✒ Chapter 22

1.3K 200 340
                                    

|| Total chapter ini sebanyak 5.313 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.

|| Beri vote dengan komentar 320, kalau nggak capai target, nggak bakal update minggu depan^^ Jangan spam komentar yang sama.

Pagi ini tidak ada kelas jadi Aalisha dan lainnya berkumpul di sebelah barat kastil utama Eidothea. Syukurlah cuaca pada hari ini tidak hujan dan tidak pula terik karena sinar matahari tertutupi awan-awan yang berarak. Jadi mereka berenam menggelar tikar dari bambu di rerumputan seraya meletakkan keranjang bambu yang berisi roti selai kacang, selai stroberi, beberapa cookies berbagai rasa, hingga minuman seperti caelum milk dan il te priel yang dimasukkan dalam botol kaca.

Selain itu, di rerumputan tergeletak beberapa pedang tipe bisa-bukan senjata magis-serta sebuah perisai dari logam yang berwarna abu-abu sedikit berkarat pula.

Meski tidak ada kelas pagi, serta mereka terlihat seperti hendak piknik. Namun, mereka tidak benar-benar bersantai karena sejak selesai makan pagi, telah terdengar dentangan antara pedang yang saling beradu, serta napas memburu karena kedua pemilik pedang berusaha untuk tidak kalah meski selalu ada kalah di akhir latihan; entah pedang terlepas dari tangan, terjatuh karena terpeleset, atau lawan berhasil memojokkan dengan ujung pedang tepat beberapa sentimeter dari leher.

Mereka berlatih pedang sejak pagi karena hari esok di mata pelajaran yang diajarkan master Aragon, ada ujian pertarungan menggunakan pedang jadi para murid di Angkatan pertama terlihat sibuk berlatih pada hari ini, termasuk Aalisha dan kawan-kawannya. Lebih tepatnya, Anila, Mylo, Frisca, Gilbert, dan Kennedy saja yang berlatih karena gadis De Lune sepertinya tidak perlu latihan. Lihat saja, kini Aalisha sibuk mengunyah roti isi selai kacang seraya berbaring di tikar dan membaca novel. Padahal Anila dan Frisca sibuk beradu pedang, sementara geng para lelaki, entah ke mana mereka bertiga pergi.

"Frisca," ujar Anila, "perkuat tenaga kakimu dengan Neith, kaubeberapa kali terjatuh dan pedangmu terlepas."

"Sudah kuusahakan," balas Frisca yang kini bertumpu pada kedua lututnya sementara pedangnya tergeletak di rerumputan. "Kau terlalu kuat." Ia mengusap keringatnya.

Aalisha yang berbaring di rerumputan perlahan berujar meski tak menghilangkan fokusnya pada paragraf novel. "Padahal Anila tidak sekuat Mylo jika menggunakan fisik dan pedang, harusnya kau bisa sekali memojokkan Anila."

Lekas kedua gadis yang tengah berlatih menatap si gadis kecil. Terutama Frisca. "Hey, mudah untukmu mengatakannya! Kau kuat, lebih kuat dari Anila maupun Mylo. Bahkan melebihi kami berenam."

"Dia benar, Aalisha," timpal Anila, "kau berada di tingkatan yang berbeda dari kami." Ia perlahan duduk, disusul Frisca, mereka meluruskan kedua kaki di rerumputan.

Aalisha menyerong tubuhnya dan berbaring menghadap ke sebelah kanan. "Kalian saja yang jarang berlatih."

"Hello, lagi pula kau De Lune, dasar Nona yang suka menyombongkan diri," balas Frisca kini sedikit kesal, tapi ia mulai terbiasa bagaimana sebuah kata-kata sarkas dan menyakitkan keluar dari mulut gadis kecil itu. "Yang tidak berlatih sejak pagi adalah kau, bahkan kau menghabiskan makanan kita!"

Aalisha tak terlalu ambil hati atas perkataan Frisca. "Salahkan pada yang membuat roti selainya karena enak jadi aku makan terus."

"Wah, bocah ini benar-benar menyebalkan! Aku dan Anila yang membuat roti selai itu di dapur sebelum sarapan pagi!" teriak Frisca sementara Anila hanya menggelengkan kepalanya karena lucu melihat interaksi antara Frisca yang mudah tersulut emosi dengan Aalisha yang terkadang tak berekspresi dan minim emosi.

"Setidaknya latihan meski sekali Aalisha," ujar Anila, "lakukan peregangan barangkali, kau sejak tadi bermalas-malasan."

Helaan napas gadis itu terdengar. "Baiklah, tapi tunggu aku selesaikan satu bab ini, tinggal beberapa halaman."

Book II: The Arcanum of AalishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang