Bab 20 :: Menemukan Jawaban (END)

4 0 0
                                    

Begitu mengetahui kalau Irham memberikan sebuah alamat rumah sakit, Hanin bergegas membereskan semua alat tulisnya begitu bel pulang sekolah dibunyikan. Walaupun sebenarnya Hanin ingin membolos saja ketika mengetahui kalau Irham memberikan alamat keberadaan dirinya saat itu. Namun Hanin masih menggunakan akal sehatnya. Ia tidak mungkin tiba-tiba pergi dari sekolah meski jam tengah kosong, ia tidak memiliki izin apa pun untuk bisa keluar dari gerbang sekolah dengan selamat. Sekolahnya ini merupakan salah satu sekolah yang memang ketat aturannya sejak awal. Maka dari itu, Hanin harus benar-benar bersabar hingga bel pulang berbunyi baru bisa pergi ke tempat Irham berada.

Setidak sabaran itu Hanin ingin bertemu Irham.

Begitu keluar dari gerbang, Hanin segera masuk ke taxi online yang memang sudah ia pesan sebelumnya. Di dalam mobil pun, jelas Hanin kepikiran. Kenapa Irham memberikan alamat rumah sakit, alih-alih alamat lain untuk tempat mereka bertemu, misalnya cafe atau rumah makan, seperti yang biasa dilakukan temannya yang lain ketika janjian keluar bareng. Pasti ada suatu hal yang ingin cowok itu sampaikan. Apa jangan-jangan, Irham selama ini tidak pindah tapi dirawat di rumah sakit? Hanin masih mengingat dengan jelas bagaimana tubuh Irham digotong oleh petugas rumah sakit masuk ke dalam ambulans kala itu. Mungkin, setelahnya Irham masih sakit hingga sering dirawat sampai saat ini.

Hanin sangat antusias menyambut bertemunya dirinya dengan Irham. Namun di saat yang bersamaan, ia merasa ragu dan takut. Takut kalau apa yang selama ini ada di dalam kepalanya, ternyata salah besar. Bagaimana kalau keadaan Irham parah? Bagaimana kalau ternyata Irham selama ini tidak sadarkan diri? Hanin takut keadaan Irham sekarang tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Hanin takut bertemu Irham, tapi di saat yang bersamaan ada rasa penasaran yang begitu tinggi. Tentang ini dan itu yang selama ini ia pertanyakan dalam hati, semoga hari ini, ia mendapatkan jawaban dengan pasti.

Beberapa saat kemudian, Hanin sampai di sebuah rumah sakit. Tidak jauh dari sekolahnya berada. Hanya sepuluh menit perjalanan tadi ia tempuh dengan taxi. Begitu sampai Hanin menyerahkan beberapa lembar uang, lalu keluar mobil dengan ucapan terima kasih kepada sang sopir. Sebelum masuk ke dalam, Hanin menarik dan mengembuskan napasnya dalam-dalam. Hanin merasa gugup, di saat yang bersamaan ada banyak sekali perasaan yang bercampur dalam hatinya. Sedih, takut, cemas, gugup, semuanya bercampur menjadi satu. Semoga saja apa yang ia cemaskan tidak pernah terjadi. Hanin berusaha berpikir positif bahwa Irham sedang menunggunya di dalam sana. Ia berpikir kalau Irham memang sedang menunggu waktu yang tepat, lalu memberitahunya seperti ini.

Dua bulan bukan waktu yang sebentar bagi Hanin dan semoga Irham baik-baik saja di dalam sana.

Akhirnya, Hanin memutuskan untuk masuk dan melangkahkan kakinya. Begitu sampai resepsionis ada seorang gadis, yang sepertinya hanya beberapa tahun lebih muda darinya, dan seolah memang sedang menunggu Hanin. Gadis itu memberikan sebuah surat padanya. Katanya titipan dari orang yang sedang menunggunya di taman belakang rumah sakit. Hanin berterima kasih lalu membuka surat itu. Tidak banyak yang Hanin temukan, hanya berupa denah taman, lalu dalam salah satu gambar bangkunya ada sebuah lingkaran. Di keterangannya menyatakan, ada seseorang yang sedang menunggunya di sana.

Hanin jelas bergegas menghampiri orang itu. Dalam hati, Hanin yakin sekali kalau orang itu adalah Irham. Orang yang selama ini ia rindukan, orang yang selama ini mendiami hatinya untuk kali pertama. Cinta pertama Hanin dalam kehidupan sekolahnya. Masa di mana Hanin begitu merasakan bagaimana rasanya menjadi anak remaja yang penuh suka dan cita. Langkah kaki Hanin terlihat bersemangat dan mantap. Ia yakin sekali beberapa menit lagi, ia akan bertemu dengan Irham. Akan ia nyatakan semua perasaannya hari ini. Akan ia katakan, kalau rasa yang Irham punya tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka punya rasa yang sama dan Hanin akan memperjuangkannya sebaik mungkin.

Begitu Hanin sampai di tempat di mana denah itu tergambar, Hanin memang melihat seorang remaja laki-laki tengah duduk di meja yang dilingkari. Kepalanya tertutupi topi berwarna cream. Hanin dengan riang dan senyum segera menghampirinya. Namun ketika duduk di sampingnya, bukan Irham yang ia lihat. Melainkan orang lain, tapi ... Orang itu memang mirip dengan Irham.

Lalu Irham di mana?

Hanin berpikir kalau mungkin ia salah orang. Tapi setelah beberapa kali melihat denah di surat itu, hasilnya benar. Bangku itu memang bangku yang Hanin tuju. Lagipula, tidak ada orang lagi di taman itu selain cowok yang duduk di sampingnya. Cowok itu juga diam saja melihat Hanin kebingungan. Jadi Hanin putuskan untuk bangkit berdiri. Namun sebelum berbalik, cowok itu mencekal lengan Hanin cukup kuat hingga ia bisa terduduk kembali.

"Kamu nggak salah, kok. Memang saya yang kamu cari." Cowok itu bersuara. Lalu menoleh pada Hanin, menatapnya dengan lembut.

Hanin juga memandangnya, wajahnya benar-benar mirip dengan Irham, hanya saja sedikit terlihat lebih tua. Kalau memang orang ini yang Hanin cari, lalu Irham ke mana?

"Irhamnya mana?"

Cowok itu tidak menjawab. Tapi matanya berkaca-kaca. Seperti menahan tangis.

"Irham sudah pergi." Suara cowok di sampingnya tiba-tiba serak. Seperti ada yang tertahan. Namun Hanin tetap memandangnya. Ia ingin tahu di mana Irham sekarang. Hanya Irham yang Hanin mau temui, bukan cowok ini.

"Pergi ke mana?" Rupanya Hanin belum mengerti apa maksud dari perkataan cowok itu.

"Irham sudah nggak ada. Dia meninggal sebulan yang lalu, tepat di tanggal hari ini." Cowok itu menunduk. Hanin belum sempat bereaksi apa-apa. Ia tidak mengerti apa yang baru saja cowok itu katakan.

"Apa?" tanya Hanin lagi.

"Irham meninggal, Nin. Sudah satu bulan yang lalu. Saya Kakaknya Irham, kami cuma selisih dua tahun. Irham memang sudah menjadi penghuni tetap rumah sakit ini sejak satu tahun yang lalu. Irham sakit, sakit kanker. Tiga tahun berobat, dia dinyatakan sembuh. Tapi kankernya balik lagi. Irham sendiri yang mau tinggal di sini, katanya biar nggak capek bolak-balik rumah sakit. Jadwal kemo-nya setiap hari Sabtu. Beberapa bulan yang lalu, dokter bilang kalau Irham nggak punya kesempatan hidup lebih lama. Makanya dia pengen banget sekolah, sudah lama berhenti sekolah. Makanya keluarga kami cari sekolah yang Deket dari rumah sakit biar dia bisa berangkat dari sini. Tapi ternyata, dia nggak kuat berjuang sampai akhir."

Hanin hanya bisa menutup mulutnya dengan rasa terkejut luar biasa. Saking kagetnya, Hanin bergetar. Tidak hanya tangan, badannya ikut bergetar. Ia tidak menyangka fakta yang baru saja ia dengar akan semengerikan ini. Orang yang ingin ia lihat setelah sekian lama, ternyata memang sudah pergi untuk selama-lamanya.

"Maaf kalau buat kamu kaget, saya cuma mau menyampaikan permintaan Irham selama ini. Hadiah-hadiah dan surat yang kamu terima, semuanya saya yang kirim, atas kemauan dia. Jadi ... tolong maafkan Irham kalau selama kalian berteman dekat, dia ada salah."

Hanin tidak bisa berbicara. Air matanya menetes entah sejak kapan. Tangannya masih membekap mulut. Berharap kalau fakta yang baru saja ia dengar adalah bohong dan ia baru saja dikerjai. Tapi melihat kakak Irham yang juga menangis bersamanya, Hanin sadar, kalau ini semua bukan candaan.

"Irham juga titip ini." Kakak Irham menyerahkan sebuah kotak ukuran cukup besar padanya.

"Setelah pingsan di sekolah, Irham nggak sadar tiga hari. Setelahnya, mungkin dia sadar kalau dia udah nggak lama lagi ada di dunia ini. Dia tulis semua hal yang mau dia ungkapin ke kamu, dan saya hanya sebagai perantara. Semuanya dia siapkan dengan baik, agar ketika kamu tahu kalau dia nggak ada. Kamu tetap bisa mengingat dia dari semua yang sudah dia kasih. Katanya, masa depan kamu masih panjang. Jangan terlalu sering mikirin Irham, karena itu udah tugas dia mikirin kamu dari tempatnya sekarang."

Kakak Irham bangkit dari duduknya setelah menyerahkan kotak itu pada Hanin, lalu memeluknya sebentar dan mengucapkan beberapa kalimat penyemangat dan kata penenang. Setelahnya, ia meninggalkan Hanin sendirian. Kakak Irham mengerti, kalau Hanin pasti butuh waktu sendiri. Tapi tenang, ia tidak meninggalkan Hanin. Hanya memantau dari kejauhan.

Hanin dengan tangan bergetar membuka kotaknya. Ada beberapa judul novel yang memang ingin ia beli. Ada sebuah kamera, yang sering Irham bawa ke mana-mana. Ada sebuah buku, yang ketika Hanin buka penuh dengan tulisan tangan Irham. Ada sebuah album foto juga di dalamnya. Hanin tidak sanggup melihatnya. Yang jelas sekarang, ia sangat terpukul. Tangannya masih bergetar, memeluk kotak yang baru saja ia terima. Tangisnya tumpah ruah

Irham baginya bagaikan sebuah hadiah yang ada di dalam tumpukan salju. Hadiahnya ada, meski tidak terlihat oleh kasat mata. Irham pun begitu, kedatangannya dalam hidup Hanin membawa warna yang sangat terang. Dan kini, hadiah itu harus tertimbun salju yang tebal sampai Hanin tidak bisa melihatnya dengan mata telanjang. Tapi ia tetap sadar, mau tidak bisa dilihat, Irham tetap ada di tempatnya.

Di lubuk hati Hanin yang paling dalam.

13/08/24

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Like a Gift on the Pile of Snow ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang