"Kak, aku mohon tolong kembalikan kalung itu!"
Tubuh Arian membentur meja kala ia mencoba menghentikan Harsa yang berjalan tergesa ke arah balkon kamar dengan kalung batu Zamrud di genggaman tangannya. Pemuda yang lebih tua tampak menahan amarah, urat-urat tangannya menonjol keluar kala kepalan tangan semakin dipererat.
"BUAT APA LO MASIH NYIMPAN BENDA INI ARIAN?! LO SERIUS PENGEN BALIK SAMA MEREKA?!"
"ENGGAK!"
"TERUS INI APA?!" Dengan emosi yang meluap, Harsa melempar kencang kalung batu Zamrud itu ke atas lantai. Aksinya itu membuat tubuh Arian tersentak.
"LO ITU CUMA BAYI SAKIT-SAKITAN YANG DIURUS DENGAN PENUH KASIH SAYANG SAMA MAMA DAN PAPA." Harsa maju dan mendorong tubuh Arian hingga anak itu mundur beberapa langkah. "LO INGET GAK, SIH, SAMA PERJUANGAN MEREKA?!"
Arian terdiam di tempat. Ia menggeleng sembari menahan tubuh yang bergetar-- kilasan masa lalu saat ibunya memeluknya di tengah hujan terbayang di ingatan.
Perlahan, Arian memberanikan diri untuk mendongak.
"Kak ... tolong percaya sama aku! Sedikitpun aku gak pernah punya niatan buat kembali sama mereka ataupun ninggalin Kakak! Mereka udah buang aku, mereka sendiri yang menjual aku sama Mama, gak ada alasan buatku balik sama mereka setelah kematian Mama, Kak." Arian bersikeras meyakinkan. Namun, walau begitu, Harsa masih terlihat tak percaya. "Apalagi ... apalagi sejak aku tau mereka adalah pembunuh Mama. Walau aku harus mati sekalipun, aku akan lebih memilih kematian daripada bersama dengan mereka."
Kedua sorot mata yang berkilat amarah, terpancar dari netra Harsa. "Lalu buat apa lo masih nyimpan benda sialan itu?"
Arian melangkahkan kakinya, berjongkok guna meraih kalung yang memang sedari awal adalah miliknya. "Aku yakin, benda ini, bisa ku gunakan untuk membalas kematian Mama, Kak. Jadi, tolong jangan dibuang sampai aku menemukan caranya."
🍂🍂🍂
"Jadi, keluarga yang duduk di sana itu sebenarnya adalah ibu, ayah sama abang kandung kamu?"
Percakapan yang mengalun dari dua orang rekan kerja sebuah rumah makan, halus tak terdengar. Masing-masing netra dari kedua orang itu menatap lurus dengan datar.
Dari balik dinding yang membatasi antara area depan dan belakang, keduanya menghentikan sejenak aktivitas demi mengamati sebuah keluarga yang menjadi langganan rumah makan ini.
"Iya." Arian menatap mereka dengan wajahnya yang tak menampilkan ekspresi berarti, lalu menoleh pada teman barunya-- pelayan rumah makan tempatnya bekerja yang baru saja masuk bergabung selama satu bulan terakhir. "Aku tau karena kalung ini." Remaja itu mengeluarkan kalung bermata Zamrud dari balik seragam kerjanya.
Selama ini ia jarang ditempatkan di depan karena tugasnya berada di area dapur, Arian bersyukur karena hal itu mengurangi intraksinya dengan mereka.
Angkara melihatnya-- kalung dengan mata batu berwarna hijau Zamrud yang terlihat sangat indah. Berkilau dengan penuh sinar seri, memancarkan cahayanya tersendiri.
Berbeda dengan Angkara yang menganggap jika kalung tersebut indah. Di mata Arian sendiri, kalung ini adalah petaka.
Arian jelas mengingat hari di mana fakta menyakitkan menampar dirinya. Kenyataan bahwa ia bukan anak kandung dari sang ibunda. Kenyataan bahwa kalung ini akan membawa ia kembali ke pelukan keluarga kandungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...