Suara jeritan tiba-tiba berhenti di luar, hanya terdengar suara seperti seseorang yang sedang mengunyah, membuat Raya Kembali membayangkan adegan di meja kasir tadi. Bibirnya pucat karena ketakutan.
''Gimana kalau salah satu dari kita yang harus ngecek ke luar?'' Saran pria dengan kaca mata, tatapannya mengedar pada orang-orang di sekelilingnya.
''Ngecek? Lalu siapa yang bakalan keluar buat ngecek?'' tanya si pria tambun.
Wanita mudah yang tadi muntah lantas menyusut ke sudut, takut jika para pria itu akan menyuruhnya keluar untuk melihat situasi. Secara alami, semua orang tahu jika apa yang mereka bilang sebagai 'melihat situasi' adalah menumbalkan diri. Jika memang apa yang terjadi di luar adalah sebuah prank dari acara tv, mereka bisa bernafas lega. Tapi jika itu bukan prank, dapat di pastikan bahwa orang yang 'melihat situasi' akan mati.
''Gimana kalau dia aja?'' usul wanita yang bersama suaminya, menunjuk Raya yang tengah menenangkan Ryan.
Raya kaget ketika dia tiba-tiba di tunjuk oleh wanita setengah baya itu, dia langsung menggelengkan kepalanya, menolak, ''Saya enggak mau!''
''Kenapa enggak mau? Kamu, kan, punya anak, butuh banyak duit. Kalau di luar beneran prank acara tv kamu bisa minta duit sama mereka.'' Wanita itu berkata dengan tidak senang karena Raya menolaknya.
''Kalau gitu kenapa enggak ibu aja yang keluar? Saya enggak kekurangan uang!'' balas Raya dengan marah.
Mungkin karena suara wanita setengah baya itu sangat keras, terdengar gebrakan lagi di luar diiringi suara geraman.
''GRRR!''
BRAK!
BRAK!
Bahkan ada suara berderit dari pintu, terdengar seperti seseorang yang sedang mencakar pintu besi itu dengan kuku.
Semua orang langsung diam, akan tetapi Ryan menangis karena gelisah. Tangisannya sangat keras hingga membuat Raya mau tidak mau membungkam mulut anak itu dengan tangannya.
''Jangan berisik!'' Suami wanita itu menegur istrinya yang membuat keributan, lalu dia tampak mencuri-curi pandang pada Raya.
Beberapa menit mereka menahan nafas, suara-suara dari luar Kembali menghilang.
''Anaknya enggak bisa berhenti nangis, kalau dia tetep di sini bisa-bisa monster itu bakalan datang lagi dan kita enggak bisa keluar!'' Wanita setengah baya itu kesal, jangan kira dia tidak menyadari tatapan suaminya pada wanita yang meggendong anak itu. Dia marah dan cemburu, ingin Raya segera pergi dari sana.
''Anak saya nangis karena ibu berisik!'' Raya tidak terima di salahkan.
''Tapi ibunya bener, kalau Mbak tetep di sini dan anak Mbak nangis terus, kita enggak akan bisa keluar dari sini. Gimana kalau Mbak keluar aja? Atau keluarin anak Mbak.'' Wanita muda yang terus ketakutan di sudut ruangan ikut berbicara, dia takut jika tangisan anak itu akan membuat monster-monster itu Kembali.
Raya mengepalkan tangannya, kesal karena ke dua wanita itu terus mendesaknya untuk pergi. ''Ini bukan supermarket milik kamu, kenapa enggak kamu aja yang pergi?''
Melihat ke tiga wanita di sana berdebat, pria tambun itu terdiam, dia juga kesal karena anak dalam pelukan Raya terus-menerus menangis, menarik perhatian monster kanibal di luar. ''Kamu keluar dari sini, sekalian liat gimana keadaan di luar!'' titah pria tambun itu pada Raya.
''Saya enggak mau!'' Raya menggeleng, kakinya melangkah mundur. Dia ketakutan hingga jantungnya berdetak sangat cepat.
''Mbak mendingan keluar, nyawa banyak orang lebih berharga, kan.'' Pria muda lainnya juga ikut membujuk Raya.
Tigap ria di dalam gudang saling memandang seolah mereka telah membuat kesepakatan bersama. Mereka tiba-tiba mengepung Raya, menarik tubuhnya.
''Cepet buka pintu!'' titah pria berkacamata pada suami dari pasangan yang ada di sana.
Raya memberontak, tapi dia tidak berani terlalu keras karena takut Ryan terjatuh. Air matanya luruh, sebisa mungkin mempertahankan posisinya sekarang. Tapi bagaimana kekuatan satu orang wanita sebanding dengan tiga pria? Raya dengan muda di seret keluar dari gudang, tubuhnya di lempar begitu sana dan tiga pria yang membawanya keluar Kembali masuk dengan ketakutan.
BRAK!
Raya mendnegar suara pintu tertutup di belakangnya.
Satu tangan Raya menopang wajah Ryan. Karena posisi terjatuhnya sekarang adalah hamper tengkurap dengan siku kaki yang menahan tubuhnya, jika dia tidak memegang wajah putranya, Ryan kecil akan berhadapan langsung dengan darah yang menggenang begitu banyak di lantai.
''Uuuu.'' Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak mau wajahnya di tutup.
Kaki Raya gemetar hebat, tubuh bagian bawahnya hampir tertutup oleh darah. Dia bangkit berdiri dengan susah payah, dengan kaku menoleh, melihat sebuah mayat dengan kepala yang tinggal sebelah tergeletak tidak jauh darinya. Bau amis darah memenuhi indra penciuman Raya, membuat perutnya bergejolak karena mual.
''...mas, aku takut...'' lirih Raya sembari berjalan dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara.
Clap.
Clap.
Clap.
Suara langkah kaki terdengar, tampak seperti suara kaki yang menginjak cairan lengket. Tubuh Raya gemetar hebat, apalagi suara itu di barengi dengan suara geraman yang menuju ke arahnya.
GRRR
Zombie di balik rak mengendus, seperti tertarik dengan bau sesuatu. Endusan hidungnya yang hanya tinggal setengah itu semakin cepat, mata busuknya menoleh ke tempat Raya yang tengah bersembunyi.
''Huhuhu.'' Ryan menangis karena merasa kesal pada ibunya yang terus menutup wajahnya.
''Stt, jangan berisik, Sayang!'' Suara Raya bergetar, dia memejamkan matanya yang memerah, harap-harap cemas semoga monster itu tidak menemukan tempatnya bersembunyi.
Clap.
Clap clap clap.
Suara langkah kaki menjadi semakin cepat, Raya mencoba menahan nafasnya, air mata membasahi pipi wanita itu. ''Tolong aku, Mas, hiks, tolong aku.'' Raya terisak, dia berharap Jack datang menolongnya.
''KEEEEK.'' Suara dari zombie itu terdengar lagi hingga membuat bulukuduk Raya meremang.
Tes!
Sesuatu menetes pada rambut Raya, dengan jantung yang berpacu, dia mendongak secara perlahan, hampir pingsan ketika melihat monster yang tengah menatapnya dari atas dengan mata busuk dan wajah yang terkoyak. Sudut bibir zombie itu tampak terkelupas, memperlihatkan gusi dan gigi yang berlumuran darah di dalamnya. Bahkan Raya dapat melihat tengkorak yang tertutupi sedikit daging.
''HAAAAAA!'' Raya menjerit ketakutan.
DOR!
Suara keras terdengar di barengi dengan zombie yang tiba-tiba saja tersungkur, hampir menimpa Raya dan Ryan.
''Ay!''
Suara familiar terdengar di telinga Raya, wanita yang hampir pingsan karena ketakutan itu lantas berdiri, melihat sang suami, Jack, yang berlari ke arahnya dengan wajah panik. Bagaimana Jcak tidak panik, baru beberapa jam lalu dia mengingatkan Raya untuk tetap di rumah, tetapi saat dia pulang wanita itu tidak ada di manapun dan pintu utama juga terkunci.
Hati Jack menclocos melihat keadaan istrinya, seperti sebuah panah yang menusuk langsung ke jantung, Jack merasa sekarat karena rasa khawatir yang berlebihan. Dia berlari kearah Raya, mengambil alih Ryan yang menangis setelah bekapan di mulutnya terlepas dan menopang sang istri yang hampir limbung.
''K-kamu datang, aku takut, Mas,'' ucap Raya dengan suara gemetar di pelukan Jack.
Jack memeluk Raya tanpa merasa jijik pada darah yang hampir menutupi tubuh istrinya, jantungnya yang tadi berdetak panik kini tenang setelah wanita itu ada dalam pelukannya. Jack mengusap punggung Raya dengan pelan, mencoba memberikan rasa aman.
''Ya, aku datang, aku datang jemput kamu, maaf karena terlambat.''
KAMU SEDANG MEMBACA
JACK
De TodoDi kehidupan sebelumnya, demi seorang wanita, Jack meninggalkan istri dan anak-anaknya di dunia yang sudah tak lagi sama. Mayat busuk, orang-orang serakah dan zombie. Siapa yang tau ternyata wanita itu hanya memanfaatkan kekuatannya? Bertahun-tahun...