09. Langkah Awal

215 31 3
                                    

Dengan baju seadanya yang ia bawa di dalam tas, Angkara menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di wilayah yang begitu jauh dari tempatnya tinggal selama ini.

Hembusan napas mengudara pelan, Angkara memaksakan senyuman-- setidaknya ia harus berterima kasih pada Firna karena mau berepot-repot menyediakan beberapa keperluan untuknya di dalam tas yang saat ini sedang ia gendong.

Dengan menggunakan maskapai Garuda Indonesia, seorang anak berusia 13 tahun bisa mendarat seorang diri di Bandara Syamsudinnoor International Airport, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Ia melangkahkan kaki di tengah hiruk pikuknya dunia, di mana orang-orang terlihat pulang pergi bersama dengan orang yang mereka cintai. Pelukan serta tangis haru tak jarang Angkara temui.

Angkara mengulur tasnya ke depan tubuh, lalu membuka resleting paling depan demi mengambil selembar kertas. Selembar kertas yang hanya bertuliskan,

Gazandra bin Syamsah, Martapura, Kalimantan selatan.

Bermodalkan sepenggal tulisan itu, bagaimana mungkin Angkara bisa dengan mudah mencari keberadaan keluarga dari ayahnya. Gengaman di tangan tanpa sadar menguat-- memberi arti rasa risau dan syarat keraguan. Angkara mendongak menatap awan putih yang bergerak di langit biru, mereka seakan berjalan di atas ketetapan sang maha kuasa. Terbukti bagaimana irama gerak itu tertangkap oleh mata.

Selama ini, yang Angkara ketahui adalah Anisa dimakamkan di desa sekitar keluarga mendiang suaminya-- bersampingan dengan kuburan suaminya tentunya.

Tapi siapa sangka, jika ternyata Firna mengatakan, Anisa masih hidup dan dia memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya.

Sebenarnya Angkara tak memiliki tujuan yang jelas, apa yang akan ia lakukan setelah berhasil bertemu dengan Anisa, apalagi mengingat selama ini-- wanita yang telah ia anggap ibu itupun menutupi keberadaan dirinya dengan kematian. Wanita itu seakan tak pernah memiliki niat untuk kembali menemui Angkara.

Menyimpan satu-satunya petunjuk yang ia punya di saku jaket, Angkara berjalan perlahan ke luar bandara. Barulah di sadari oleh bocah itu jika tempat ini sangat luas, apalagi pemandangan di luar bandara-- tak terlihat jalan raya.

Dengan tubuhnya yang kecil, ia seperti anak hilang di tengah lalu lalang orang dewasa.

Karena rasa takut tersesat, Angkara memberanikan diri menghampiri seorang pemuda yang duduk dengan nyaman di atas motor sport-- tampak sedang menunggu seseorang.

"SI BUNGUL! AKU MAKA BELA-BELA MEAMBILI, TULAK SEKALINYA INYA LAWAN GOJEK! MELELAPAHI AKU JA!"

Langkah kaki Angkara sejenak tercekat, ia meneguk saliva sebab rasa segan. Tampaknya pemuda itu sedang dalam kondisi mood yang buruk walau ia sendiripun tak mengerti apa yang baru saja si pemuda teriakan.

"LIAT JA KENA! TETAMU KU HINYIK PALANYA TU, BEBUNGULAN LALU JADI URANG, BEPADAH MINTA AMBILI."

Pemuda Banjar itu mengusak rambutnya kesal lalu memasang helm full face ke kepalanya dengan gerakan kasar.

Melihat orang di depannya bersiap melajukan motor, Angkara segera membawa kaki pendeknya tuk berlari. Ditariknya pelan ujung jaket pemuda itu, hingga si empu melirik ke bawah. Alisnya terangkat, anak amang siapa yang tiba tiba mendatanginya?

"Napa nah, ding?!" Tanya pemuda itu sedikit ketus, ia masih dalam suasana hati yang buruk saat ini.

"Maaf Kak, aku gak ngerti Kakak ngomong apa."

"Bjir, anjaaayyy, bahasa Indonesia gak tuh. Anak mana ikam? Urang Jakarta, kah?"

Angkara mengerjapkan matanya sebanyak dua kali, sungguh... ia tak memahami kosa kata asing yang baru saja pemuda di depannya ini lantunkan. Apalagi cara berbicara dan logat yang terdengar seperti seorang rapper yang membawakan lagu. Datar dan cepat.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang