02. Jalan kehidupan

2.6K 267 15
                                    

Pakaian putih biru terpasang rapi di tubuhnya. Angkara berputar putar di depan cermin guna menelisik penampilannya, merasa puas bocah 13 tahun itu beranjak keluar kamar.

Menoleh ke arah jam besar yang berada di ruang tamu, pukul enam kurang dua puluh menit. Tanpa berlama lama, Angkara membuka kulkas, melihat bahan bahan apa saja yanh bisa ia jadikan makanan.

Melihat stok yang mulai kosong, Angkara memiliki niat untuk berbelanja sepulang sekolah. Berjalan kearah penanak nasi, Angkara menyadari nasi bekas malam tadi masih sangat banyak.

"Di kulkas cuma ada 4 telur, mereka mau gak ya makan seadanya dulu?"

Kembali berjalan ke arah kulkas, Angkara menelisik isi dari lemari pendingin tersebut.

"Daun bawang ada sih, tapi kok layu. Kalo nasi gorengnya gue kreasiin dikit merdka mau makan gak ya? Soalnya telurnya sisa 4. Eh, sama ada sosis nih." Senyum Angkara mengembang, ia mengambil segala bahan yang dibutuhkan.

Angkara berencana membuat nasi goreng yang sedikit berbeda yaitu dengan mencampurkan nasi kedalam empat telur yang sebelumnya sudah ia kocok dengan garam. Di tumisnya perbawangan, cabe dan sosis hingga mengeluarkan aroma sebelum kemudian menambahkan nasi yang sudah teraduk rata dengan telur.

Aroma harum tercium saat William berjalan menuruni tangga. Pemuda matang itu sudah rapi dengan Jas hitamnya, mata elang sang pemuda menyorot ke arah dapur dimana Angkara sedang sibuk sibuknya.

Laju tungkai kaki membawanya begitu saja. Senyum tipis terukir, William menyapa lebih dulu.

"Baunya enak, kamu masak apa Angkara?"

Angkara terkejut saat berbalik ia mendapati William yang menatapnya dengan lembut.

"Tuan--" Angkara melirik bergantian antara William dan nasi goreng yang sedang ia siapkan. "Kara masak nasi goreng, tapi karena telurnya tinggal 4, Kara campur. Gak papa kan?"

William tersenyum, membawa tangannya untuk mengelus pucuk kepala Angkara.

"Kamu kenapa nanyanya hati hati gitu, gak usah takut. Gak papa kok."

Angkara tersenyum lega, "Tuan, Angkara mau ijin beli stok bahan makanan nanti sepulang sekolah boleh?"

"Boleh, kamu bawa supir ya."

William membuka dompetnya lalu mengambil sebuah kartu untuk ia serahkan kepada Angkara. "Beli juga apapun yang kamu mau, baik itu kebutuhan ataupun keinginanmu."

Angkara menerima kartu itu dengan baik, ia tersenyum lalu mengucapkan terima kasih.

Kedua anak adam itu mengobrol dengan hangat. William menikmati kopi buatan Angkara, sedangkan Angkara menata makanan ke atas meja. Sesekali tawa kecil terdengar mengudara.

Di dapur Angkara memasukan sisa nasi goreng yang terbilang tak lagi banyak ke sebuah wadah bekas es krim. Bahkan potongan sosis tak terlihat satu pun di dalam nasi goreng tersebut. Memang setiap pagi, Angkara tak ikut sarapan. Seusai memasak ia harus langsung berangkat ke sekolah, jika tak ingin terlambat maka ia harus selalu berangkat pagi. Jarak tempuh ke sekolah Angkara hanya 10 menit jika menggunakan motor, namun akan menjadi 30 menit untuk Angkara yang berjalan kaki sehari harinya.

Sebagai pelayan, bukankah wajar saja dirinya menjalani hari hari seperti ini. Bisa di sekolahkan saja, Angkara sudah sangat bersyukur.

Satu persatu anggota keluarga turun dan memenuhi meja makan. Tuan Darsa tersenyum ramah pada Angkara,

"Kamu udah makan, nak?"

"Nanti Kara makan di sekolah tuan, udah bawa bekal kok."

"Lo gak usah jalan hari ini, gue kelas pagi. Nebeng gue aja." Nada datar Kelvin terdengar, ia ingin menolak namun bingung bagaimana caranya.

Titik Hitam Dalam NuraniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang