07. Deru napas

2.7K 292 7
                                    

Denting sendok dan garpu beradu di atas mangkok. Suasana sangat sepi senyap usai Angkara meninggalkan kelima tuan mudanya menikmati hasil karya tangan kecilnya.

"Dari dulu, rasa mie ayam buatannya gak pernah berubah," gumam Samuel.

"Kalian penasaran gak sih sama keluarganya Kara? Dia masih punya Kakek Nenek dari pihak Ayah kan?"

Pertanyaan Samuel membuat ia menjadi pusat perhatian.

William mengaduk makanannya, pikirannya menerawang masa lalu.

"Yang gue tau, orang tua Ayahnya Kara nolak kehadiran dia dulu, cuma sebatas itu. Makanya Ibunya balik lagi kesini," ujar William.

Dari balik dinding tipis kamarnya Angkara diam-diam menangis. Dada yang terasa sesak bagai terhimpit benda berat.

Dalam beberapa hari terakhir ia merasa senang kala bisa merasakan sosok keluarga dari dalam diri kelima putra majikannya. Namun Angkara harus sadar, jika tak seharusnya ia terlena, posisinya di rumah ini hanya seorang pelayan-- tak lebih. Tak seharusnya ia menggantikan posisi Camella.

Menghapus air mata, remaja itu menarik napas dalam lalu menghembuskannya berat.

Pintu kamar diketuk, tanpa berlama-lama Angkara membukakan pintu untuk siapa saja yang berada di baliknya.

"Tuan muda Farel? Ada apa?"

"Ikut gue keluar, gue mau beli cemilan. Lo babu gue, jangan nolak!" Nada yang terdengar ketus itu membuat Angkara tersenyum tipis.

"Tapi saya beresin meja makan dulu boleh?"

"Gak usah, biar yang lain aja sekalian nyuci piringnya."

"Tapi--"

"Banyak bacot banget sih lo, nurut aja kenapa! Gue juga ogah ngebawa lo, kalo gak inget bakal banyak barang bawaan."

Tangan Angkara ditarik kasar, beberapa kali bocah itu tersandung kakinya sendiri karena kesulitan mengikuti langkah lebar Farel.

"Farel! Gak usah kasar bisa gak sih?" Suara Samuel terdengar menegur.

Berdecak, Farel melepaskan cengkramannya. "Nih bocah lelet banget." Dengan suasana hati yang buruk Farel melangkah lebih dulu, Angkara mengejarnya dengan panik.

"Ma-maaf."

Angkara bersuara saat berhasil mencapai langkah Farel.

"SEHARI AJA LO GAK MINTA MAAF, BISA GAK SIH?! MUAK GUE DENGERNYA!"

Angkara menunduk takut, posisinya jadi serba salah.

Mengeluarkan motor miliknya dari garasi, Farel bersuara dengan nada datar.

"Naik!"

Mengangguk, tak ingin membuat Farel kembali marah, Angkara segera mendekati pemuda yang lebih tua. Tapi motor Farel terlalu tinggi untuk ia naiki, karena itu Angkara sedikit kesusahan.

"Pendek!"

Menstandarkan motor, Farel turun lalu mengangkat tubuh Angkara agar bisa duduk dengan nyaman di atas motor sport-nya, tak sampai di sana pemuda itu juga memasangkan helm ke kepala Angkara sedikit kasar-- membuat si bocah tersentak.

Memacu kuda besi tersebut membelah jalanan beraspal, beberapa menit perjalanan membawa keduanya ke sebuah minimarket.

Farel turun lebih dulu, kemudian menurunkan si pendek Angkara dari atas motornya.

Menggandeng tangan Angkara, kedua laki laki itu memasuki minimarket. Mempererat gengaman, di ujung ekor mata Farel melirik tangan keduanya yang bertaut. Senyum tipis terukir menyadari betapa pas-nya tangan mungil Angkara berada di gengaman tangannya yang jauh lebih besar.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang