16. Mengikuti Arah Mata Angin

2.3K 234 9
                                    

Matahari tepat di puncak langit, sinarnya menembus daun-daun yang meranggas. Menimbulkan bayangan pendek yang tajam di atas aspal panas. Udara terasa berat dan gerah, membuat keringat mudah membasahi punggung meski hanya berdiri diam.

Suara kendaraan berbaur dengan derit serangga di kejauhan, seolah melodi monoton siang bolong. Di kejauhan, ada yang berjalan sambil menyipitkan mata, berusaha berlindung di bawah bayang tipis pohon yang tak banyak membantu menahan sengatan matahari.

Tak lah berbeda, Angkara pun menuntun Zarva ke arah tempat teduh juga sunyi. Mereka menjadi pusat perhatian sebab isak tangis tak bersuara anak kecil yang terdengar pilu.

"Zarva ... udah dong, nangisnya. Gimana kalo Kakak malah dikira apa-apain kamu." Angkara memohon dengan wajah melasnya. Di pinggiran ruko kosong dalam sebuah gang inilah tempat kedua anak adam itu menyinggahkan diri, tak banyak lalu lalang kendaraan di area ini-- hanya terhitung satu atau dua di persetiap menitnya.

"Mereka semua jahat ...." Zarva menggeretak. Ia merasakan emosi yang bercampur aduk. Ketakutan juga kegelisahan.

"Ibu ... mau ibu, Zarva mau ibu ...."

Pergerakan Angkara yang mencoba menenangkan Zarva terhenti, ia menatap sendu pada seorang bocah yang masih sibuk mengucek kedua matanya yang dipenuhi linang air dengan kedua belah tangan.

"Capek hidup gak ada ibu, tuh, Kak. Zarva gak bisa. Zarva gak mau kayak gini, Zarva mau kayak dulu lagi pas ada ibu ..." Sesak. Sungguh, dada Angkara terasa begitu sesak saat mendengar tutur kata berisi keluhan yang terucap oleh anak sekecil Zarva. Bocah dengan baju lusuh juga bercompang-campingnya itu mengangkat pandangan-- matanya yang memerah menatap penuh harap pada Angkara. "Zarva mau ibu, Kak Kara ... dulu kalo Zarva capek, Zarva pulangnya ke ibu. Sekarang gak ada ibu lagi, Zarva capek sendirian."

Perkataan si bocah tak terdengar jelas. Ia berusaha tuk terus berucap, di sela tangisnya.

"Dulu,  kerjaan Zarva kerasa capek banget. Zarva jualan kue, Kak, dari area pasar sampai pelabuhan, jalan kaki ... jauh ...." Anak itu bercerita dengan napasnya yang tersendat. "Tapi pas pulang ada ibu. Ibu masak enak, kami makan sama-sama sambil ketawa. Terus kaki aku selalu dipijitin sama ibu pas aku ngeluh capek. Ibu gak tega, dia minta aku buat berheti, tapi kalo aku berhenti, aku takut gak bisa bayar spp sekolah."

Hati Zarva sungguh merasa sakit kala menyadari berapa banyak hal sudah di dalam hidupnya yang berakhir sia-sia. Tempo hari, dirinya mati-matian bekerja untuk tetap bisa bersekolah. Sedangkan hari ini? Jangankan bersekolah, ia mati-matian bekerja tujuannya hanyalah agar tetap hidup.

Bocah kecil itu berjongkok, meringkuk ke dinding-- menekuk lutut seraya menekan kedua belah kelopak matanya dengan telapak tangan. Tubuhnya ringkih, kurus tak terawat. Angkara berjongkok di hadapannya, membenarkan kerah kaos berlubang Zarva yang kedodoran di leher.

"Kenapa Zarva ngambil dompet Kakak tadi?" Angkara mengeraskan hati, walau kaca dalam netra indahnya sudah cukup membuktikan jika sebenarnya ia pun tak tega. Tindakan Zarva salah. Dan ia sebagai seseorang yang mengenalnya, jelas harus menegur.

Zarva diam tak menjawab. Anak itu masih tetap dalam posisi. Isakkan kecil dari tangisnya masihlah terdengar.

"Zarva tau 'kan, kalo apa yang Zarva lakukan itu salah?"

"Uang ataupun dompet yang Zarva ambil, itu bukan milik Zarva," lanjut Angkara dengan nada selembut mungkin.

"Tapi Tuhan gak adil!" Zarva tanpa sadar berteriak.  Setelah sejenak mulai tenang, saat ini emosi anak itu kembali naik. Ia lagi-lagi terisak dengan air mata yang terus mengalir dari kedua mata merahnya.

"Kakak tau gak gimana rasanya?" Suara yang melengking-- tercekat di tenggorokan. "Aku terakhir makan siang kemaren, hari ini aku belum makan apa-apa. Aku lapar, badanku lemas. Uang hasil mulung ku hilang." Nada kekecewaan tergambar jelas pada gema suara juga raut wajah.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang