf kalau gue nggak bisa hubungin lo selama ini." Irham membawa Hanin duduk di kursi mereka.
"Lo nggak papa kan? Udah sembuh kan?" Irham mengangguk. Jelas, ia berbohong.
Hanin melihat Irham dengan seksama. Wajahnya masih pucat, pipinya jauh lebih tirus dan jelas Irham terlihat kurusan dibanding terakhir kali ia melihatnya. Hanin jadi sedih. Ia sedih karena tidak bisa mendampingi Irham di masa sakitnya. Harusnya sebagai teman, Hanin ada di sana menjenguk Irham.
Irham yang melihat Hanin sedih, menyentuh kepalanya, lalu mengusapnya pelan. Bentuk upaya Irham menenangkan Hanin yang pasti merasa campur aduk beberapa hari belakangan.
"Gue udah nggak papa, nggak usah khawatir. Nggak masalah lo nggak bisa jenguk kemaren. Guenya juga salah nggak bisa ngabarin."
Seminggu tidak bertemu Hanin, rasanya amat menyenangkan. Irham senang akhirnya ia bertemu dengan Hanin lagi. Ia senang, keadaannya lebih membaik. Dan baru Irham sadari beberapa detik yang lalu, Hanin terlihat lebih cantik. Hm, tidak. Memang sejak awal Hanin cantik. Irham sudah menyadari itu.
Irham jadi teringat ucapan kakaknya kemarin, saat Irham lagi-lagi hanya bisa membaca semua pesan gadis itu. Saat Irham rindu dan hanya bisa melihat kembali foto-foto mereka berdua yang sempat terpotret selama mereka berteman.
"Tuh, kan. Kalau kayak gini tuh lo pasti suka sama anaknya. Nggak usah ngelak dan bohongin perasaan lo sendiri."
"Gue enggak bohong, Bang. Dari awal memang gue suka dia. Tapi gue nggak bisa lebih jauh sama dia. Lo tahu sendiri, kan. Gue cuma bisa temenan sama dia."
"Karena lo takut mati? Lo takut ninggalin Hanin?"
"Dia pasti sedih kalau jadian sama gue, Bang."
"Justru dia jauh lebih sedih saat lo nggak jujur sama perasaan lo sendiri, goblok!"
Irham ingin tertawa miris mengingat kembali perkataan kakaknya. Memang benar, sejak awal ia berteman dengan Hanin, mencoba mendekati gadis itu dengan berlagak seolah ingin menjadi temannya, Irham sudah menyukai Hanin. Namun, ia tidak bisa mengatakan itu semua sejak awal. Ia tidak mau pertemanan mereka yang seperti sekarang harus berakhir tragis. Ia ingin masih tetap seperti ini bersama Hanin meskipun ia tidak bisa membersamainya selama mungkin.
"Ei, kenapa bengong? Lo beneran udah nggak papa, kan?" Irham mengangguk. Meski berbohong, jelas Irham tidak bisa jujur mengenai keadaannya pada Hanin.
"Jangan sakit-sakit lagi, ya. Gue sedih banget nggak ada lo selama seminggu ini."
Nggak janji, Nin. Tapi gue bakal berusaha buat tetep hidup.
Gadis ini, meskipun memiliki kekurangan, tapi kecantikannya tetap terpancar. Sejak awal bertemu, Irham merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seolah hatinya mengatakan kalau inilah orangnya. Orang yang mungkin akan ia sukai terakhir kali. Orang yang mungkin akan ia coba cintai untuk kali yang terakhir. Maka dari itu, Irham terus mencoba untuk mendekatinya dan akhirnya, mereka berteman juga. Kata teman mungkin sudah sangat cukup bagi Irham yang sebentar lagi akan mati.
Menjalin hubungan hanya merugikan orang-orang yang akan ia tinggalkan. Biarlah Irham simpan rasa sukanya, rasa cintanya sampai akhir nanti.
2/06/24
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Ficção Adolescente(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...