Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi hari ini dan di kemudian hari. Tugas manusia hanyalah percaya dan yakin pada Tuhannya, karena sejatinya tak ada kehidupan yang abadi.
Angkara mengelap meja makan usai keluarga majikannya selesai melaksanakan sarapan bersama. Dari yang Angkara dengar, mereka akan melakukan perjalanan ke pantai mengingat jika hari ini tanggal merah dan semua anggota keluarga tak memiliki kegiatan apapun di luar.
Dan di saat ini masing masing anggota keluarga sedang mengemas barang benda yang akan mereka bawa, di luar ruangan Darsa dan pak Tresno sedang memanaskan mobil.
Mereka akan berangkat dengan 3 mobil, perjalanan dari Jakarta utara menuju Pantai Pasir Perawan mungkin akan memakan waktu sekitar 2 jam lebih, karena jarak tempuh yang tergolong singkat itu, Camella merasa tak masalah jika berias lebih awal. Si gadis muda terlihat heboh dengan style ala remaja, menghampiri keluarganya satu persatu dan meminta pujian dari mereka akan penampilannya.
Darsa menghampiri Angkara yang memperhatikan mereka dari jauh. Kedatangan Darsa menyita perhatian seorang anak yang sedari tadi terus di tatap oleh Nores.
"Yakin gak mau ikut?" Darsa sudah beberapa kali membujuk Angkara tuk ikut tapi anak itu selalu menolak dengan alasan tak mau menganggu acara keluarga mereka. Alasan Angkara yang terdengar mengesalkan itu sukses membuat Samuel yang mendengarnya menatap datar ke arah Angkara.
Angkara tersenyum lalu mengangguk dengan yakin. "Makasih ya tuan karena berbaik hati sama Kara, tapi Kara mau istirahat di rumah aja," tolaknya dengan halus.
Darsa menghela napasnya pasrah. "Baiklah, jaga dirimu baik baik. Kami mungkin akan kembali cukup malam."
🍂🍂🍂
Angkara mengantarkan keluarga majikannya pergi dengan senyum yang mengembang. Rumah terasa hening saat Angkara berbalik, hanya ada dia dan Bu Asih yang sedang membersihkan lantai dua.
Angkara menghampiri Bu Asih lalu bertanya dengan suara lembut.
"Ada yang bisa Kara bantu, Bu?"
Asih hanya sedikit melirik lalu kembali melanjutkan pekerjaaannya.
"Gak usah, bentar lagi juga beres. Habis ini saya mau langsung pulang, anak saya sakit. Tadi udah minta ijin sama nyonya gak nyelesain kerjaan hari ini. Kamu kunci rumah, jangan biarin orang lain yang gak punya kepentingan masuk."
Walaupun nada bicara Bu Asih terkesan ketus, Angkara dapat menangkap nasehat di dalamnya. Bu Asih adalah wanita yang baik, bertahun tahun berkerja bersama beliau, cukup membuat Angkara mengenal sosok Bu Asih yang blak blakan ketika berbicara.
"Iya, Bu Asih. Kalo gitu Angkara ke kamar ya."
Tanpa menunggu jawaban dari Asih yang tampak tak ingin menjawab, Angkara kembali ke lantai satu dan masuk ke dalam kamarnya yang berada di dapur.
Lemari kayu milik Angkara yang memang tak tertutup rapat terbuka lebar sebab hembusan kuat dari angin yang berasal dari jendela. Lemari itu cukup tua sehingga sulit jika ingin menutupnya dengan benar. Angkara berjalan ke depan jendela, cuaca di luar tidak mendung tapi juga tidak cerah, namun, angin yang bertiup sangat kencang. Angkara sedikit menyipitkan mata saat ia rasa angin yang berhembus membawa kotoran dan membuat matanya perih.
Angkara memalingkan wajah, ia berjalan ingin menutup lemari pakaiannya yang terbuka. Pandangannya tanpa sengaja menyorot sebuah kota yang berada di penyimpanan paling atas. Angkara tidak mengetahui apa isi dari kotak itu, yang Angkara tau kotak itu tergembok dan Angkara tidak mengetahui di mana kuncinya.
Angkara menebak, kotak itu adalah milik Ibunya-- tapi seingat dirinya dulu Anisa pernah mengatakan jika benda di dalam kotak itu adalah miliknya. Angkara kecil tentu penasaran dan meminta sang Ibu untuk memperlihatkan isi benda itu padanya, tapi Anisa berkata ia telah kehilangan kuncinya, tentu saja hal itu membuat Angkara kecil merasa kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...