10. Tetes Air

2.9K 281 21
                                    

Angkara termenung menatap selembar kertas di genggaman tangannya. Satu nama dari salah seorang yang bahkan rupanya tak ia ketahui.

Embus angin bertiup dengan kencangnya saat tungkai kaki Angkara tiba di sebuah tepi jembatan. Pukul delapan malam, bukan waktu yang ramah untuk anak seusianya berkeliaran seorang diri.

Anggap saja kini Angkara merasa menyesal karena telah menolak tawaran pasangan tua di warung bakso yang ia hampiri tadi sore-- tawaran untuk menginap di rumah sedehana namun hangat milik mereka, sebab kini dirinya malah luntang-lantung di jalanan tanpa tunjuan. Badannya kian terasa lemas dan berat. Angkara merapalkan ribuan doa-- semoga di tengah rasa takutnya, ia akan selalu baik-baik saja.

Menggosokan kedua telapak tangan setidaknya dapat memberikan Angkara sedikit rasa hangat, ia kembali menyimpan lembar kertas lecek yang sedari tadi dirinya pegang ke dalam saku jaket.

Terus berjalan ke tepian jembatan membawa Angkara ke sebuah sudut yang terasa begitu hampa di tengah gemerlapnya dunia malam, tempat itu adalah bagian bawah dari jembatan yang nampak cantik.

Duduk bersandar di dindingnya yang dipenuhi coretan, ia menatap kosong pada aliran air-- air tenang di bawah sinar cahaya bulan. Kekosongan kian mengisi hati, Angkara mulai mempertanyakan alasannya masih tetap diberi kesempatan untuk hidup hingga saat ini.

"Capek... harus kemana lagi ini, Ya Tuhan?"     

"Gak ada tujuan, uang juga gak punya banyak. Kayaknya mulai besok aku harus nyari kerja kalo gak mau mati sia-sia di tempat ini."

Angkara terus bergumam, setiap kalimatnya terbang terbawa angin tanpa meninggalkan jejak yang dapat dijumpai oleh siapapun.

"Ibu... tolong jangan kecewain Kara ya, Nyonya Firna boleh jahat, Ibu jangan."

🍂🍂🍂

"Gue kenapa sebenarnya?"

Sejak berita hilangnya Angkara sampai ke telinganya, pemuda itu merasa tak pernah bisa fokus dalam melakukan hal apapun. Seperti saat ini, desain untuk proyek besar yang sedang ia lakukan nampak terbengkalai. Otaknya mengalami kebuntuan, duduk berlama-lama di depan laptop tak urung membuat pekerjaannya selesai.

Menyugar rambutnya ke belakang, Ryan menggeram kesal lalu melampiaskannya dengan cara memukul kasar meja. Suara yang dihasilkan oleh tinjuan tangannya itu tampaknya mencapai luar kamar, di mana terdapat keberadaan Samuel yang terlihat berpakaian seperti akan ke luar rumah.

Remaja berusia 18 tahun itu menghentikan langkah sejenak lalu menoleh pada pintu kamar saudaranya yang memang sedikit terbuka. Ditatapnya dengan datar pemandangan tak menarik itu sebelum kemudian kembali berjalan begitu tak acuhnya.

"Mau kemana?"

Suara seorang wanita terdengar menyeru saat Samuel tiba di anak tangga terakhir. Samuel tentu mengenali suara siapa itu, dia adalah Camella-- adik angkatnnya.

Gadis itu tampak bersandar nyaman pada sandaran sofa sembari mengoleskan pewarna kuku di kuku panjangnya.

"Kalo mau makan, makan aja Mel. Gak perlu nunggu siapapun."

Hening.

Tak terdengar sahutan apapun dari gadis itu. Langkah Samuel kembali terpacu, dan hingga saat dirinya hampir mencapai pintu keluar, suara Camella kembali terdengar lirih.

"Kenapa keluarga kita jadi kek gini hanya karena anak pelayan itu?"

Samuel terdiam, ada rasa gemuruh samar di dalam hatinya saat Camella menyebutkan kata anak pelayan.

"Apa pentingnya juga kalian nyari-nyari dia? Dia pergi atas keinginannya sendiri--"

"Karena itu, gue mau tau, apa alasan dia tiba-tiba ngilang tanpa jejak kek gini."

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang