22. Waktu Terus Berjalan

1.8K 248 29
                                    

Angin yang sama bertiup kencang di kota yang sama. Cuaca sedang tak mendukung untuk berpergian ke luar, namun, pemuda yang kini telah menduduki semester akhir perkuliahan justru memilih untuk duduk di salah satu kursi cafe, untuk mengerjakan skripsi.

Membenarkan letak kacamata, arus wajahnya tenang kala jari jemari tangan mengetik deretan huruf menjadi rangkai kata.

Tak dihiraukan olehnya. Poster-poster usang yang tertempel di pinggiran jalan, tiang listrik sampai kaca jendela dari cafe yang ia kunjungi saat ini. Ia abai walau menyadari jika ada salah satu poster yang terlepas dari tempatnya semula ditempel, seolah poster itu sudah menjadi pemandangan yang cukup biasa untuknya.

Selama dua tahun terakhir, poster itu selalu menjadi bahan perbincangan karena kasusnya yang selalu di-up, tanpa dibiarkan tenggelam. Karena termakan usia, beberapa poster telah menguning, bahkan sebagian darinya sudah terkoyak.

Sapuan angin mengibarkan kencang helai kain hiasan cafe. Derunya terdengar kencang di telinga. Bumi telah tiba di musim penuh cuaca buruk. Awan hitam yang bergerak, memberi kegelisahan pada hati. Namun, akan ada beberapa orang yang menganggapnya sebagai ketenangan dan justru menyukainya. Seperti halnya sang pemuda, ia menatap lamat pada kumpulan kapas langit tersebut, hingga, gema suara pembawa berita mengalihkan perhatiannya.




"Pemirsa, memasuki tahun kedua sejak menghilangnya seorang anak laki-laki berusia 13 tahun, Angkara Sabiru, keluarga dan pihak berwenang terus berharap menemui adanya titik terang. Angkara diketahui pergi dari rumah tanpa kabar sejak dua tahun lalu dan hingga saat ini, belum ada informasi mengenai keberadaannya."




Televisi cafe kembali menampilkan berita yang sama. Hal itu dianggap angin lalu oleh sang pemuda berkacamata yang jelas mengenali siapa orang yang dicari oleh narasumber.




"Benar, Tuan Darsa, selaku orang tua Angkara masih terus mencari, bahkan tak henti menyebarkan informasi dan melakukan pencarian di berbagai daerah. Meski sudah dua tahun berlalu, mereka tetap berharap putranya bisa ditemukan dan kembali ke rumah."




Foto Angkara yang tersenyum manis tertampil di layar kaca. Senyum manis juga lembut yang hampir tak pernah dilihat oleh pemuda itu lagi.




"Untuk pemirsa yang mungkin melihat atau mengetahui informasi terkait Angkara Sabiru, diharapkan segera menghubungi pihak berwenang atau kantor polisi terdekat. Orang tuanya mengucapkan terima kasih atas bantuan dan doa dari berbagai pihak selama pencarian ini berlangsung dan tentu ada hadiah yang menanti bagi kalian yang bisa menemukan remaja tersebut."




Pemuda itu-- Jake, memutuskan untuk menatap ke arah lain, ke arah pintu cafe yang terbuka dan menampilkan Tristan dengan wajahnya yang semakin terlihat dewasa.

Menatap pada kilasan berita yang telah berganti menjadi topik lain. Tristan mendengus malas. Saluran televisi lokal itu selalu menayangkan berita yang sema setiap harinya bahkan selama dua tahun terakhir.

"Kekeuh banget nyari Kara. Orang anaknya aja udah males sama mereka." Ia mendumel.

Dengusan remeh serta senyum miring terlukis di wajah Jake, biarkan saja mereka kelimpungan mencari Angkara. Selama ini, anak itu memilih menyembunyikan identitas dirinya dan enam bulan yang lalu Angkara telah berhasil keluar dari pulau Kalimantan untuk kembali ke ibukota Jakarta tanpa sepengetahuan keluarga kandungnya yang berada di kota yang sama.

"Bahkan takdir pun gak mau berpihak pada mereka. Selama dua tahun, di kota kecil ini,  mereka tetap aja gak bisa nemuin Angkara."

Angkara bagai menghilangkan diri dari orang-orang yang pernah mengenalnya. Membuat dirinya sukar ditemukan. Bukannya berniat menghindar, lebih tepatnya, Angkara tak ingin mengetahui tentang hal apapun lagi jika itu berkaitan dengan kehidupannya, menjadikan ia selalu mengurung diri di rumah dengan guru khusus yang dibayar oleh ayah Tristan untuk pendidikan Angkara.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang