"Firna, sekarang coba jawab aku dengan jujur. Apa yang ngebuat kamu jadi seengak suka itu sama Kara?"
Darsa berhasil menenangkan Firna, ia membawa istrinya ke dalam kamar. Memeluk tubuh sang istri dan bertanya dengan lembut.
Firna mulai terisak. "Dia itu cuma anak pelayan, mas. Aku gak terima liat kalian memperlakukan anak itu seolah dia bagian dari keluarga ini!"
Darsa bungkam. Ia mengelus punggung istrinya. Pikiran Darsa terbang bersama ingatan masa lalu, detik waktu seakan mencekik di tengah heningnya.
"Di luar statusnya, apa yang membuat kamu tidak bisa meneriman Kara, Firna? Dia lebih dari sekedar anak pelayan, aku yakin kamu paham tentang hal itu."
Saat sanubari di rengkuh, kehangatan yang terasa mulai mendingin. Apa yang membuat noda hitam berada di titik kalbu? Andai waktu memberi pilihan bukankah semua orang menginginkan hidup yang lebih baik.
"Kara dia bukan orang asing bagi kita. Dia anak dari Gazandra dan Anisa-- bukankah kita sudah menganggap Gazandra sebagai adik kita. Anisa pun banyak berperan dalam tubuh kembang putra putra kita-- dia membantumu mengurus bocah bocah kecil yang umurnya tak terpaut jauh. Aku percaya, jika hanya karena status Kara sebagai anak dari pelayan bukanlah alasan kamu menolak dia sampai seperti ini."
"Mas.." ringkih tubuhnya bergetar, Firna merasa dadanya seakan di remas.
"Pokoknya selamanya anakku cuma William, Ryan, Kelvin, kembar dan Camella. Aku gak mau Kara turut menjadi bagian dari kita. Tolong..."
🍂🍂🍂
Kara merenung di dalam kelas, mengabaikan guru laki laki berkacamata yang sedang mengoceh tentang sejarah. Pikirannya berkabut, kala mengingat Firna yang sepertinya begitu membencinya.
Pagi ini, ia di antar ke sekolah oleh Kelvin. Berbeda dari hari hari sebelumnya, hari ini ia seakan tidak bisa menolak apalagi melihat wajah tuan muda ketiganya itu-- seperti akan membunuh siapa saja yang berani mengganggu.
Hari hari di jalaninya dengan kegiatan yang sama. Mendengarkan guru berbicara di depan kelas, memakan bekal sendirian saat istrirahat dan pulang berjalan kaki sembari menendang kerikil.
Berharap menemukan makna atas setiap kejadian yang di alaminya Angkara mendongak menatap awan yang bergerak di langit biru.
"Ibu, Ayah.. kalian udah bahagia kan di surga. Kenapa kalian gak pernah datang ke mimpi Kara? Kara gak tau wajah Ayah gimana tapi entah kenapa rasanya Kara rindu banget sama Ayah. Ayah, Ibu di sana enak gak? Kalo di sini enggak. Kenapa kalian pergi tanpa Kara, Kara sendirian. Kara juga mau hidup di tengah tengah keluarga. Kenapa kalian membawa Kara ke dunia ini kalo setelahnya ninggalin Kara sendirian?"
Angkara merasakan ketenangan saat menatap langit dalam waktu yang lama. Deru angin membelai halus wajahnya, membawa helai rambut hitamnya turut melambai seakan berniat tuk memberikan elusan lembut pada seorang anak yang selalu menatap iril kehidupan orang orang.
"Kara anak baik kok, tapi kenapa ya nyonya Firna keliatan benci banget sama Kara?" Pertanyaan mengalun begitu saja, lalu menghilang di telan waktu tanpa meninggalkan jawaban.
Kara terus berjalan hingga kaki pendeknya membawa ia ke sebuah tempat luas yang beralaskan rumput hijau. Angin bertiup kencang, membuat rumput rumput yang tersapu angin berkilau. Angkara duduk di tengah lapangan kosong, sorot matanya menatap lurus tanpa ekspresi, membiarkan hembus angin menyejukkan badannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...