Angkara Sabiru, bocah laki laki berusia 13 tahun itu berdiri menatap sebuah pas foto berlapis bingkai di sebelah jendela kamarnya tanpa berkedip.
Dalam foto itu terdapat dua orang yang sama sama sangat menyukai hujan. Senyum dari kedua wajah bahagia itu seolah menular untuk Angkara.
Dengan berbalut pakaian sederhana, seorang wanita paruh baya memeluk Angkara kecil. Foto itu tampak buram dan sedikit usang sebab jangka waktu yang lumayan lama dari masa sekarang dan masa saat foto tersebut di ambil.
Satu satunya foto Angkara bersama Anisa-- sang Ibu. Foto tersebut di ambil oleh majikannya pada saat Angkara berusia 5 tahun.
Sudah 8 tahun berlalu, senyum Angkara luntur.
Ia merindukan Ibunya.
Menatap ke luar jendela, hujan akan turun. Angkara-- dirinya sungguh menyukai hujan.
Suara dobrakan pintu yang terdengar keras mengejutkan Angkara. Ia berbalik mendapati, Samuel-- anak ke empat tuan Darsa baru saja menendang pintu kamarnya.
"Woi! Buatin minum buat gue sama temen-temen gue cepetan! Dipanggil daritadi gak nyaut-nyaut. Tuli lo?!"
Angkara tersenyum menanggapi Samuel yang menatap sinis ke arahnya. Ia mengekor di belakang tuan muda ke empatnya itu, saat Samuel berbelok menuju ruang tengah Angkara tetap berjalan lurus.
Ya, kamarnya dan beberapa kamar pelayan lain berada lurus dari arah dapur.
Tangan Angkara dengan lihai mengaduk sirup cocopandan yang telah dia campuri susu kental manis. Menata kedalam gelas lalu membawanya keluar menggunakan nampan, tak lupa beberapa jenis keripik turut di bawanya. Angkara sudah kelewat hapal siapa saja tamu yang datang, jika itu adalah teman teman tuan muda kembarnya-- di hitung 6 orang termasuk si kembar anak tuan Darsa tersebut.
Keenam remaja berusia 18 tahunan tersebut berkumpul sembari bercanda ria-- menggoda seorang perempuan yang berusia 3 tahun lebih muda dari mereka.
"Ish, bang Rifki usil banget. Jangan ganggu Camella, Camella lagi sibuk ini." Perempuan muda itu memberengut kesal, ia sedang membahas tugas kelompok dengan teman temannya di grup chat, namun teman abangnya itu sedari tadi tak henti hentinya memainkan rambutnya.
"Lagian, muka lo serius banget. Gue kan jadi gemes, jadi adek gue aja ya?" Pertanyaan yang terdengar seperti perintah itu membuat Farel-- kembaran Samuel menatap tajam ke arah temannya.
"Gak usah ngelantur, Camella itu adek gue."
"Yaelah, El. Orang cuma berjanda juga, serius amat idup lo." Rifki menatap malas ke arah teman sepernakalannya itu.
Kehadiran Angkara menghentikan kesibukan individu dari beberapa orang di ruang tamu. Anak itu berjongkok di bawah sementara yang lain sedang duduk angkuh di atas sofa. Dengan cekatan Angkara menyusun makanan dan minuman yang ia bawa ke atas meja.
"Silahkan di nikmati," Angkara berujar sopan sebelum kemudian pamit undur diri dari sana.
Gio menatap kearah si kembar yang diam diam memperhatikan Angkara mulai dari menyajikan minuman hingga pergi meninggalkan mereka.
Gio sudah berteman dengan si kembar semenjak kecil yang itu artinya, dia pun turut mengenal Angkara sejak kecil pula. Melihat Angkara yang begitu mendalami peran sebagai pelayan membuat hatinya sakit, tapi Gio sadar ia tak memiliki hak apapun untuk berbicara karena di rumah keluarga Darsa status Angkara memang hanyalah pelayan-- menggantikan Ibunya yang telah meninggal karena kecelakaan.
Melihat ke dalam mata si kembar, Gio yakin mereka merasakan hal yang sama. Yang tak Gio pahami sampai hari ini adalah, mengapa mereka berdua begitu buruk dalam memperlakukan Angkara padahal dulunya Gio sangat yakin baik Samuel maupun Farel, keduanya sangat menyayangi Angkara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...