Chapter 04

1.9K 246 13
                                    

Rasa sakit menyeruak ke seluruh tubuh seolah tulang-tulangnya ngilu. Samar-samar terdengar suara anak kecil yang berlarian dan sesekali tertawa karena suatu candaan yang dilayangkan oleh seseorang. Ini pasti mimpi! Itulah yang terlintas pertama kali di benak Aalisha. Maka gadis itu memaksakan dirinya untuk bangun. Ia perlahan mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, awalnya hanya gambaran hitam saja, kini dia bisa melihat dengan jelas sebuah bebatuan, pasir, ranting kayu yang berhamburan, hingga tembok tinggi dengan warna abu-abu tua serta agak rapuh.

"Yang Mulia Aalisha, apa Anda terluka parah?" Suara tuan Thompson terdengar, gadis kecil itu pun menatap pada pria yang terukir jelas ekspresi penuh kekhawatiran.

"Aku tidak terluka parah meski kepalaku sedikit sakit," ujar Aalisha perlahan bangun, mengubah ke posisi duduk. Air menetes dari pakaiannya yang membuat ia tersadar jika dirinya dan seluruh pakaiannya masih basah kuyup.

"Tolong minum ini," ujar tuan Thompson memberikan botol elixir yang ia ambil dari invinirium-nya. "Ini obat untuk menyembuhkan luka sekaligus menghangatkan tubuh."

"Terima kasih," sahut Aalisha lekas membuka botol elixir tersebut yang di dalamnya ada cairan hijau. Ia minum meski rasanya asam dan menjadi pahit di akhir.

"Sama-sama." Tuan Thompson mengangguk kecil. "Ah, izinkan aku mengeringkan pakaian Anda. Aquem Hauriam Arefaci."

Cahaya merah langsung menyelimuti seluruh tubuh Aalisha, maka dalam hitungan detik saja, pakaian Aalisha yang semula basah kuyup kini menjadi kering seperti sedia kala. Bahkan rambutnya yang basah kini kering pula, benar-benar terbebas dari air bahkan kepang rambutnya yang berantakan perlahan-lahan menjadi rapi.

"Terima kasih lagi, Tuan Thompson." Aalisha mengembalikan botol elixir tersebut pada tuan Thompson lalu dimasukkan ke dalam invinirium.

Tidak dijawab pria itu, ia malah mondar-mandir. "Aku tak menyangka jika kita akan diserang. Monster-monster itu datang tanpa bisa kuprediksi, padahal sebelum keberangkatan, aku sudah menyuruh Orly-ku untuk mengecek apakah ada mata-mata atau seseorang mengawasi kita. Namun, tak ada. Lalu bagaimana bisa para monster itu menemukan kita. Terlebih lagi yang menyerang kita bukan monster tingkat bawah. Oh Dewa, kita terseret ke masalah yang kacau balau."

Perlahan Aalisha berdiri. Dia sangat paham kegundahan yang merasuki pria itu. Namun, Aalisha tak mau bersimpati. "Sebenarnya kita ada di mana? Apa Anda pernah kemari sebelumnya?"

"Aku tak yakin, Yang Mulia." Akhirnya berhenti juga tuan Thompson mondar-mandir yang kini dia menatap pada Aalisha. "Namun, aku sangat yakin jika liontinnya yang membawa kita kemari. Ya, sudah pasti, liontin itu adalah kunci Iapthae Portae."

"Maksud Anda, liontin itu, gerbang teleportasi?"

"Ya! Anda pasti tahu 'kan Yang Mulia kalau Iapthae Portae punya dua tipe, tipe pertama gerbang yang ada di tempat tertentu, biasanya untuk akses mempersingkat perjalanan jauh. Lalu yang kedua berupa suatu benda yang diberi sihir sehingga bisa menjadi gerbang teleportasi dan benda ini akan mengirim kita ke koordinat yang sudah sedari awal ditentukan pembuatnya jika menyentuh benda itu. Jadi aku sangat yakin jika liontin itu yang membawa kita kemari."

Aalisha mengangguk karena paham. Ia mengedarkan pandangannya. Tempatnya dan tuan Thompson kini berada seperti sebuah bangunan yang runtuh sehingga banyak debu, bahkan sarang laba-laba. Dinding bangunan ini berupa batu sementara lantai yang mereka pijak sebenarnya dari bebatuan juga, tetapi tertutupi pasir putih yang sangat tebal. "Lalu bangunan ini?"

"Lebih tepatnya kastil yang sudah runtuh, aku yakin. Dilihat dari dindingnya dan batu yang digunakan, sepertinya bangunan ini ada sejak 40 atau 50 tahun lalu. Tidak terlalu tua," jelas tuan Thompson. Kemudian melangkah untuk memperhatikan lebih jelas bangunan ini, siapa tahu mereka temukan hal penting. "Ah, Yang Mulia. Apa liontinnya ada pada Anda?"

Book II: The Arcanum of AalishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang