Hari yang menyenangkan selama masa orientasi akan berakhir. Hanin yang memang tidak memiliki kenangan akan hal itu, merasa ini adalah masa yang begitu menyenangkan dalam hidupnya. Hanin belum pernah berinteraksi dengan banyak orang seperti ini sebelumnya. Dan ia senang luar biasa.
Biasanya, hari penutupan orientasi sekolah ditutup dengan games seru antar kelompok. Tidak banyak materi seperti hari sebelumnya. Kalau dilihat dari jadwal, hari ini penuh berada di luar lapangan. Hanin sedikit khawatir akan kondisi kulitnya tapi mengingat momen ini sangat berarti bagi hidupnya, Hanin menepis semua rasa cemas itu.
Pagi hari setelah apel dibuka dengan senam bersama. Karena hari masih pagi dan cuaca belum cukup terik, Hanin masih bisa mengikuti kegiatan dengan sempurna. Walaupun pakaiannya sedikit berbeda dengan teman-teman lainnya, Hanin mengenakan baju berlengan panjang dan juga celana training, dan temannya yang lain mengenakan seragam olahraga dari sekolahnya masing-masing. Sedikit mencuri perhatian karena memang sejak awal, Hanin berbeda dari yang lain. Tapi tak apa, Hanin berusaha menghiraukan itu semua dan fokus pada acara hari ini.
Senam selesai, saatnya games dimulai. Hanin dan juga anggota kelompoknya mempersiapkan diri masing-masing. Lomba permainan kali ini mirip dengan lomba 17 Agustus yang sering Hanin lihat di media sosial. Seru dan menyenangkan meski tim Hanin tidak sampai menang.
"Mukamu merah, Nin, nggak papa kah?" Suara Nanda memecah keseruan di benak Hanin. Ah, akhirnya ia menyadari semenyenangkan apapun acara ini, Hanin tidak bisa menikmatinya sampai akhir.
"Eh, iya kah? Merah banget, Nan?"
"Nggak yang merah banget gitu, sih. Tapi beneran nggak papa? Kalau nggak kuat mundur ya, atau pinjem topi ke panitia." Nanda menyarankan.
Omong-omong tentang Nanda, gadis itu teman sebangkunya sejak masa orientasi dimulai. Nanda yang cukup tahu pantangan apa saja yang tidak boleh Hanin lakukan. Termasuk berada di terik matahari terlalu lama. Hanin mengaku, ia memiliki alergi terhadap sinar matahari yang akan membuat kulitnya memerah ketika terlalu lama terpapar matahari. Tidak sepenuhnya berbohong, karena memang demikian ketika Hanin berada di luar lapangan cukup lama.
Karena khawatir akan kondisi kulitnya yang memerah, Hanin memutuskan untuk mundur dari barisan dan mencari tempat berteduh tidak jauh dari tempat kelompoknya berada. Setidaknya Hanin masih bisa melihat dengan jelas kegiatan pada hari ini.
Hanin yang menepi sendirian akhirnya didatangi panitia orientasi. Sedikit dari mereka yang tahu kekurangan Hanin. Maka dari itu Hanin harus menjelaskan kembali hal-hal yang tidak perlu ia lakukan. Akhirnya, mereka panitia meminjamkan sebuah topi agar sinar matahari tidak langsung terkena kulit wajahnya.
"Terima kasih, Kak."
"Hanin, nanti kalau makin siang ke UKS aja ya, nggak papa nggak ikut acara full sampe selesai yang penting kulitmu nggak kenapa-kenapa."
Hanin hanya mengangguk saja. Memang benar ia tidak bisa mengikuti acara terakhir orientasi sampai selesai. Sedikit sedih sebenarnya karena ini adalah momennya sekali seumur hidup, tapi Hanin juga tidak bisa berbuat banyak. Ia juga tidak mau merusak wajahnya.
"Nin, wajahmu makin merah. Yuk, ke UKS aja." Nanda datang menghampiri Hanin yang terlihat kewalahan menyeka keringat.
Wajahnya memang semakin memerah. Punggung tangannya juga. Ah, Hanin merasa sangat tidak enak sekarang. Dan mau tidak mau ia harus kembali ke UKS.
***
Selama Hanin beristirahat di UKS, ia tidak sendiri. Ada beberapa orang yang lalu lalang selain petugas UKS. Rupanya cukup banyak siswa yang tumbang hari ini. Kejadian yang cukup membuat Hanin sadar, kalau mereka juga memiliki kekurangannya masing-masing. Tapi untuk Hanin berbeda. Ia merasa kekurangan yang ia miliki ini tidak normal dan sedikit memalukan. Apalagi jika semua orang tahu, semua rambut di tubuhnya ini berwarna putih. Orang-orang akan menganggap dirinya aneh. Untung saja teknologi make up sudah banyak beredar sekarang, Hanin hanya perlu mengubah tampilannya sedikit agar tidak terlalu terlihat kalau ia seorang albino.
Saat beristirahat, Hanin memejamkan mata sembari mendengarkan euforia dari lapangan. Sorak-sorai di sana terdengar begitu menyenangkan. Hanin yang tidak di sana saja dapat membayangkan bagaimana serunya. Ah, andai ia bisa bersekolah di sekolah formal dari dulu.
"Eh, lo pada tau nggak, sih? Hanin tuh keliatan aneh tau. Gue nggak menghakiminya ya, walaupun wajahnya bule abis, tapi kok dia anti banget sama yang namanya matahari. Hari pertama aja dia nggak ikut apel penutup, ikutnya pas pembuka aja. Enak banget."
"Alah dasar si Isti, udah jaman begini hobi bener ngomongin orang."
Percakapan itu membuat Hanin membuka matanya. Sedikit heran mengapa namanya disebut dalam pembicaraan mereka. Entah sengaja atau bagaimana Hanin ingin tahu lebih lanjut apa yang mereka bicarakan tentang dirinya.
"Tapi gue beneran bingung, deh. Anak itu beneran blasteran bukan sih? Kalau iya kan seharusnya dia demen dijemur yak, kek bule-bule."
"Kalau bukan bule apaan dong? Jelas lah orang Indo nggak bakal kayak dia mukanya."
"Mukanya putih sih, kulitnya juga. Nggak belang kek Lo pada. Tapi tetep aja aneh cuy, nggak Ding. Astaghfirullah Isti lu kalau ngomong astaga. Maaf ya guys, gue kadang kalau suka nggak srek sama sesuatu ngomongnya berlebihan. Ganti topik dah ganti topik, bahaya takutnya gue nyebar fitnah."
Dan selebihnya, mereka benar-benar mengganti topik. Percakapan itu jelas membuat Hanin terbungkam. Ia kira penampilannya yang ia ubah sedemikian rupa dapat benar-benar menutupi kekurangan yang ia punya. Warna matanya dan sengaja tidak Hanin tutupi dengan softlens belum cukup meyakinkan mereka kalau Hanin benar seperti yang mereka kira.
Hanin memang berbohong dan berharap kalau mereka mempercayainya. Hanin tidak ingin identitasnya sebagai manusia albino terungkap begitu saja. Mereka pasti akan menjauhinya dan menganggap Hanin adalah manusia paling aneh sedunia.
Wah, benar-benar. Ucapan siswi yang bernama Isti dari benar-benar mengganggu pikiran Hanin. Bagaimana kalau misalnya mereka percaya kalau Hanin bukan blasteran. Atau identitasnya sebagai manusia albino akan terungkap lalu semua yang ia mimpikan hancur begitu saja.
Hanin belum siap. Tapi sepertinya ia harus siap mulai dari sekarang. Tidak mungkin Hanin berhenti sekolah ketika kebenaran itu terungkap. Ia sudah berjanji pada orang tuanya untuk menamatkan sekolah formal pertamanya ini. Hanin ingin lulus sekolah dan menjalani apa yang tidak pernah ia jalani sebelum ini.
Membayangkan semua itu hancur, jujur Hanin sendiri tidak siap. Ia tahu ini salah, seharusnya Hanin jujur pada mereka sejak awal kalau ia berbeda dari mereka. Harusnya Hanin bersiap untuk tidak memiliki teman dan menaruh harapan apapun nantinya. Ah, banyak sekali kata seharusnya dan pengandaian di kepala Hanin sekarang.
Ucapan itu, akan terus terngiang-ngiang hingga akhirnya kebenaran pun terungkap.
A/N
Bab dua updateee.
03/03/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Gift on the Pile of Snow ✔️
Teen Fiction(SELESAI) Hanindya Pertiwi seorang gadis pengidap albino ingin sekali memiliki kenangan indah selama bersekolah di sekolah formal. Mengetahui kekurangannya, semua orang menjauhi Hanin, tidak ada yang namanya kenangan indah selama ia bersekolah. Satu...