12. Senja yang luruh

2.7K 238 20
                                    

"A-abang?"

Angkara berbalik, memperhatikan raut-raut wajah polos yang menatap ke arahnya. Ia lantas berjongkok di depan salah satu anak. "Benar mereka abang kalian?"

Baju lusuh dengan beberapa sobekan juga wajah yang tak terawat, membuktikan jika anak-anak ini adalah anak yang memang terbiasa hidup di jalanan.

Salah seorang anak laki-laki yang memakai baju kebesaran mendekati Angkara lalu berkata dengan wajah penuh binar. "Iya, kami adek abang. Kakak temannya Abang, ya?"

Si preman bertato elang tampak meringiskan wajah. Sebegitu menyedihkannya kah mereka di mata para anak-anak itu hingga binar cerah di wajah mereka menguar saat mengira bocah random di depannya ini adalah teman mereka.

Angkara terdiam. Ia mengulas senyum kecil lalu mengusak kepala anak laki-laki yang baru saja bertanya padanya itu. Berdiri-- lalu menoleh ke arah tiga orang pemuda yang juga menatapnya.

Merasa jika pandangan ketiga orang itu tampak tak bersahabat. Angkara lantas menjawab dengan nada lembut, "Kakak cuma kebetulan lewat."

"Ahhh ... kenapa gitu? Ayolah Kak, jadi teman Abang!" Si anak laki-laki dengan pakaian berlengan sobek menggocang pelan tangan Angkara, membuat si empu sedikit terkejut.

"Zarva! Lo gak sopan, bocah!"

Sungguh di luar dugaan Angkara, teguran tentang kesopanan keluar dari mulut laki-laki berwajah datar dengan sebatang rokok di tangannya.

Anak laki-laki yang dipanggil dengan nama Zarva itu menghentikan aksinya, ia menunduk-- wajahnya terlihat masam.

Hati Angkara menghangat. Ia mengelus lembut bagian belakang kepala anak itu. "Zarva mau Kakak jadi teman Abang Zarva, ya?"

Zarva mengangguk. Ia lalu meceletuk, "Habisnya kasian, Abang-Abang selalu dijauhin orang-orang. Gak ada yang mau temenan sama mereka, padahal mereka baik. Orang-orang itu yang jahat, mereka selalu hina Abang-Abang, katanya Abang-Abang manusia gagal."

"Zarva...."

"Abang-Abangnya Zarva bukan preman kayak yang ada dipikiran mereka. Abang selalu pilih-pilih kalo mau malak orang, yang Abang palak pasti orang-orang kaya." Teguran pemuda bertato elang tak dihiaraukan oleh Zarva. Ia lanjut menggerutu, "Jadi Abang-Abangku itu gak jahat, Zarva sedih pas denger Abang-Abang dikatain manusia gagal."

"Astaga bocah ini!" Pemuda bertato elang menggeram malu sembari mencengkram kepalanya, yang mana langsung membuat Angkara tertawa.

"Zarva dengar. Kita emang gak bisa selalu buat orang lain percaya dengan bagaimana pandangan kita terhadap sesuatu. Mereka punya penilaian masing-masing dari apa yang mereka lihat dan rasakan."

Baik dan buruknya segala sesuatu di dunia tak bisa dinilai hanya dari satu sudut pandang. Manusia terkadang memang terlalu mudah menghakimi, tapi bukan berarti sifat mereka yang terlalu mudah menghakimi itu sebuah kesalahan, itu adalah hal yang cukup manusiawi sebenarnya, karena seorang manusia biasa adalah orang awam yang hanya fokus pada kehidupannya masing-masing dan tak memiliki waktu untuk mendalami kehidupan orang lain.

Sebab itulah, terkadang membenci orang lain tanpa berusaha untuk mengenalnya terlebih dahulu adalah suatu tindakan kejam yang tak disadari telah dilakukan oleh beberapa orang.

"Tapi, satu hal yang harus selalu Zarva ingat." Senyum Angkara begitu teduh dan menenangkan. Sekali lagi, diusapnya lembut kepala bocah yang lebih muda darinya itu. "Bahwa setiap kehidupan itu berharga, bagaimanapun keadaan seseorang, bagaimanapun takdir hidup seseorang, gak ada yang namanya manusia gagal. Selama manusia itu belum mati, kita semua sama-- kita, masih sama-sama berproses."

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang