Bab 18 :: Masih Memikirkannya

4 0 0
                                    

Sudah sebulan lamanya, setiap Minggu Hanin selalu mendapatkan hal yang sama. Sebuah novel dengan satu buah surat yang ada di dalamnya. Hanin tidak membuka ataupun membaca surat-surat dan novel-novel itu. Jujur saja, Hanin takut membukanya. Ia takut kalau novel-novel itu hanya tipu daya belaka dan ia akan mendapatkan sesuatu yang menyeramkan. Itu memang imajinasi liar Hanin saja sih, tapi tetap saja ia merasa begitu. Hanin menduga kalau orang yang mengirimkannya barang-barang itu merupakan orang yang sudah lama mengamati Hanin. Dari judul-judul novel yang ia terima, semuanya mirip dengan tema novel yang ia suka. Memang sih, tidak semua novel yang dikirim merupakan wishlist-nya, tapi semua novel itu tetap menarik meskipun Hanin belum berani membukanya.

Awalnya Hanin mengira kalau itu dari Irham. Mengingat sampai saat ini tidak ada kabar darinya, Hanin merasa kalau hadiah-hadiah itu jelas bukan dari Irham. Untuk apa mengirimkan sesuatu padanya seperti ini padahal yang Hanin inginkan hanya cowok itu membuka kembali komunikasi di antara mereka. Hanin cuma mau itu dari Irham. Kalaupun cowok itu terpaksa pergi dari sekolah ini karena paksaan orang tuanya atau bagaimana, harusnya ia tetap mengabari Hanin, tidak pergi begitu saja tanpa kabar bak menghilang. Atau mungkin Irham bersikap begitu karena memang sejak awal ia ingin menghilang.

Lalu mengapa membuat Hanin menjadi dekat dengannya dan berteman?

Hanin tidak perlu itu semua kalau ujung-ujungnya Irham menghilang seperti ini. Itu yang Hanin rasakan selama sebulan belakangan. Ada banyak sekali hal yang ingin Hanin ungkapkan tapi tidak mengerti harus bagaimana. Selama ini, yang menjadi temannya hanya Irham. Hanya cowok itu yang mampu membuatnya merasa aman dan nyaman di sekolah yang awalnya terasa neraka bagi Hanin. Kehadiran Irham jelas membuat hari-harinya menjadi lebih berwarna. Sampai rasa itu akhirnya hinggap di hatinya. Hanin yang awalnya nyaman menjadi teman bagi Irham, kini malah menjatuhkan hatinya pada pesona cowok sebaik Irham.

Sudah Hanin bilang beberapa waktu belakangan, kalau ia jatuh cinta pada Irham. Dan memang sejak awal, Hanin tidak mau mengungkapkan perasaannya. Ia tidak mau membuat hubungan pertemanan mereka harus putus di tengah jalan karena rasa yang seharusnya tidak boleh ada di antara mereka. Kini, rasa itu semakin berkembang menjadi lebih besar. Meskipun Irham menghilang, rasa yang ada di hati Hanin masih singgah. Ia tidak bisa menghilangkannya secepat itu. Bayangan Irham dan kebersamaan mereka selama berada di sini masih ada dan dapat diingat dengan jelas oleh Hanin. Dan ia pun tidak berniat untuk menghapus perasaannya pada Irham  entah sampai kapan.

Hanin akan mengingat Irham sebagai cinta pertamanya di masa SMA sampai ia menemukan cinta sejatinya nanti.

Itu yang Hanin pikirkan selama ini. Dan ketika Irham menghilang, rasanya benar-benar hampa. Ia hanya bisa melakukan dan menjalani hidup apa adanya. Meski sangat kosong ketika ketiadaan Irham terlihat dan terasa sangat nyata. Awalnya, Hanin ikut menjadi bahan gunjingan teman-temannya. Katanya, Irham si murid baru yang ganteng itu pindah sekolah karena sudah tidak sanggup berteman dengan Hanin. Hanin sih tidak peduli, memang sejak awal ia tidak diterima di sekolah ini. Jadi daripada ia pusing memikirkan cemoohan teman-temannya, lebih baik berusaha keras agar ia bisa lulus dari sekolah ini dan kuliah di universitas bergengsi.

Hanin tidak mau menyia-nyiakan masa ini hanya karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Meskipun awalnya berat, Hanin yakin ia bisa melakukannya dengan baik, seperti yang pernah Irham bilang padanya. Ah, memang. Sudah sejak lama nama Irham selalu menjadi isi kepala Hanin, sejak ia menyadari perasaannya terhadap cowok itu, setelah ia menghilang semuanya terasa semakin nyata. Awalnya Hanin marah besar pada Irham, ia bertanya-tanya mengapa cowok itu sampai menghilang seperti ini. Apa yang salah? Apa yang terjadi sampai ia jadi seperti ini. Namun lambat laun, Hanin kembali memikirkan segalanya. Ia yakin, Irham punya alasan tersendiri mengapa ia melakukan hal ini.

Hanin yang saat ini berada di dalam kelas, terbengong dan hanya bisa melihat kembali isi galerinya bersama Irham. Dalam kepala, Hanin kembali mengingat semua momen yang ia habiskan bersama cowok itu. Di tengah itu, tiba-tiba bahu Hanin ditepuk. Seorang gadis yang belum pernah Hanin lihat di kelas ini, menepuk bahunya, lalu berkata.

"Lo Hanin, kan?" Hanin mengangguk.

"Ini ada titipan dari Pak Satpam, katanya buat lo. Karena udah ada nama kelasnya jadi gue langsung masuk ke sini aja." Gadis itu menyerahkan sebuah kotak, kotak yang sudah pasti Hanin bisa tebak isinya apa.

Kotak itu sudah datang padanya lima kali, dan sekali seminggu. Dalam sebulan ini jelas Hanin hafal apa isinya meski sampai sekarang tidak bisa menebak siapa pengirimnya. Hanin masih tidak mau membuka surat dari si pengirim hadiah ini.

"Oke, makasih."

"Gue Fella, murid baru kelas sebelas. Salam kenal, Hanin." Gadis yang ternyata murid baru itu menjulurkan tangannya terlebih dahulu.

"Salam kenal juga." Hanin membalas uluran tangannya. Setelahnya, gadis itu pergi meninggalkan kelas.

Setelah Fella pergi dari kelasnya, yang Hanin lakukan hanyalah memandangi kotak hadiah itu. Sesaat kemudian, ia merasa penasaran, judul novel apa yang kali ini ia dapat. Kalau dipikir-pikir, kotak ini sedikit lebih besar dari kotak yang biasanya ia dapat. Warnanya juga selalu konsisten, menggunakan warna kesukaannya. Orang yang mengirim ini jelas sangat mengerti kesukaan Hanin apa. Tapi entah siapa yang mengirimnya. Sampai saat ini Hanin masih belum mau membaca suratnya. Ia masih merasa takut.

Karena bosan dan tidak tahu harus melakukan apa, Hanin akhirnya memutuskan untuk membuka kotak itu. Tatapan tidak suka dari teman sekelasnya, Hanin abaikan. Jelas mereka sedang merasa iri karena Hanin selalu mendapatkan sebuah hadiah setiap minggunya. Ia juga pasti sudah mengira kalau mereka akan semakin membencinya karena iri. Begitu kotak dibuka, Hanin langsung melihat satu buah novel dengan judul yang ada di wishlist-nya. Novel itu, novel yang pernah ia bicarakan dengan Irham ketika mengunjungi toko buku. Memang bukan novel yang ingin segera Hanin beli, tapi tetap saja hanya Irham yang tahu mengenai buku itu.

Apa jangan-jangan Irham yang mengirimkan semua hadiah ini?

Lalu kenapa ia malah menghilang dan bersembunyi?

Hanin segera membuka suratnya. Surat yang biasanya tidak pernah ia sentuh, tidak ada keinginan untuk membacanya, kali ini mengundang rasa penasaran yang sangat besar. Hanin hanya ingin memastikan satu hal. Ia ingin tahu siapa pengirimnya dan ia ingin tahu motif dibalik orang itu mengirimkannya hal seperti ini.

Dan kalau benar orang yang mengirim ini adalah Irham, Hanin hanya ingin tahu satu hal.

Apakah Irham sedang baik-baik saja sekarang?

09/08/2024

Like a Gift on the Pile of Snow ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang