Prolog - The Masterpieces

2.1K 301 107
                                    

❝Bukankah tidak ada gunanya menjadi Pahlawan yang menyelamatkan dunia jika dunia memandangku sebagai Malaikat Kematian.

◇─◇

KASTIL MEGAH dengan ukuran tak dapat dikira oleh perhitungan manusia itu terdengar suara dentuman yang melalang buana, hampir seperti suara lonceng besar berdentang, terkadang terdengar seperti suara ledakan hingga suara dentingan besi-besi yang saling bersinggungan.

Masuklah ke kastil tersebut yang dalamnya tak kalah megah dengan luar kastilnya. Warna emas menjadi warna utama dari kastil yang begitu termasyhur ini. Pilar-pilar besar nan tinggi menjadi penopang dinding kastil ini begitu pula langit-langitnya, terdapat ukiran berupa aksara kuno yang rapi sekali mengelilingi pilar tersebut, begitu pula beberapa lentera bercahaya kuning lembut nan hangat terlihat menempel di beberapa titik pilar.

Lantai kastil ini tidaklah berwarna putih layaknya ubin yang biasa terlihat di kastil kerajaan atau kekaisaran, melainkan lantai yang begitu bening tak bernoda, tak kotor sedikit pun, seolah-olah debu saja enggan berada di sana sehingga lantai tersebut seperti memantulkan cahaya layaknya cermin yang begitu jujur dan takkan berbohong.

Kini marilah puji keagungan kastil tersebut ketika memperhatikan betapa indahnya area dalam kastil, tak hanya pilar dengan aksara kuno, terdapat patung-patung yang berdiri dengan kokoh, dipahat begitu detail dengan pisau tajam, ukiran lekuk tubuh patung-patung tersebut begitu nyata, pakaiannya juga sangat jeli dipahat sehingga membuat siapa pun yang memandangnya takkan lelah, lalu senjata di masing-masing patung menambah kesan yang mewah dan bernilai sekali patung tersebut. Pujilah makhluk yang memahat patung tersebut begitu megah dan agungnya ataukah ... patung itu sebenarnya tidak dipahat oleh makhluk mana pun?

Kini terdengar suara musik mengalun, ah sudah pasti itu alat musik harpa yang berwarna emas bahkan senar harpanya juga berwarna emas. Semakin terdengar suara alunan yang lembut dan menenangkan bahkan memanjakan telinga, hanya saja jika dilihat, tak seorang pun memainkan alat musik tersebut. Ya! Harpa itu bermain dengan sendirinya, begitu pula sebuah biola dan cello dengan warna emas yang mengalunkan musik dengan sendirinya, sungguh perlu dipuji karena begitu banyak keajaiban di kastil ini.

Hingga terdengarlah suara langkah kaki yang perlahan-lahan menyusuri aula utama kastil tersebut, pantulan dari sosok manusia itu terlihat di lantai yang bagaikan cermin tak bernoda. Ya, seorang makhluk dari ras manusia kini berada di kastil termasyhur tersebut dan melangkah begitu mantap, tak terseok-seok, tak pula lunglai, betapa ia percaya diri melangkah di sana meski hanya dia satu-satunya yang ada di kastil tersebut.

Langkah kakinyanya perlu diberikan apresiasi juga karena ia menginjak lantai tanpa alas kaki, pakaiannya berupa pakaian bangsawan yang mahal dan cantik, baju yang ia kenakan lebih dominan dengan berwarna putih, celananya juga putih bersih. Hanya rambut panjangnya yang hitam legam lah yang begitu kontras dengan pakaiannya. Ah, ternyata ia seorang gadis, gadis kecil pula! Lalu sungguh lucu gadis kecil itu karena tangan kirinya membawa boneka cukup besar---boneka kelinci putih dengan telinga panjang, sedikit terseret ke lantai seiring langkahnya.

Maka gadis itu pun melangkah menuju patung paling besar yang ada di dalam kastil tersebut, saking besarnya, pasti melalui pandangan patung tersebut, perempuan yang mendekat padanya hanya terlihat seperti seekor domba kecil yang melompat riang gembira. Patung paling besar itu mengenakan gaun panjang yang kepala serta wajahnya ditutupi kain atau sebuah veil, lalu tangan kanan menggenggam pedang sementara tangan kirinya menggenggam timbangan.

Hampir sampai sang gadis kecil ke hadapan patung, ternyata ada seseorang yang berada di sana. Sosok makhluk bertubuh tinggi, pakaian bangsawan dan jubah berwarna hitam, serta mengenakan veil atau kain hitam yang menutupi kepala serta wajahnya. Kini makhluk tersebut, melangkah pula ke hadapan sang gadis kecil.

Ketika keduanya sudah saling berhadapan, hening terdengar karena tak satu pun alat musik mengalun lagi. Kini makhluk berpakaian hitam itu merentangkan tangannya hendak menyambut kedatangan gadis kecil berpakaian putih yang membawa boneka kelinci.

"Selamat datang!" Suara makhluk itu terdengar. Sayang sekali, tak tampak senyumannya karena tertutupi kain hitam.

Gadis kecil mendongak saking ada perbedaan tinggi antara keduanya. "Senang bertemu denganmu Tuan."

"Akulah yang senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia."

Senyuman gadis kecil itu terbentuk. "Aku datang karena hendak meminta sesuatu."

Makhluk berpakaian hitam merasa terkejut, ia semakin tersenyum di balik kain hitamnya tersebut. "Suatu kehormatan, kira-kira permintaan apa itu, mungkin aku bisa memenuhinya."

"Tuan," ujar si gadis kecil. "Maukah kau membunuhku? Tolong ambil nyawaku."

Maka sang makhluk berpakaian hitam terdiam mendengar perkataan itu, ia sesaat terkejut, tetapi tak begitu lama rasa terkejutnya. "Mengapa aku harus mengambil nyawa Anda? Bukankah nyawa begitu berharga bagi makhluk seperti Anda, terutama sebagai manusia."

Gadis kecil itu menyunggingkan senyuman yang begitu cantik dan indah. "Tidak bagiku Tuan, tidak. Tak ada alasan bagiku untuk hidup. Jadi maukah kau memenuhi permintaanku?"

"Aku menolak," sahut sang makhluk berpakaian hitam dengan sangat tegas.

"Mengapa?"

"Layaknya kelahiran yang ditentukan para Dewa, maka kematian pun sudah ditentukan oleh para pemilik langit dan dunia ini. Karenanya aku akan datang mengambil nyawa Anda, ketika waktunya sudah tiba, Yang Mulia."

"Sayang sekali, aku ditolak kematian," balas si gadis kecil. "Namun, aku takkan sedih karena takdir sudah dituliskan seperti kelahiran."

"Ya, tunggulah sampai hari itu tiba."

"Dengan senang hati," balas gadis kecil tersebut.

Suara alunan musik dari harpa, biola, dan cello terdengar. Perlahan digenggamnya dengan erat boneka kelinci di tangan kirinya kemudian tangan kanannya ia letakkan di dada kiri secara perlahan, begitu indah dan anggun. Gadis itu tengah melakukan curtsy---suatu gerakan yang biasa digunakan untuk memperlihatkan atau memberikan salam penghormatan atau ungkapan terima kasih pada seseorang---karena begitulah dia diajarkan sebagai seorang bangsawan yang beretika baik.

"Suatu kehormatan Yang Mulia," ujar makhluk berpakaian hitam tersebut sambil melakukan curtsy juga sebagai tanda betapa ia sangat menghormati gadis kecil tersebut. "Betapa beruntungnya aku, bisa melihat curtsy yang begitu elegan, anggun, dan sangat indah. Terpuji lah Anda, Yang Mulia."

Gadis kecil yang sudah selesai membungkuk itu, perlahan tersenyum sambil berujar, "terima kasih atas pujiannya. Kurasa aku harus pergi." Lekas gadis itu berbalik kemudian melenggang pergi dari sana.

Sang makhluk berpakaian hitam menatap kepergian gadis kecil tersebut, senyumannya terukir kembali. Bersamaan dengan itu, patung di belakangnya terlihat bergerak, tangan kirinya sang patung perlahan mengangkat tinggi timbangannya kemudian terdengarlah bunyi lonceng yang berdentang sangat kencang memenuhi seluruh aula dalam kastil tersebut.

"Sampai bertemu lagi. Semoga Anda selalu diberi berkah para Dewa ....

Wahai Mahakarya Terbaik dari Athinelon.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Prins Llumière

Rabu, 28 Juni 2023

Book II: The Arcanum of AalishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang