"Arian!"
Gerakan tangan yang menari indah di atas canvas seketika terhenti saat mendengar namanya diserukan oleh seseorang. Kelopak berbulu mata lentik-- terlindungi oleh kacamata yang bertengger di hidung macung-- menyorot ke arah samping. Kilau cahaya senja mewarnai wajahnya dengan sempurna. Si pemilik nama mendesah pelan, kala mendapati seorang pemuda yang berjalan ke arahnya-- di belakangnya gadis bersurai hitam legam mengikuti. Di tangan gadis itu, terdapat setangkai bunga matahari.
Jelas Arian mengenali kedua insan berbeda gender tersebut.
Ruang eksul olahraga saja sudah begitu sepi saat jam telah menunjukkan pukul lima sore, apalagi ruang seni. Hal itulah yang membuat kedua remaja yang lebih tua, memilih untuk menghampiri saudara bungsu mereka yang akan selalu lupa waktu apabila telah memegang kuas.
"Ngapain sih betah banget ngurung diri di tempat ini? Ayoklah pulang, kamu gak liat apa, di luar udah senja gitu?" Maudy namanya-- gadis penyuka bunga matahari. Baginya matahari adalah bunga paling indah yang memancarkan banyak keceriaan bagi siapa saja yang melihatnya. Dialog itu berkali-kali diucapkan olehnya untuk Arian.
Arian menghela napas. Senyum sehangat sinar mentari menyertai. Inilah yang membuat Maudy gemar membahas tentang bunga matahari jika bersama Arian. Baginya, senyum Arian menyerupai kehangatan bunga matahari.
Si remaja SMP itu meraih tas yang sebelumnya tergeletak di samping kursi, menyampirkannya ke bahu lalu berlari kecil menghampiri dua orang yang menunggunya sambil tersenyum.
"Kak Maudy ... Kak Tomi ... Mie ayam dulu gimana?"
Kedua kelopak mata yang baru terpejam selama 3 jam itu kini telah terbuka dan menatap kosong pada langit-langit kamar. Kantung matanya menghitam. Sudah hampir satu tahun berlalu, tapi kejadian lama masih begitu sering mampir ke dalam tidurnya yang tak nyenyak-- hadir sebagai mimpi dan memberikan ia perasaan kosong ketika terjaga.
Arian duduk perlahan, menjatuhkan kedua kakinya ke tepi ranjang. Remaja berusia 15 tahun itu menunduk sembari menatap kedua kaki putihnya. Kaki yang telah gagal menyelamatkan nyawa seseorang.
Pintu diketuk dengan brutal, membuat Arian tersentak kaget lalu reflek berlari. Sedikit tersandung kala keseimbangannya belum terkumpul sempurna. Derit kayu terdengar dari lantai kost tak layak huni yang sayangnya ia tempati selama satu tahun terakhir.
Pintu kost ia buka dengan tegesa lalu tanpa diduga,
Byur!
Seorang wanita paruh baya berbadan besar tanpa nurani menyiram tubuhnya dengan air kotor bekas pel lantai.
Arian menunduk-- menatap genangan air kotor yang kini membasahi dirinya dan tempat tinggalnya. Dari bulu matanya yang panjang menetes air. Hanya bisa menghela napas lalu mendongak, Arian menatap nanar wajah wanita yang tampak kesal.
"KASIH TAU KAKAKMU, JANGAN PERNAH BERANI CARI MASALAH SAMA ANAK SAYA!!! BALI, WAJAHNYA JADI PENUH LEBAM KARENA ULAH KAKAKMU ITU." Para tetangga yang berada di luar kamar kos menghentikan aktivitas mereka kala memyadari keributan-- hanya menonton dan turut mencemooh, tanpa memiliki niat melerai.
"DASAR BABI KALIAN! KELUARGA SAMPAH! GAK ADIKNYA GAK KAKAKNYA SAMA-SAMA GAK BERGUNA JADI MANUSIA, WAJAR SAJA, KEDUA ORANG TUA KALIAN CEPAT MATI. MUNGKIN TUHAN SEDANG BERBAIK HATI, MENCEGAH MEREKA STRESS MELIHAT KEDUA ANAKNYA YANG SAMA-SAMA MENYUSAHKAN!" Sang wanita tampaknya tak terima putranya dibuat babak belur tanpa sebab oleh lelaki yang berstatus sebagai kakak dari Arian, itulah kesimpulan yang bisa Arian tangkap.
"DENGAR GAK KAMU, BISU?!"
Arian segera mengangguk.
Dengan itu, si wanita paruh baya memukul kepala Arian menggunakan ember yang dibawanya lalu berlalu pergi dari sana-- masihlah dengan emosi yang menguar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...