Hari Jum'at adalah hari yang paling Hanin tunggu. Sejak semalam ia merasa tidak sabar pagi segera tiba. Sejak beberapa hari yang lalu dan juga semalam Hanin dan Irham sudah berjanji akan nonton bersama. Kebetulan mereka berdua adalah penggemar film horor. Dan beberapa Minggu ini dunia perfilman Indonesia sedang dipenuhi dengan film horor yang cukup menarik. Sebagai pecinta film horor tentu Hanin sangat tertarik menontonnya.
Apalagi sekarang ia bisa nonton sendiri. Maksudnya bersama Irham. Kalau biasanya Hanin hanya menonton dengan masnya yang super duper boring itu karena ia jelas tidak bisa keluar sendiri. Kendati memakai baju tertutup Hanin suka risih jika berjalan di depan umum sendirian. Namun sekarang keadaannya sudah berbeda. Hanin sudah sedikit normal. Setidaknya tampilannya saat ini sudah jauh lebih baik di banding sebelum-sebelumnya.
Dan karena ia akan nonton bersama dengan Irham, Hanin menjadi lebih percaya diri lagi. Adanya Irham di hidupnya tiga bulan belakang memang sebuah takdir yang cukup mengejutkan. Siapa sangka jika Hanin bisa memiliki teman. Teman laki-laki pula. Bahkan sejak Hanin dan Irham mulai dekat sebagai teman, teman sekelas mereka mulai bersikap lebih baik padanya. Kadang-kadang mereka menyapa saat bertemu Hanin dan Irham di koridor atau di kantin sekolah. Semuanya membaik perlahan. Dan itu semua berkat Irham. Hanin akan berterima kasih nanti.
Kalau boleh Hanin menggambarkan Irham. Irham tuh seperti sebuah hadiah dari Tuhan untuknya. Jelas. Semuanya sangat membaik sejak Irham datang ke hidupnya. Layaknya hadiah dalam tumpukan salju, kalau Hanin boleh memberikan perumpamaan. Hadiah yang tertutup salju, meski tidak terlihat sejak awal hadiah tetaplah hadiah yang membawa kebahagian. Seperti itulah Irham di mata Hanin sekarang.
Dan akhirnya esok hari itu pun datang. Hanin bahkan siap dengan sebuah kardigan baru yang ia beli bersama dengan Irham di trifth shop beberapa waktu itu. Perdana untuk hari ini Hanin menggunakannya dalam rangka menonton film bersama Irham. Hari ini seperti menjadi hari yang cerah bagi Hanin memulai hidup. Ia merasa senang. Cukup senang.
Sampai akhirnya, kecurigaan itu datang. Memang, merasa senang haruslah secukupnya. Karena kita tidak akan pernah tahu kejutan mengejutkan apa yang terjadi beberapa saat mendatang.
***
Hari ini Hanin berangkat dan masuk sekolah seperti biasa. Selagi menunggu kedatangan Irham, ia biasanya membaca novel. Dan mungkin karena saking asiknya membaca, Hanin sampai lupa satu hal.
Irham belum juga datang.
"Nin, Irham nggak sekolah, ya? Udah jam segini belum dateng." Suara Irul si ketua kelas menyadarkan Hanin.
Lima menit lagi, bel masuk berbunyi. Dan benar, Irham belum terlihat batang hidungnya. Hanin heran, tapi masih bisa berpikiran positif, mungkin kali ini Irham telat. Meski tidak pernah telat sebelumnya, siapa tahu kali ini Irham memang ada urusan mendesak.
"Kayaknya telat sih, Rul. Bentar gue coba hubungi."
Hanin segera meraba ponsel di sakunya. Dan lekas mengubungi Irham. Awalnya ia hanya mengirim sebuah pesan, menanyakan apakah Irham hari ini datang telat atau tidak. Tidak ada jawaban, pesan centang satu alias Irham dalam posisi off data. Kening Hanin mengkerut, selama tiga bulan belakangan ini, Irham tidak pernah mematikan datanya. Ini hal yang tidak biasa.
Hanin memutuskan untuk menelfonnya. Tidak ada jawaban.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Hingga akhirnya bel berbunyi. Irham belum menampakkan dirinya. Dan panggilan selalu tidak terjawab.
Hanin mulai bertanya-tanya. Kenapa? Apakah sesuatu terjadi? Semalam Irham terlihat baik-baik saja. Mereka bahkan sempat telfonan selama setengah jam membahas rencana hari ini mereka keluar.
Bahkan satu jam kemudian Irham benar-benar tidak datang.
Jelas ada yang salah dari sini. Semalam Irham benar-benar baik-baik saja. Suaranya masih sama dan tidak terdengar kalau ia sakit sama sekali. Mereka bahkan tertawa cukup lama. Hanin tidak mengira tanda-tanda Irham sakit semalam.
Pesannya terkirim tidak hanya satu. Melainkan berkali-kali. Hanya untuk memastikan jika Irham aman di sana. Tidak peduli rencana mereka gagal atau bagaimana. Yang penting Irham baik-baik saja sekarang.
Jantung Hanin berdegup cukup kencang. Jelas ia sangat khawatir sekarang. Kendati Irham beberapa kali menunjukkan gelagat aneh, Hanin tetap tidak bisa menebak apa yang sedang cowok itu rasakan atau pikirkan. Dan melihat Irham tidak masuk hari ini, kemudian rencana mereka gagal begitu saja tanpa konfirmasi apa-apa membuat Hanin semakin khawatir.
***
Di tempat yang berbeda. Irham tengah terbaring lemah. Sejak tengah malam, badannya menggigil dan suhu tubuhnya meningkat. Padahal sebelumnya Irham merasa baik-baik saja, tidak ada yang salah dari tubuhnya. Tapi keadaan tiba-tiba berbalik dalam waktu sekejap. Irham drop tiba-tiba, setelah merasa baikan untuk waktu yang cukup lama.
Ia bahkan sekarang hanya bisa diam dan beristirahat. Karena jika tidak, kepalanya semakin terasa ingin pecah. Irham tidak sanggup memegang hpnya. Apalagi menghubungi Hanin dan meminta maaf jika ia tidak bisa menepati janji hari ini. Ponselnya entah di mana sekarang, Irham juga tidak tahu.
Maka dari itu yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah tidur dan beristirahat. Barangkali beberapa saat kemudian kondisi badannya membaik dan ia sempat menghubungi Hanin. Ah, membayangkan betapa kecewanya gadis itu karena janji mereka batal begitu saja tanpa kabar dari Irham. Hanin pasti kecewa dan sedih. Membayangkan itu saja membuat hati Irham sedikit nyeri. Ia tidak bermaksud menyakiti gadis itu dengan janji-janji yang bahkan tidak tahu apakah akan ia tepati.
Salahnya sendiri mengapa membiarkan perasaan itu tumbuh. Harusnya dari awal Irham mengabaikannya. Harusnya dari awal Irham tidak berusaha mendekatinya. Tapi ternyata ia tidak bisa, melihat Hanin sendirian jelas ia tidak tega. Apalagi sejak mereka jauh lebih dekat sekarang. Rasanya Irham ingin bilang, kalau ia suka Hanin dan tidak akan pernah mau meninggalkannya.
"Hp lo mati ternyata. Barusan gue charger banyak pesan masuk. Mau gue buka atau diemin aja?" Itu suara abangnya.
Memang sejak Irham memutuskan untuk tinggal di rumah sakit ini, abangnya yang banyak mengurusnya. Abangnya itu seperti ikut tinggal di sini bersama Irham dan sangat jarang meninggalkannya.
"Diemin aja." Irham menjawab dengan suara lemah.
"Banyak panggilan tak terjawab juga. Tapi gue udah bilang wali kelas lo kok, kalau hari ini lo ngedrop lagi. Sekolah pasti ngerti."
Irham hanya mengangguk saja. Syukurlah kalau sekolah sudah tahu. Setidaknya Hanin juga akan tahu kalau ia tidak menepati janji mereka bukan dengan sukarela. Gadis itu pasti akan paham. Irham tahu Hanin bukan seperti gadis kebanyakan. Ah, sayang sekali Irham harus membuatnya merasa sedih hari ini.
Ia ingin Hanin bahagia dan bukannya sedih seperti ini. Rasanya sakit membayangkan keadaan Hanin sekarang. Gadis itu pasti merasa cemas setengah mati.
12/05/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Teen Fiction(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...