Kedatangan murid baru yang tiba-tiba duduk di sampingnya, membuat Hanin merasa sedikit aneh. Selama satu semester kemarin, hanya satu dua orang yang mau mengajaknya berbicara. Itupun karena tugas, jika tidak mungkin mereka masih mendiamkannya meski Hanin jelas tidak paham apa salahnya sampai mereka berbuat seperti ini.
Hanin memang memiliki kekurangan. Ia berbeda dari yang lain. Kulitnya terlalu putih untuk disebut sebagai warga lokal. Warna asli rambutnya jadi aneh karena tidak putih, tapi juga tidak hitam. Warnanya orange kekuningan. Pun bulu matanya yang terlihat begitu aneh jika Hanin tidak mengoleskan maskara pada bulu matanya. Ia memang terlalu aneh, tapi jelas mereka yang lebih aneh. Tidak bisa melihat dan menganggap perbedaan itu sesuatu yang biasa.
Ah, sudahlah. Lupakan. Memikirkan itu semua membuat kepala Hanin pening. Tapi jika dipikir-pikir kembali, anak baru itu pasti tidak tahu kalau Hanin aneh, makanya masih mau mengajak Hanin mengobrol. Mungkin Jia dia tahu, dia pasti bakal bersikap sama seperti yang lainnya.
Sudah, cukup. Hanin butuh ke kantin sekarang. Sebotol kopi mungkin cukup membantunya untuk menghilangkan pening di pagi hari ini.
Tapi sialnya, anak itu kembali mengikuti Hanin. Hanin lupa siapa namanya, sejak kemarin ia tidak berhenti mengajak Hanin berbicara dan bersikap seolah dekat dengan Hanin.
"Mau ke kantin, kan? Gue ikut, ya? Kemarin nggak sempet ke kantin jadi gue nggak tahu bentukan kantinnya kek mana."
Hanin hanya bergumam membalas kalimatnya. Selain karena Hanin malas berbicara dengannya, ia juga tidak tahu harus menjawab apa. Masa bodoh jika ia dianggap sebagai gadis cuek dan jutek.
Di sisi lain, Irham tidak berhenti mengajak Hanin berbicara. Pasalnya ia lihat-lihat dari kemarin, Hanin tidak banyak berbicara. Dan ia selalu sendiri. Selain karena Hanin teman sebangkunya, Irham murni ingin berteman, kok. Ia tidak bermaksud macam-macam. Tapi cukup gemas juga karena omongannya hanya dibalas seadanya dengan gadis itu.
"Lo pasti tipe cewek yang nggak mau ribet. Ya, kan?"
"Iya."
Ada kemajuan. Kali ini Hanin membalas ucapannya, meski hanya dengan satu kata. Irham tidak masalah, setidaknya gadis itu tidak selalu mengabaikan kehadirannya.
"Tungguin gue, ya. Gue mau beli air mineral dulu. Awas jangan ditinggal, gue takut nyasar."
Irham sengaja melipir ke warung sebelah ketika Hanin mengambil satu botol kopi kemasan. Padahal di toko itu juga ada air mineral. Irham hanya mengetes apakah Hanin akan tetap menunggunya atau tidak mempedulikan Irham dengan pergi meninggalkannya. Irham juga dengan sengaja seolah-olah menimbang-nimbang ingin membeli apa lagi, sembari curi-curi pandang ke tempat Hanin berada sekarang.
Gadis itu masih di sana. Berdiri dengan tingkah tidak nyaman. Setidaknya, gadis itu masih tetap mau menunggunya. Irham rasa, tidak ada salahnya menjadikan gadis ini teman. Ia tidak seperti yang orang-orang di kelas itu katakan padanya kemarin.
Hanin tidak seburuk itu, kok.
Sedangkan di sisi Hanin, ia bahkan tidak sadar jika ternyata ia menunggu Irham. Pikiran dan tubuhnya benar-benar tidak sinkron saat itu. Padahal Hanin sudah berpikiran kalau ia akan meninggalkan Irham di kantin, tidak peduli apakah cowok itu akan tersesat atau bagaimana. Tapi tubuhnya malah berdiam diri di dekat pintu masuk kantin. Benar-benar menunggu Irham.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, bukan tubuhnya yang tidak mau diajak kerja sama. Tapi Hanin yang mulai merasakan hal yang berbeda. Ia sendiri yang ingin menunggu cowok itu, dengan dalih rasa kasihan karena Irham murid baru yang bahkan belum mengitari letak sekolah ini.
Irham dengan wajah penuh senyum menghampiri Hanin setelah 10 menit membuat gadis itu menunggu.
"Gue kelamaan nggak?" Hanin menggeleng. "Syukur deh, tapi gue boleh minta tolong satu hal lagi nggak?" Hanin lagi-lagi tidak menjawab, tapi mimik wajahnya menandakan seakan-akan ia bertanya, apa yang bisa gadis itu bantu untuknya.
"Gue belum hafal letak sekolah ini. Sekalian tour sekolah boleh, nggak? Jujur, gue kemaren udah ditawarin cewek-cewek kelas. Tapi kemarin gue nggak tertarik karena mereka rame banget, gue nggak suka. Berhubung kita cuma berdua dan gue juga belum Deket sama temen-temen cowok sekelas. Boleh, ya? Anterin gue keliling sekolah ini."
Helaan napas dari Hanin terdengar begitu Irham menyebutkan keinginannya. Benar-benar keputusan yang buruk menunggu cowok itu. Harusnya Hanin tidak peduli mau Irham tersesatlah, nyangkut di mana lah, tapi ah, sudahlah. Hanin tidak ingin memperpanjang urusan ini. Sekalian juga ia merasa kasihan pada Irham untuk hari ini saja, selanjutnya Hanin tidak akan pernah mau membantunya lagi.
Cowok itu pasti sama seperti yang lain. Datang ketika butuh, lalu melupakan ketika sudah tidak butuh. Hanin jadi merasa seperti permen karet, habis manis sepah dibuang. Kali ini saja ia ingin berbuat baik.
"Ayo," kata Hanin pelan.
"Oke, sip! Makasih, ya! Kapan-kapan, deh, gue traktir lo mie ayam di kantin. Tadi kayaknya rame banget tuh warungnya. Btw, lo suka mie ayam nggak?"
"Nggak."
"Yah, padahal enak. Tapi gapapa. Gue bisa traktir lo yang lain nanti. Inget, jangan sampe nolak pokoknya."
Percakapan berhenti. Hanin tidak membalas ucapannya lagi. Dan Irham sekarang sedikit tahu diri, ia tidak ingin membuat Hanin tidak nyaman karena ia yang terlalu berisik. Walaupun keliatannya Hanin sudah tidak nyaman, sih. Tapi bodo amat untuk sekarang, Irham ingin keliling sekolah dulu bersama gadis cantik seperti Hanin.
"Luas juga, ya, sekolahnya. Gue kira ukurannya bentuk L gitu tapi ternyata di belakang ada lagi gedungnya. Pantes banyak muridnya."
"Di belakang banyak gedung ekskul."
"Oh, iya?" Hanin mengangguk.
Irham agak terkejut Hanin menjawab cukup panjang. Sepertinya ini menjadi kalimat terpanjang yang ia dengar dari Hanin.
"Kalau boleh tau ikut ekskul apa aja?"
"Pramuka."
"Pramuka doang? Nggak ada yang lain? Band? Tari? Robotik?" Hanin menggeleng.
Memang benar Hanin hanya ikut ekskul Pramuka. Ekskul yang wajib saja. Selain karena malas berinteraksi dengan banyak manusia, Hanin tidak mau disatukan dengan manusia-manusia yang suka menggunjing. Rata-rata anak yang aktif ekskul di sekolah ini adalah anak-anak yang sering membicarakannya. Hanin tau dan Hanin sering mendengar itu.
Daripada lelah hati dan batin karena omongan mereka lebih baik Hanin tidak ikut ekskul sama sekali. Toh, yang mempengaruhi nilai hanya ekskul Pramuka. Jadi mau tidak mau Hanin harus mengikutinya.
"Pramuka yang wajib."
"Ah, I see. Kapan-kapan deh gue pengen tau ekskul yang lain. Tapi gue juga nggak bisa ikut yang berat-berat. Gue kan manusia spesial." Irham tertawa, Hanin diam saja.
Ia tidak tahu apakah yang dimaksud spesial oleh Irham mengacu pada dirinya atau Irham sendiri, Hanin tidak tahu dan berusaha untuk tidak terlalu tahu-menahu tentang Irham. Baginya, Irham juga orang asing. Sama seperti mereka.
13/03/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Teen Fiction(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...