Angkara berjalan gontai ke luar dari ruangan. Ia bersandar pada dinding-- melemaskan badannya, mendongak seraya menghembuskan napas berat.
Mauli dengan cepat menghampiri kala mendengar kabar jika Baskara mengamuk. Dengan larian kecil, perawat wanita itu menghampiri Angkara.
"Angkara."
Angkara menoleh, raut risau sang perawat tergambar jelas di wajah. "Ibu?"
Kedatangan Mauli disusul dengan hadirnya Jake dan Tristan yang juga keluar dari dalam ruang rawat.
"Kau baik-baik saja?"
Mengangguk-- Angkara memaksakan senyuman. "Maaf karena sudah membuat keributan, Bu. Kayaknya aku terlalu buru-buru."
Helaan napas mengudara. "Ini kesalahan kami, harusnya kami sadar jika Baskara masih cukup sensitif dengan hal yang berbau keluarga," ujar Mauli menyesali.
"Aku gak sadar tentang itu ..." gumam kecil Angkara.
"Sisi lain di dirinya muncul saat melihat ibunya dibunuh di depan mata." Mauli menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Di mana para perawat laki-laki membenari tubuh Baskara yang sudah tak sadarkan diri. "Itu yang membuatnya membenci manusia dan menganggap jika semua manusia itu jahat. Sisi lain dalam dirinya membangun ia agar lebih berani dan waspada, tanpa peduli apa yang dia lakukan benar atau salah." Pelaku pembunuhan ibu Baskara adalah seseorang dengan gangguan kejiwaan yang pada awalnya berusaha ibu Baskara tolong.
Angkara turut menoleh, mengikuti arah pandang bu Mauli. Keduanya lantas sama-sama terdiam.
"Lalu, bagaimana sekarang nak Angkara? Apa yang akan kau lakukan?" Mauli kembali menatap Angkara. Anak itu hanya diam tanpa suara. Memandang kosong ruang pasien-- tempatnya berada beberapa saat lalu.
Dengan pasrah dirinya menggeleng. "Gak tau, aku mau pulang aja."
Tristan menepuk pelan bahunya. "Besok kita datang lagi," ujarnya memberi semangat dengan senyum yang menyertai.
Angkara tersenyum kecil seraya mengangguk. Namun, hati kecilnya masih sedikit berkeritik. Andai saja pak Zainudin memiliki ponsel, mungkin segalanya akan menjadi lebih mudah.
Kilau senja menghiasi atap semesta. Bersama kawanan burung yang terbang mengitari. Lembayungnya bergradasi-- seakan memberi sarat kedamaian yang nyata. Hati Angkara bagai tenggelam di dalam lautan, berada di tempat terdalam, gelap dan sesak.
Di atas motor Tristan, ia berdiam diri. Menikmati hilir angin yang menyapu wajahnya kala kendaraan roda dua itu melaju, membelah jalanan.
Melihat sekelompok anak-anak yang berlarian di pinggir jalan dengan kostum badut mengingatkan Angkara pada Zarva dan ketiga temannya.
"Kak ...." Angkara menepuk pelan bahu Tristan.
"Apa, Kara?" Tristan sedikit berteriak.
"Bisa ke persimpangan pasar gak? Turunin aku di sana aja."
"Ngapain? Udah mau malem, loh."
"Mau ngunjungin teman."
Tanpa lanjut berkomentar, Tristan memilih tuk menuruti keinginan Angkara. Ia tau suasana hati anak itu sedang tidak baik. Melajukan motornya berbelok dari arah tujuan, arah jalan Tristan mengundang tatapan bingung Jake. Walau begitu, sang pemuda tetap memilih mengikuti.
Hingga tibalah mereka kini, di dekat sebuah toko beras yang telah tutup.
Angkara turun dari motor Tristan, usai melepas helm, remaja itu tersenyum dengan sangat manis. "Makasih banyak, ya, Kakak-Kakak ku sekalian. Pulang nanti langsung istirahat, loh, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...