Tin... Tin... Tin...
Suara menegangkan yang bersumber dari sebuah alat bernama Elektrokardiogram tak terjangkau indra pendengaran Angkara. Di ambang kesadaran dirinya menatap sekeliling dengan penglihatan kabur, bagaimana terlihat sibuknya para perawat dan juga dokter mengurus badannya yang terasa kebas hingga mati rasa.
Di sela penglihatannya yang semakin memburam, dapat disadari olehnya jika Firna menerobos ruang IGD dengan kondisi kacau.
Wanita itu maju mendekati dokter lalu mencengkram erat kerah dokter yang bertugas untuk menangani Angkara. Laporan perawat beberapa saat lalu tentang Angkara yang kekurangan banyak sekali darah membuat dirinya tak bisa merasa tenang, apalagi saat ini mereka bukan berada di rumah sakit besar-- Firna hanya khawatir, khawatir apabila rumah sakit ini tak memiliki stok darah untuk...
...untuk putranya.
"Aku bisa mendonorkan darahku untuknya!"
Angkara jelas sadar jika Firna terlihat sedang berteriak di depan wajah tenaga medis tersebut. Tapi apa yang wanita itu ucapkan jelas tak bisa ia ketahui, karena saat ini alat bantu dengar untuk seorang penderita Conductive hearing loss atau tuli konduktif seperti dirinya, tak terpasang di telinga.
Pandangan Angkara kian memburam, gelap perlahan menyelimuti-- adegan terakhir yang ia lihat adalah ketika Darsa juga turut masuk ke dalam ruang IGD dan berusaha membawa Firna keluar.
🍂🍂🍂
Seekor burung hinggap di sebuah batang pohon, usai merasa lelah setelah melewati perjalanan panjang. Menggigiti sayapnya dengan paruh, burung berwarna putih itu perlahan mendongak ke atas langit biru. Sang pencipta selalu mengawasi pergerakkannya.Hari-hari berat terlewatkan dengan masa waktu yang mengalun begitu lambat. Tepat di minggu kedua, Angkara membuka matanya setelah berhasil melewati masa kritis yang begitu menakutkan.
Dirinya merasa begitu hangat berada di tengah keluarga dari tuan Darsa. Mereka memperlakukan juga merawatnya dengan sangat baik. Kesabaran membuahkan hasil, siang berganti malam, matahari kembali naik menggantikan tugas rembulan. Kondisi Angkara semakin membaik, kini ia sudah dipindahkan ke dalam ruang rawat inap.
Hawa dingin menyentuh kulit, di balik tirai jendela, cahaya matahari bersinar menembus kain tipis berwarna putih yang kini melambai karena deru angin dari jendela yang terbuka lebar.
Angkara duduk di atas brankar, bersandar dengan nyaman sembari menoleh ke samping-- menatap sayu pada tirai jendela yang melambai-lambai indah.
Alat bantu dengar terpasang apik di telinganya. Setiap pagi memang ia akan selalu seorang diri. Darsa dan para putranya terpaksa harus menjalani aktivitas mereka masing-masing, mereka hanya bisa datang ke rumah sakit usai menyelesaikan urusan pekerjaan maupun sekolah. Harapan Darsa sebenarnya ada pada Firna, namun wanita itu terlalu enggan menemui Angkara. Widia dan Nores pun sudah kembali ke Bandung semalam.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan senyum ramah yang tertutupi masker oleh seorang dokter dan juga perawat yang membawa keranjang berisi berbagai macam alat pemeriksaan, salah satunya adalah Tensimeter.
"Ada keluhan?"
Angkara menggeleng.
"Kita tensi dulu yaaa." Perawat wanita berujar dengan nada ramah. Melakukan serangkaian pemeriksaan untuk pasien anak di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...