Bab 8 :: Awal dari semua

4 2 0
                                    

Berbeda dengan Hanin dan segala macam pemikirannya, Irham tentu memiliki pemikiran yang berbeda. Jauh sebelum ia bertemu Hanin, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yakni alasan terbesar mengapa Irham pindah ke sekolah itu yang akhirnya bertemu Hanin. Manusia paling unik yang pernah Irham jumpai.

Sebenarnya Irham sakit. Sudah setahun lebih ia berada di rumah sakit. Dan sudah beberapa bulan ini Irham betulan tinggal di rumah sakit. Penyakitnya ini tidak bisa dianggap remeh. Dan daripada bolak-balik antara rumah dan rumah sakit yang memakan waktu lama, keluarganya dan juga Irham sendiri memutuskan untuk tinggal di rumah sakit.

Irham akui, keluarganya kaya. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa tinggal di rumah sakit besar ini. Tapi sekali lagi Irham katakan, menjadi kaya bukan berarti hidupmu berjalan mulus. Keluarga Irham contohnya, sejak dua tahun lalu Irham merasa sebagai cobaan keluarga. Sudah tak terhitung berapa biaya yang keluarganya keluarkan untuk mengobati penyakitnya yang tak kunjung sembuh ini.

Oleh sebab itu, Irham jarang bertemu keluarganya. Mungkin hanya sang ibu dan sang kakak yang sering kali berada di rumah sakit menemaninya. Selebihnya mungkin Irham hanya bisa melihat mereka satu atau dua kali dalam satu bulan. Irham bersyukur? Jelas. Tanpa mereka mungkin Irham sudah mati beberapa waktu yang lalu. Dan untuk menghargai semua pengorbanan keluarganya, Irham akan bertahan sekuat mungkin.

Jika dilihat dari narasi mengenai penyakitnya, Irham pastikan kalau itu penyakit serius. Kanker yang ada di darahnya menjadikan Irham terlihat lemah. Leukimia itu merenggut semua dari hidupnya, kalau Irham boleh jujur. Ia bahkan putus sekolah sesaat setelah vonis itu muncul. Keluarganya ingin Irham fokus pada pengobatan dan ia mengiyakan. Tentu baginya berjuang untuk sembuh jauh lebih bermakna dibanding menyerah karena takut.

Jelas ada banyak ketakutan dalam diri Irham. Terlebih semenjak vonis itu datang. Irham jadi takut keluar rumah, ia takut pengobatannya menyakitkan, Irham bahkan takut untuk bergerak berlebihan, akhirnya semua ketakutan yang ada membuat Irham semakin lemah. Seseorang pernah datang pada dan berkata, takut itu yang bikin manusia cepat mati. Alih-alih berjuang sekuat tenaga demi bisa hidup, mereka malah memilih menyerah karena takut sakit. Padahal mereka memang sakit dan butuh untuk diobati.

Kalimat itu yang akhirnya menyadarkan Irham bahwa semua yang ia lakukan butuh perjuangan. Bukan rasa takut akan sakit yang pasti akan ia rasakan. Jadi Irham berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan melawan penyakitnya. Lagipula menjadi penyintas kanker tidak seburuk itu. Asal ia melakukan pengobatan dengan benar, minum obat dengan teratur, menjaga kesehatan dan kondisi mental, semuanya jadi terlihat mudah.

Jangan kira orang dengan penyakit kanker itu lemah, mereka justru yang paling kuat. Kuat menahan rasa sakitnya, kuat menahan pengobatan yang luar biasa melelahkan, kuat melawan ketakutannya sendiri dan juga kuat melawan obat-obatan yang harus rutin mereka minum sepanjang hari. Orang dengan penyakit kanker bukan orang yang dikit-dikit pingsan, dikit-dikit lemah, dikit-dikit sakit. Walaupun kadang itu benar, tapi Irham menganggapnya tidak benar. Pejuang kanker itu manusia yang paling kuat sealam semesta.

Ah, balik lagi tentang sekolah tadi. Irham yang sudah dua tahun berhenti sekolah, tiba-tiba ingin sekolah. Pengobatannya tidak bisa dibilang lancar. Ada saat di mana kondisi Irham memburuk, dan mentalnya pun ikut memburuk. Ditambah berada di rumah sakit terus-terusan membuatnya merasa begitu penat. Irham ingin tahu dunia luar. Dan akhirnya muncul keinginan itu.

Irham ingin sekolah lagi.

Irham ingin merasakan rasanya sekolah lagi. Ia ingin memiliki teman. Melakukan banyak hal dengan temannya. Tidak hanya berada di rumah sakit dan membayangkan hal yang tidak-tidak. Yang justru akan membuat kondisinya semakin menurun, Irham ingin melakukan sesuatu yang positif. Setidaknya ketika ia bersekolah nanti, akan ada beberapa jam yang Irham habiskan di luar rumah sakit. Membayangkan saja rasanya menyenangkan. Dan ketika ia mengatakan keinginannya itu, seluruh keluarganya menyetujui, pun dokternya. Meski harus ada beberapa hal yang tidak boleh Irham lakukan demi kesehatannya, seperti mengikuti kelas olahraga dan segala macam yang menggunakan fisik berlebih. Dan juga dengan catatan, Irham hanya bersekolah selama satu semester. Tidak lebih dan tidak kurang.

Akhirnya, masuklah Irham ke sekolah itu. Letaknya dekat dengan rumah sakit, jadi ketika pulang sekolah Irham tinggal jalan kaki ke rumah sakit sekitar 7 menit lamanya. Lumayan, Irham akhirnya bisa bernapas lebih lega. Enam bulan ke depan, Irham menantikan suasana sekolahnya yang menyenangkan.

Hari itu, hari pertama Irham masuk sekolah. Sebelumnya ia sudah pernah masuk ke sekolah untuk perkenalan dengan kepala sekolah dan juga guru sekaligus memberitahukan kondisinya kepada mereka. Berharap mereka mengerti dan paham akan kondisi Irham yang sebenarnya. Meski demikian, Irham meminta mereka merahasiakan keadaannya ini pada teman-temannya.

Hari pertama Irham masuk sekolah ia bertemu dengan Hanin dan meminta cewek itu untuk mengantarkannya ke ruang kepala sekolah. Ada beberapa hal yang harus Irham ikuti instruksinya langsung dari beliau. Kesan pertama yang Irham lihat dari pertemuan mereka adalah, Hanin cantik.

Serius.

Di matanya saat itu, Hanin cantik. Secara fisik, Hanin memang terlihat seperti bule. Rambutnya kecoklatan, kulitnya yang begitu putih meski tertutup cardigan tipis. Tapi sejak saat itu juga Irham mengetahui Hanin berbeda. Bulu mata gadis itu tidak hitam sempurna pun alisnya, baginya terlihat cukup jelas jika Hanin menggunakan pewarna rambut pada alisnya. Saat itu Irham hanya membatin, ah gadis ini gadis albino. Irham cukup terkesan karena ia tidak pernah bertemu dengan gadis albino seperti Hanin sebelumnya.

Lalu mereka bertemu lagi di kelas. Entah ada alasan apa, kepala sekolah memutuskan memasukkannya ke kelas Hanin. Irham kembali melihat gadis itu, ia terlihat cukup pendiam. Namun setelah beberapa saat berada di kelas itu, Irham menyadari satu hal. Semua orang di kelas ini cenderung menghindari Hanin. Bahkan saat istirahat tiba dan Hanin pergi keluar, mereka langsung dengan jelas mengatakan padanya untuk menjauhi Hanin. Hanin berbeda dan tidak layak untuk menjadi teman.

Pada saat itu Irham bingung. Bagaimana bisa manusia seperti Hanin dijauhi lantaran perbedaannya, karena ia albino? Padahal mereka semua sama di mata Tuhan. Adanya perbedaan bukan berarti kita harus menjauhinya bukan?

Ah, manusia jaman sekarang. Irham tidak mengerti jalan pikiran mereka. Berbeda, bukan berarti berhak diperlakukan tidak sama. Kasihan Hanin selama ini harus berurusan dengan manusia-manusia macam mereka.

Dan ya, memang benar. Irham menjadikan Hanin temannya dengan dasar kasihan. Pada saat itu Irham akui kalau ia memang kasihan pada Hanin karena selama ini sendiri dan bertekad ingin menjadi temannya. Satu-satunya teman yang Hanin punya. Meski sedikit susah karena Hanin terlanjur menutup hati, Irham yakin suatu saat, Hanin akan luluh dengan niat baiknya. Hanin memiliki kekurangan dan Irham pun juga memiliki kekurangan. Tidak ada salahnya bukan berbuat baik, siapa tahu kebaikan ini yang akan menolong Irham ketika ia mati nanti.

Bercanda.

Tapi Irham serius. Ia ingin menjadi teman Hanin. Teman satu-satunya yang Hanin punya.

24/03/2024

Like a Gift on the Pile of Snow ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang