11. Kita Sama-Sama Manusia

3.6K 354 22
                                    

"Gimana kalo gue bilang. Kalo sebenarnya Angkara itu adalah adik kandung kalian?"

Tawa canggung sejenak mengudara dari dinginnya meja, lambat laun tawa itu semakin senyap saat pandangan Samuel dan Farel kini sepenuhnya terkunci pada wajah sendu Kanza.

"Lo bilang apa?"

"Gue bilang--"

"Jangan bercanda, anjing!"

Dalam sekali gerakan kasar, Samuel menggebrak meja. Kursi besi yang semula ia duduki, sekarang sudah terjungkal ke belakang. Sekali lagi, kelompok mereka menjadi pusat perhatian sampai-sampai pemilik angkringan harus turun tangan mencegah keributan yang berpotensi besar menganggu kenyamanan pelanggan lainnya.

Samuel menatap nanar penuh ketidakpercayaan pada Kanza, bahkan ketika tubuhnya diseret keluar oleh Gio, sulit rasanya untuk memalingkan pandangan dari temannya itu. Pasalnya ekspresi Kanza sungguh mengundang gurat rasa gelisah yang bergemuruh di hati. Tak tahukah ia, apa yang baru saja dirinya ucapkan, adalah hal sensitif yang sungguh tak pernah terlintas di benak kembar Darsa?

Farel menjatuhkan diri, duduk menunduk di trotoar dengan tangan yang memegangi kepala, kedua matanya terbuka lebar. Kini mereka sudah berada tepat di mana motor mereka terparkir. Alih-alih beranjak pergi, kelima pemuda itu kini memilih menepi dari kesibukan dunia.

Jangan paksa Farel untuk percaya. Ia tertawa remeh lalu mengusap kasar wajahnya, jelas sekali amarahnya sedang menguar, terbukti dari rahang sang pemuda yang mengeras.

"Atas dasar apa lo berandai-andai kek gitu." Tatap mata Farel menyorot tajam pada Kanza saat ia mendongak dan berucap dengan nada dingin.

Rifki sampai meneguk salivanya berat, aura di tempat ini sungguh terasa berat. Ia turut menatap ke arah Kanza-- meminta penjelasan.

Pandangan Kanza kian menyendu walau bibirnya melukiskan senyum. Binar kaca di matanya terlihat jelas. Demi Tuhan, hatinya sungguh terasa sakit, bagaimana bisa anak semanis Angkara harus mengalami hal seperti ini di dalam hidupnya.

Dengan kedua tangan yang terkepal erat di sisi tubuh, Kanza berdesis tajam. "Gue gak tau, bagi Kara sendiri, mana yang lebih baik antara dia berandai-andai atau memang faktanya seperti itu."

"Kakak sepupu gue salah satu perawat yang nanganin Angkara, jelas banget dia lihat kalo ada orang yang mengaku sebagai Ibunya mendonorkan darahnya buat Angkara, lo tau siapa orang itu? Nyokap lo Farel," ungkap Kanza.

"Tapi kan gini bro, lo gak bisa narik kesimpulan-- siapa yang donorin darahnya buat Kara itu berarti Ibunya. Bisa aja kan, emang, Tante Firna waktu itu lagi panik, makanya spontan aja gitu ngaku kalo dia emaknya, biar prosedur pendonoran gak dipersulit sama pihak rumah sakit." Rifki mencoba memberitau segala bentuk kemungkinan yang ada di dalam kepalanya. Benar, hanya karena Firna mendonorkan darahnya untuk Angkara tak bisa ditarik suatu kesimpulan jika wanita itu adalah ibunya.

"Itu urusan keluarga kalian, silakan kalian cari tau sendiri. Bagi gue terlalu gak masuk akal, orang yang sedari dulu keliatan benci sama Kara tiba-tiba jadi orang paling panik tanpa sebab."

🍂🍂🍂

Pagi hari, saat kicau burung terdengar saling bersahutan juga bising hilir mudik kendaraan bergemuruh di telinga, mata indah yang terasa berat perlahan terbuka. Angkara-- sungguh merasakan perasaan lemas luar biasa. Wajahnya pucat, bagai tak ada aliran darah yang mengaliri.

Ia menggigil hebat, pandangan matanya berkunang. Rasa pening yang menghampiri, membuatnya tak kuasa membuka mata.

Perlahan, Angkara bangkit duduk dan bersandar.
Jika dirinya tetap berdiam diri meratapi kondisinya di sini maka bukan suatu hal yang tak mungkin jika ia akan mati membusuk tanpa diketahui oleh siapapun.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang