Chapter 23

1.3K 192 331
                                    

|| Total chapter ini sebanyak 3.137 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.

|| Beri vote dengan komentar 300, kalau nggak capai target, nggak bakal update lagi^^ Jangan spam komentar yang sama.

|| Mohon maaf baru update karena ada urusan di real-life

Mereka gagal menyelamatkan diri karena cahaya putih terang dan membutakan mata seketika melahap mereka bertiga. Berangsur-angsur, ketika membuka mata, sekitar mereka bukan lagi dinding asrama Drystan yang sebagiannya hancur, mereka juga tak berpijak di lantai karpet hijau tua, melainkan kaca yang memantulkan langit biru dan berawan tetapi tak terlihat matahari yang bersinar terik. Sejauh mata memandang, tak mereka temukan ujung dari tempat mereka kini berada.

"Oh sialan!" teriak Mylo terkejut bukan main. "Di mana kita?! Tempat apa ini? Mengapa lantainya kaca!!! Apa-apaan cahaya tadi?! Kenapa kita bisa di sini! Dan kenapa pula kau membawa makhluk magis itu kemari!"

Satu tinju berhasil menghantam wajah Mylo hingga lelaki itu tersungkur ke lantai. Rasanya Dejavu seperti sewaktu di Hutan Kimari. Anila sangat geram karena Mylo terlalu panik. "Jangan berteriak dan panik, dasar bodoh!" Ia lalu menatap Aalisha. "Jelaskan secara singkat, padat, dan jelas, apa yang kau ketahui!"

Aalisha diam sejenak, ia merasa Dejavu juga mendengar perkataan Anila tersebut. "Aku tidak tahu pastinya, intinya setelah aku menemukan Hippibia ini ...." Aalisha menatap binatang magis di pelukannya yang menatap balik dengan mata berbinar. "Aku mendengar suara aneh yang berasal dari gelang, tiba-tiba saja bercahaya putih terang, bersamaan kalian datang. Dan poof, kita berada di sini."

"Hippi, Hippi!" ujar Hippibia seolah-olah meyakinkan Anila jika cerita Aalisha adalah benar, bukan karangan.

Anila berusaha menganalisis segalanya dengan tenang dan cermat. "Jadi ini bukan karena kekuatan sihirmu atau sihir binatang ini?"

Aalisha dan Hippibia menganggukkan kepala secara bersamaan, benar-benar kompak, pantas saja cocok jadi partner. "Baiklah, kalau gelangnya, bukan milikmu 'kan?"

"Gelang itu sejak awal ada di asrama Drystan, tertutupi selimut, lalu berdenging jadi aku mengeceknya ternyata malah bersinar dan membawa kita ke---"

"Alam baka!" teriak Mylo seraya berdiri dan mengusap pipinya. "Apakah ini alam baka?"

"Demi Dewa," balas Anila, "sekali lagi kau berkata hal-hal aneh dan tak masuk akal, aku akan meninjumu hingga pingsan!"

"Baiklah aku akan tutup mulut," kata Mylo jadi sedih lalu menatap si Hippibia yang terkikik. "Jangan tertawakan aku, dasar monyet!" Maka si Hippibia jadi sedih, wajahnya cemberut dan bibir manyun.

"Jangan berteriak pada makhluk ini," sahut Aalisha.

"Dia lebih dulu menertawakanku!" balas Mylo.

"Bisakah kalian berdua tenang!" teriak Anila, "ada yang lebih penting ketimbang bertengkar karena seekor makhluk magis!"

Mereka menurut meskipun Mylo dan Hippibia saling bertatapan, kemudian menjulurkan lidah satu sama lain, lalu memalingkan muka, mereka bermusuhan! Sementara Anila harus sabar karena kini bertambah satu anggota pembuat onar. Ia kembali menatap sahabatnya yang sama sekali tak menunjukkan kekhawatiran.

"Berdasarkan pengamatanku, maka mungkin saja, kita berteleportasi ke suatu tempat," ujar Anila.

Mylo menyahut dengan nada panik. "Teleportasi, mustahil! Memangnya ada daerah atau wilayah dengan lantai kaca bahkan tempat ini tak berujung!"

"Tentu saja ada! Kau pikir Athinelon hanya sekadar Kerajaan dan Kekaisaran Ekreadel?! Lagi pula seseorang juga bisa berteleportasi ke tempat magis seperti kastil sihir atau lain sebagainya!" balas Anila.

Book II: The Arcanum of AalishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang