Bab 7 :: Haruskah percaya?

4 1 0
                                    

Setelah mengungkapkan isi hatinya, mereka berpisah. Hanin pergi terlebih dahulu meninggalkan Irham yang masih terheran-heran akan sikap Hanin hari ini. Hanin yang ingin dia menjauhinya, Hanin yang ingin hidup tenang semuanya jadi abu-abu di mata Irham.

Bagaimana bisa orang yang dengan niat hati berteman malah dianggap sebagai orang yang mengganggu ketenangan hidup?

Hanin memang berbeda, Irham tahu itu. Tapi bukan berarti Irham mengikuti tingkah teman-temannya yang lain hanya karena Hanin albino. Hanin juga manusia, dan semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Perlakuan yang Irham maksud adalah berusaha berteman baik dengan Hanin. Tapi malah tidak disambut dengan baik.

Apakah Irham kecewa akan hal itu? Tidak. Irham hanya heran. Hanin juga pasti butuh waktu. Maka dari itu, untuk hari ini Irham akan mengabulkan permintaan gadis itu. Hanya untuk hari ini. Lihat saja nanti.

***

Irham menuruti permintaannya.

Hanin melihat itu seharian ini. Setelah jam istirahat selesai, Hanin melihat Irham masuk dan langsung duduk begitu saja tanpa mengajaknya mengobrol seperti biasa. Irham benar-benar menuruti permintaan Hanin untuk menjauhinya.

Hanin lega jujur saja. Apa yang ia inginkan, disambut baik dengan cowok itu. Mungkin terasa tidak adil di sisi Irham, namun menurut Hanin, ini yang terbaik untuk mereka. Terlebih untuknya. Hanin benar-benar tidak sanggup jika terus berurusan dengan manusia-manusia aneh itu.

Dan melihat Irham yang diam saja begini membuat Hanin terasa melihat sosok lain dari cowok itu. Irham yang biasanya ceria, sering tersenyum dan tertawa mendadak diam seribu bahasa padanya. Jujur, hati Hanin sedikit tidak nyaman. Mungkin karena tidak terbiasa. Ia yakin suatu hari nanti ia akan terbiasa melihat sisi Irham yang seperti ini. Terlebih untuk satu semester ke depan.

Sikap diam yang ditunjukkan Irham tidak lama. Beberapa saat setelahnya, cowok itu pamit keluar, entah kemana. Hanin baru kembali melihatnya ketika mendekati jam pulang. Sedikit penasaran apa yang cowok itu lakukan di luar sana, tapi Hanin mencoba untuk tidak peduli.

Ini yang ia inginkan bukan? Hanin harus meneguhkan hati dan pikirannya lebih kuat lagi. Ini pertanda kalau memang benar, Irham menganggapnya teman karena dasar kasihan. Memang lebih baik mereka begini dari awal. Lebih baik Hanin tidak berurusan dengan siapapun hingga nanti.

***

Namun sisi lain yang Irham perlihatkan kepadanya kemarin hanyalah sesaat. Begitu besoknya masuk kelas kembali, Irham bertingkah seperti biasa. Layaknya kemarin-kemarin dan seakan-akan mereka tidak pernah berdebat sebelumnya.

Hanin yang terheran-heran. Bagaimana bisa cowok itu berubah pikiran dalam waktu sekejap? Apa yang membuatnya tiba-tiba merasa berubah pikiran begini?

Daripada melontarkan pertanyaan pada Irham, Hanin hanya bisa menatapnya dengan tatapan aneh. Maksudnya heran. Heran melihat Irham bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

Ah, Hanin lupa. Cowok seperti Irham memang tidak akan pernah bisa diajak kerja sama. Ia merasa sia-sia telah meluapkan emosinya kemarin.

"Kenapa?"

Cowok itu bertanya setelah Hanin menatapnya heran sejak tiga menit yang lalu. Hanin hanya menggeleng. Ia sudah bertekad untuk tidak banyak berinteraksi dengan Irham mulai hari ini dan seterusnya.

"Gue ngerti kok perasaan lo kemarin. Tapi maaf, untuk berhenti berteman seperti yang lo mau, gue nggak bisa. Gue sekolah di sini dengan niat baik, nggak ada bermaksud buat merugikan siapapun. Jadi, kalau lo mau dengan baik hati baca surat ini nanti di rumah, tolong dibaca, ya. Tulisan gue emang nggak bagus, tapi semoga lo paham sama isinya. Sekali lagi, gue cuma mau berteman baik sama lo, Hanin."

Irham menyerahkan sebuah amplop polos. Ya, amplop yang biasa ditemui di warung-warung. Entah apa isinya, Hanin harap semoga sesuatu yang tidak mengecewakan dirinya.

Irham tersenyum cerah begitu Hanin menerima surat tulisannya. Alasan terbesar Irham memutuskan untuk menulis surat itu alih-alih mengirimkan pesan panjang melalui chat atau email adalah semoga Hanin paham, tulisan tangan jauh lebih terasa tulus dibanding surat lainnya. Semoga saja.

Lagi pula tidak ada salahnya berteman dengan siapa saja dan tanpa memandang apa-apa. Hanin punya kekurangan di fisiknya, begitu pula Irham. Hanya saja, orang-orang tidak boleh tahu kekurangan yang ia punya. Sama seperti Hanin, ia juga tidak ingin dikasihani. Irham tidak ingin dikenang dengan cara yang buruk. Ia ingin dikenang dengan cara yang menyenangkan.

Dan hari ini berlalu begitu saja. Tidak banyak yang bisa Irham lakukan untuk mengembalikan kecerian suasana di antara mereka. Tapi setidaknya, Hanin mau mendengarkan kalimat-kalimat panjang yang ia ucapkan hari ini.

***

Hanin sudah ada di rumah. Dan ia memegang surat buatan Irham sejak 15 menit yang lalu. Bimbang apakah ia akan membacanya atau tidak. Hanin bisa menebak isi di dalamnya, sekaligus penasaran akan seperti apa isi suratnya. Di sisi lain, ia takut merasa luluh karena suratnya.

Kebimbangan itu berlanjut hingga setengah jam kemudian. Hanin yang mendekam di kamar sejak pulang sekolah tadi, memiliki pemikiran yang rumit. Kalau jadi orang lain mungkin ia sudah membacanya sejak mendudukkan diri di kasur. Hanin berbeda, perlakuan mereka membuat Hanin tidak percaya apa itu teman. Tapi tiba-tiba datang seseorang yang mau berteman dengannya, layaknya sebuah hadiah yang tiba-tiba datang tanpa tahu siapa pengirimnya.

Kebimbangan itu berakhir. Hanin memutuskan untuk membacanya. Menilik siapa tahu memang benar, Irham memiliki niat baik untuk berteman dengannya. Kertas itu akhirnya terbuka, dan memang betul, tulisan Irham tidak sebagus tulisannya, setidaknya tetap bisa Hanin baca dengan mudah.

Gue beneran dengan tulus dan niat yang baik mau berteman. Nggak peduli mau gue dijauhin juga atau nggak. Nggak peduli lo punya kekurangan atau nggak. Lagian jadi albino itu nggak selalu buruk kok, Nin. Setidaknya lo udah memenuhi standar kecantikan orang Indo, punya kulit putih. Hehehe, bercanda. Tapi beneran sih, lo cantik sumpah deh. Semoga lo ngerti dan paham maksud suratnya, ya.

Secara resmi nih, lo mau nggak jadi temen gue? Plis jawab iya, gue tunggu jawabannya besok ya, awas kalau nggak lo jawab. Gue bakal nagih sampe lo bosen denger suara gue. Hehe.

Surat itu tertulis begitu.

Hanin yang masih tidak percaya dan memiliki trust issue besar terhadap orang lain itu sepertinya tidak punya alasan lain untuk menolak ajakan Irham untuk berteman. Irham terlihat sungguh-sungguh. Dan kata cantik yang cowok itu sematkan pada suratnya, membuat hati Hanin sedikit menghangat.

Baru kali ini ada orang yang menyebutnya cantik selain anggota keluarganya.

Sepertinya tidak ada salahnya untuk percaya pada Irham. Cowok itu terlihat baik dan benar-benar ingin berteman dengannya. Kalau ia menerima ajakan ini, berarti benar, Irham adalah orang pertama yang ingin menjadi temannya.

Haruskah Hanin percaya padanya?

20/03/2024

Like a Gift on the Pile of Snow ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang