17. Petunjuk Dari Tuhan

2.4K 285 22
                                    

Menjadikan anak yang menyelamatkan maling dompetnya sebagai seorang babu.

Ya, itulah yang dipikirkan Jake semalam. Tapi ... apa ini?

"Nah, mie ayam extra daging ini buat Kakak-Kakak baju merah yang duduk di pojok sana. Tolong anterin ya, Kak Jake."

Lihatlah senyum manis dan kedipan sebelah mata itu. Jake rasanya ingin menyiramkan kuah mie ayam ini sekarang juga ke wajah Angkara yang malah tertawa.

Itu semua berawal, saat ia akan mulai menganggu Angkara. Namun, tergagalkan karena sosok gadis bernama Arumi-- kakak tingkat pujaan hatinya, yang sialnya ternyata lumayan dekat dengan Angkara. Menjadikan ia yang tadinya berniat menganggu, kini, justru beralibi ingin membantu.

Angkara tentu menyadari. Ia bukan anak yang bodoh ataupun polos. Jadi, kesempatan menguntungkan ini, bukankah baiknya sedikit dirinya nikmati?

Berjam-jam lamanya, usai mengikuti kelas-- kegiatan Jake adalah bolak-balik mengantarkan pesanan. Kedua temannya hanya menertawai nasibnya sembari memakan keripik di pojok kantin.

Dan, ketika waktu telah menunjukkan pukul dua siang, selesailah sudah jam kerja Angkara. Ia menghela napas lega, karena hari ini mie ayam mereka kembali terjual habis.

Wajah masam Jake yang meninggalkan kantin membuat Angkara tersenyum maklum. Ia akan mengucapkan terima kasih nanti.

"Makasih, ya, nak Kara."

Angkara berbalik badan. Sang Ibu dari Arumi mendekatinya sembari tersenyum. Lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru sebagai upah Angkara membantu dirinya hari ini.

Angkara tersenyum manis, ia menyambut uang itu dengan raut suka cita sembari balas mengucapkan kata terima kasih pula.

Setelah berpamitan, Angkara menjangkau jaket miliknya dan melangkah ke luar area kantin. Hari yang cukup melelahkan seperti biasa. Tak apa, Angkara mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Angkara berbelok sejenak ke tepi, mendekati wastafe dan mencuci muka. Iya, Angkara tau bukan hal bagus mencuci muka dalam keadaan panas matahari seperti ini, namun, dirinya perlu menyegarkan diri.

Tepat di atas terangnya sinar matahari. Angkara menyisir jalanan. Ia berjalan kaki di atas trotoar. Saat di persimpangan dan berbelok, matanya menyipit kala melihat seorang pemuda berkeperawakan yang ia kenal sedang mendorong motor sport merahnya, membelah pinggir jalan beraspal.

Angkara berlari kecil menghampiri. "Kak Jake!" tegurnya kala dirinya sudah semakin dekat.

Jake menoleh. Matanya melirik Angkara sinis. "Apa?!" Ia menyahut dengan ketus dan begitu tidak santainya.

Angkara tak melanjutkan pertanyaannya, kala dapat dilihat sendiri oleh anak itu jika ban belakang motor Jake kempes.

"Bengkel masih jauh ya, Kak?" Angkara bertanya, pasalnya ia belum menghapal segala macam tempat yang berada di area ini.

Jake tak menjawab. Angkara semakin gencar bertanya, "Kalo bengkelnya masih jauh, tinggal aja motornya di sini, Kak. Kakak tungguin. Biar aku yang nyamperin tukang tambel bannya, minta dia buat ke sini, daripada Kakak dorong-dorong berat gitu."

"Bacot! Gak ada bengkel di sekitar sini," sahut kesal Jake.

Angkara menutup rapat mulutnya. Tak lagi bersuara, namun, langkahnya tetap menyamai langkah Jake yang masih mendorong motor. Tak mendahului ataupun sebaliknya.

Hal itu semakin mengundang kekesalan Jake. Ayolah, kepalanya sudah panas karena matahari yang berjarak sejengkal di atas kepala, sekarang bocah menjengkelkan itu malah menambahkan dengan terus berada di sampingnya. Sungguh, Jake ingin mengamuk saja rasanya.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang