Hari ini, hari pertama yang begitu penting bagi Hanindya Pertiwi. Hari ini hari pertamanya bersekolah di sekolah formal setelah 9 tahun lamanya ia bersekolah dari rumah. Hanin sangat antusias namun cemas di saat yang bersamaan.
Tapi omong-omong, Hanin sudah mempersiapkan hari ini sejak lama. Bahkan seminggu yang lalu ia sempat pergi ke salon. Mengecat rambut putihnya menjadi cokelat gelap. Begitu pula dengan alis dan bulu matanya. Semua tampak begitu normal sekarang.
Ah, iya. Hanin belum bercerita. Ia pengidap kelainan kulit albino, keturunan dari ibunya yang juga mengalami hal yang sama. Orang tuanya memutuskan menyekolahkan Hanin di homeschooling agar Hanin bisa mendapatkan pendidikan dengan layak tanpa mendapatkan penindasan seperti yang pernah terjadi pada ibunya belasan tahun silam. Mereka tidak ingin Hanin mendapatkan perlakuan yang sama. Tidak apa meski Hanin akan kesulitan dalam dunia sosialnya, asalkan mental Hanin sehat dan ia pun sehat baik jasmani dan rohaninya.
Namun bersekolah di sekolah formal juga merupakan cita-cita besar Hanin. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya mendapatkan teman. Belajar bersama teman-teman yang lain. Hanin ingin merasakan pengalamannya sebagai manusia makhluk sosial. Ia ingin bersosialisasi dengan dunia luar, meski ia sendiri paham. Itu tidak akan mudah dilakukan. Dan jalannya tidak akan lancar seperti anak normal pada umumnya. Tetapi Hanin tetap memiliki tekad yang kuat, ia yakin ia bisa. Semoga saja.
Hari ini Hanin sudah bersiap. Rambutnya sudah hitam legam dan semuanya tampak normal. Wajahnya mungkin akan terlihat sedikit aneh dan berbeda dengan teman-temannya yang lain. Mereka mungkin akan menganggap Hanin blasteran saking berbedanya ia. Kulitnya juga bukan kuning langsat melainkan putih pucat. Persis seperti vampir-vampir yang digambarkan di film-film. Maka dari itu, Hanin juga sudah diberi ijin oleh kepala sekolah dan guru-gurunya untuk memakai cardigan di sekolah. Tetapi untuk di kelas mungkin sesekali akan ia lepas meski akan sangat menarik perhatian.
"Hanin sudah siap, Nak?" Itu suara ibunya, memanggil dari ruang makan.
Ah, mereka pasti sudah menunggunya keluar.
Hanin pun segera bergabung di ruang makan bersama sang kakak dan orang tuanya. Ah, iya. Hanin bukan anak tunggal, ia memiliki kakak laki-laki yang berbeda 7 tahun darinya. Dan kakak laki-lakinya ini normal seperti manusia pada umumnya. Hanya Hanin dan ibunya yang berbeda di rumah. Tapi bukan berarti mereka tidak akur. Memang sih, Hanin agak disembunyikan keberadaannya, khusus bagi teman-teman kakaknya. Itu permintaan Hanin, ia tidak mau ditatap aneh oleh orang-orang yang bahkan tidak ia kenal. Namun sekarang, Hanin sudah siap menghadapi kejamnya dunia.
"Nona manis sudah siap rupanya." Itu komentar sang ayah.
Keputusannya ini sangat beresiko dan awalnya tidak mendapatkan persetujuan, namun Hanin berhasil mendapatkan ijin dari seluruh anggota keluarganya.
"Kamu keliatan kek bukan kamu," komentar sang kakak.
"Iyalah. Biasanya kan, Kakak liatnya rambutku putih kek uban. Sekarang cokelat."
"Tapi cokelatnya kok kayak hitam?"
"Ini tuh namanya dark brown. Jadi emang keliatan agak hitam. Kan nggak boleh warnain hitam, gimana, sih."
"Kalian ini, pagi-pagi pasti ribut. Makan yang bener, baru ngomong. Hanin semuanya udah siap?"
"Siap Mami."
***
Pagi ini Hanin diantar sang ayah. Khusus hari pertama, ayahnya rela jauh-jauh harus putar arah demi mengantar Hanin untuk pertama kalinya masuk sekolah. Pasti di dalam mobil ayahnya sedang menangis sekarang. Ayahnya itu, meski terlihat pendiam, tapi beliau merupakan orang yang mudah tersentuh, jauh lebih baperan dibanding ibunya yang tahan banting.
Hanin menghela napas. Sekarang adalah saatnya Hanin keluar dari zona nyaman dan menghadapi dunia baru. Semoga tidak ada hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi ke depan. Hanin berharap, awal baru ini akan membantunya meraih perubahan yang positif. Semoga saja.
Ini baru hari pertama dan Hanin bisa merasakan euforianya. Ia baru pertama kali mengikuti upacara bendera. Ia baru pertama kali melihat barisan manusia yang begitu banyak. Hari ini, ia juga baru pertama kali bercengkrama dengan banyak manusia. Hanin merasa ia lebih hidup sekarang. Hanin merasa kalau ia juga manusia. Hari ini, Hanin merasa kalau ia juga bisa banyak berbicara. Dan banyak sekali kali pertama yang Hanin lakukan.
Ini sangat mengharukan, tapi Hanin tidak bisa menangis sekarang. Ia merasa terlalu bahagia hari ini. Dan semoga saja seterusnya begitu. Hanin tidak yakin, tapi semoga saja fakta bahwa ia memiliki kekurangan dan berbeda dari lainnya tidak menjadikan mereka menjauhinya. Tapi jika itu terjadi, Hanin tidak tahu lagi harus bagaimana.
Untuk sekarang, Hanin hanya ingin merasakan hari ini. Hanin hanya akan senang untuk hari ini. Dan Hanin yakin akan ada banyak hari di mana ia merasa senang seperti hari ini.
***
"Hanin, kamu beneran blasteran? Sumpah kulitmu putih banget. Gimana caranya biar bisa putih kek gitu?"
Bangkunya cukup banyak di kelilingi teman-teman yang menanyakan ini itu tentang dirinya. Hanin tidak bisa menjawab gamblang dan hanya mengatakan iya tanpa memberikan kepastian. Sepertinya itu sudah cukup mengingat gadis-gadis ini terlihat percaya-percaya saja.
"Rambutmu ini asli ya? Wah baru pertama kali ini aku lihat rambut manusia di sini warnanya cokelat gelap gimana gitu. Pasti susah ya ngerawatnya, kan Indo panas."
Dan banyak sekali komentar lainnya. Hanin tidak bisa menyebutkan satu per satu. Tapi hanya satu yang jelas saat ini, Hanin merasa senang. Ternyata ia bisa memiliki banyak teman dengan penampilannya yang seperti ini.
Meskipun Hanin tidak bisa menyembunyikan kekurangannya ini selamanya. Hanin harap, kejadian ini akan berlangsung lama. Hanin senang mempunyai banyak teman dan berinteraksi dengan mereka. Hanin juga senang, ketika ia mendapat perhatian lebih. Karena selama ini, ia sendiri dan selalu merasa sendirian di dunia ini. Kini Hanin tidak sendiri, ia memasang ekspektasi tinggi jika kejadian seperti ini berlangsung lama.
***
Selepas hari orientasi pertama selesai. Hanin tidak diperkenankan pulang terlebih dahulu. Ia dipanggil Kepala sekolah. Bukan apa-apa. Hanya memastikan hal-hal yang boleh dan tidak boleh Hanin lakukan. Atau pantangan yang tidak boleh terkena tubunya yang berbeda ini.
"Mohon maaf sebelumnya Bu, untuk sekarang, saran dari dokter kulit, saya tidak boleh terlalu lama terkena sinar matahari langsung."
"Berarti nggak boleh ikut upacara?"
"Boleh kok, Bu. Dokter menyarankan untuk menggunakan pelindung seperti sunblok dan juga jaket. Karena jaket terlalu berat, jadi kemungkinan saya akan menggunakan cardigan untuk melindungi kulit lengan saya."
Ibu kepala sekolah mengangguk dan mengerti. Sekolah mereka baru pertama kali mendapat siswa spesial seperti Hanin. Tidak begitu bermasalah bagi sekolah karena pantangan Hanin hanya sinar matahari yang kuat. Jadi Hanin masih bisa melaksanakan kegiatan belajar dengan lancar. Oleh karenanya, sekolah ini menerima Hanin dengan tangan lebar.
"Baiklah kalau begitu. Apakah kamu ingin sekolah menyembunyikan hal ini?"
Hanin mengangguk. Ia hanya takut mereka, teman-temannya tidak akan menerima kekurangannya ini. Hanin harap sih tidak begitu, tapi Hanin memutuskan untuk menyembunyikannya.
Ibu kepala sekolah juga sepertinya mengerti. Untung saja sekolah ini dapat diandalkan dan dipercaya tanggungjawabnya. Semoga saja tidak bocor dan menyebar dengan cepat. Harapan Hanin hanya itu sekarang.
A/N
Hari pertama update menjelang tengah malam. Yuhuu.
01/03/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Novela Juvenil(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...